3. A B U - A B U

13 1 0
                                    


Sepulang sekolah, Bintang berniat ingin langsung pulang ke rumah lalu tidur di kamarnya. Mungkin sangat menyenangkan, mengingat tubuhnya yang lelah akan terhempas di kasur empuknya.

Setelah mengantar dompet ibu Yunita, lalu kembali lagi kesekolah dengan waktu lebih tiga puluh menit. Dengan terpaksa Bintang harus berdiri di terik matahari selama dua jam pelajaran. Nasib orang telat ya gini.

Selesai dengan hukuman telat, ditambah lagi dengan hukuman membersihkan selasar koridor kelas dua belas. Dan itu bukan lumayan panjang lagi, tapi sangat panjang. Sangat letih tentu saja, tapi bagaiamana lagi.

Raga yang sudah mulai lelah ditimbun lagi dengan jiwa yang tak kunjung tenang. Sebelum bel pulangs ekolah berbunyi tadi, Bintang dipanggil ke ruang tata usaha karena belum membayar spp bulanan.

"Duh, gimana ya? Minta sama ayah atau ibu? Mana mungkin mereka mau," keluh Bintang.

Sambil terus berfikir, Bintang merasa tenggorokannya kering. Akhirnya ia berhenti di depan gerobak penjual es kelapa muda.

"Kayaknya enak nih, minum es panas-panas gini," batin Bintang penuh sorak.

"Mang, es kelapa mudanya satu, pake jeruk sedikit ya, mang,"kata Bintang dan diangguki oleh penjual es tersebut.

Bintang memang sangat lelah, tetapi dengan bodohnya ia pulang dengan berjalan kaki. Bintang hanya ingin mencari jalan keluar agar ia bisa membayar spp bulanannya. Di rumah pun ia akan kehabisa akal karena pasti ibunya akan menyiksanya lagi.

"Ini neng," kata penjual es itu menyerahkan satu wadah es kelaap muda. Sangat menggiurkan!

"Ini pak," kata Bintang menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah.

"Duh neng, harga esnya kan delapan ribu, bapak nggk ada sosok dua ribunya neng. Uang recehnya sudah bapak setor sama istri bapak. Gimana neng? Mau ditukar kerupuk aja atau ditambah esnya?" kata penjual es itu.

"Emm, yaudah deh pak. Untuk bapak aja, saya ikhlas kok," jawab Bintang dan tersenyum lembut.

"Semoga rezekinya berkah ya neng," sedangkan Bintang bersorak dalam hati mengaminkan doa bapak tersebut.

Bintang langsung bergegas pulag ke rumahnya. Ia merasa hari ini sia-sia, kenapa? Karena tidak ada satu cara yang muncul di benaknya setelah berfikir dsedari pagi. Dengan hati yang gusar ia cepatkan langkahnya agar sampai di rumahnya meskipun sangat telat. Sudah dipastikan bahwa ibunya kini menunggunya dengan amarahnya.

Bintang sampai di rumah pukul empat lebih dua menit. Di depan pintu utama, sang ibu sudah menunggu dengan mata sinisnya juga sebuah rotan di genggaman tangannya. Dengan melangkah ragu, Bintang masuk berdiri di deqqqqpan ibunya berniat ingin menyalimi tangan sang ibu.

"Plak! Dari mana kamu sialan!?" teriak ibunya sambil menampar keras pipi kanan Bintang.

Bintang menangis terisak, untuk tamparan sudah biasa, namun dikatakan sialan barulah ia mendengar barusan. Hatinya teriris, seolah ada sebuah pisau yang sedang menyayat hatinya.

"Ma-af bu, Bintang cuman-"

"Cuman apa?! Kamu itu perempuan! Mau kamu jadi jalang murahan?" teriak ibunya.

Sungguh, Bintang terduduk lemas di lantai. Air matanya luruh seketika. Ia habis fikir kenapa tega ibunya menuduhnya dengan tuduhan yang begitu keji.

"Ampun bu!" kata Bintang mencoba mengelak dari rotan yang terus mengenai badannya.

Perlahan, air matanya tergantikan oleh tetesan darah yang mengalir dari hidung, telinga, juga kepalanya. Bisa dipastikan mungkin pembuluh darahnya pecah karena rotan sialan itu mengenai hampir  seluruh bagian tubuhnya. Tapi ibu Bintang tetaplah iblis. Ia mana perduli dengan tubuh Bintang yang terkulai lemah. Malah ia meninggalkan Bintang sendiri di teras rumah.

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang