7. I B L I S & M A L A I K A T

4 1 0
                                    


Bintang terbangun dengan denyutan kepala yang tak kunjung reda. Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya terang di atas langit-langit ruangan seperti kamar ini. Ruangan yang di dominasi oleh bau obat.

"Engh," rintih Bintang.

Saat itu juga decitan kursi terdengar. Bintang menoleh, ia tak menyadari kalau di ruangan ini bukan hanya dia seorang.

"Sudah sadar kamu?" tanya sang ayah dengan suara dingin.

Astaga! Bintang baru sadar. Bukannya saat itu dia sedang disiksa oleh ayahnya. Tapi kenapa dia ada disini? Sudah dipastikan ini ruang rawat di rumah sakit. Apa ayahnya yang membawa Bintang kesini?

"Gara-gara harus nganterin kamu kesini, saya harus kehilangan waktu berharga saya!" kata ayahnya dengan menatap tajam Bintang.

Benarkan, pasti ayahnya yang mengantarnya ke rumah sakit.

"Nggak usah lebay kenapa sih? Luka gitu doang sampe pingsan! Dasar lemah!" kata kakaknya dengan nada tidak sukanya.

Begitupun dengan si ibu. Matanya menatap nyalang Bintang penuh emosi. Entah apa yang dipikirkan mereka. Mereka yang melakukan seharusnya berani bertanggung jawab, bukan? Tapi, mereka semua menganggap perawatan Bintang seolah menjadi beban. Ah iya, Bintang sendiri lupa kalau dirinya tidak diinginkan di tengah-tengah mereka.

"Uang suami saya habis untuk perawatan kamu yang nggak jelas gini!" kata sang ibu menyindir. Malah terlihat bukan seperti sindiran bukan, atau sebuah pernyataan?

"Perawatan?" tanya Bintang bingung. Jujur dia bingung, untuk di rawat di rumah sakit semalam saja mereka seperti orang bangkrut.

"Bodoh!" kata ayahnya.

Sang ibu pun menatap jengah lalu dengan gejolak emosi, ia mendekati brankar Bintang lalu mengatakan sesuatu yang membuat Bintang terkejut dan bingung secara bersamaan.

"Kamu sudah di rawat disini selama satu minggu lebih!" kata sang ibu dengan suara mengerikannya.

"Hah?!" kata Bintang terkejut. Dirinya terlonjak kaget lalu meringis lagi ketika pusing menghantamnya lagi.

Ia memijat pelipisnya lalu sedikit termenung. Ada perban yang melilit dahinya. Dan sungguh ini kenyataan, dan mungkin apa yang dikatakan sang ibu benar adanya.

"Ayah, terimakasih sudah bawa Bintang kesini,"

"Dengan sangat terpaksa," jawab sang ayah dengan penuh penekanan.

Hembusan nafas kasar kembali muncul. Bintang kira, dengan keadaannya yang seperti itu,  membuat ayah, ibu, juga kakaknya berubah. Dan ternyata, mereka semakin menjadi.

"Kita pulang," kata ibu singkat.

Bintang mengerinyit bingung. Pulang?

"Jaga diri kamu baik-baik, cepet sembuh. Supaya debit saya nggak terbuang dengan sia-sia," tambah ayahnya.

"Cepet sembuh, terus pulang. Gaun pesta gue pada kusut dan lo yang setrikain," kata kakaknya juga.

"Ya," jawab Bintang dengan sangat terpaksa.

Ruangan inap Bintang pun sepi kembali. Menahan pusing yang kian merambat. Bintang akhirnya mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas samping brankarnya.

"Angkasa?"

Bintang melihat banyak panggilan dan pesan dari Angkasa. Dan semua pesan itu tidak jauh dari kata kenapa? Dimana? Baik-baik aja, kan?

Bintang tersenyum. Akhirnya ada seseorang yang mengkhawatirkannya.

Bintang
Iya, gue nggak papa

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang