Bintangnya boleh ❤️❤️
🥀
Impian lain dari Lintang setelah lulus studi adalah hidup sendiri. Banyak yang bertanya kenapa? Entahlah. Terlalu banyak problema yang ia lalui sejak kecil, membuatnya bingung memilih mana yang harus ia jadikan penyebab.
Jika ditanya apakah ia tidak senang tinggal bersama keluarga? Jawabannya tentu saja iya. Hanya saja hal itu seperti berat untuk ia rasakan lagi. Semenjak perceraian kedua orangtuanya, rasa ingin bersama itu sudah lama sirna.
Bertahun-tahun ia hidup bersama sang ibu. Menata ulang hidup baru bersama, berjuang bersama sampai pada akhirnya sang ibu berhasil membiayai mereka bertiga-dengan Reen juga. Hidup damai bertiga tanpa dibayangi masa lalu yang kelam.
Itu yang dia inginkan. Sang ibu yang ia jadikan contoh. Setidaknya ia ingin hidup bahagia sendiri dulu. Sukses sendiri baru dengan sang pujaan hati.
"Kak, kok ngelamun?"
Lintang mengerjap kaget. Di sampingnya Reen duduk bersila di kasurnya. Gadis bersurai hitam itu menatapnya dengan bingung, mata bulatnya berbinar indah.
"Gapapa, ngapain kamu ke sini?"
"Di suruh mama. Siap-siap sana kita mau makan di luar."
"Oh iya!"
🥀
"Rumornya Yeonjun jalan sama Seina, sepertinya mereka sedang akrab?"
Pusing.
Lintang merasa pusing lagi. Entah ada yang salah dengan kepalanya atau perkataan temannya tadi siang.
Ia menghela napas panjang. Berusaha menetralkan emosinya. Ia tak ingin meledak-ledak karena rumor yang sangat kekanakkan itu.
Seharian ini ia sama sekali tak menghubungi Yeonjun. Ia ingin menyingkirkan pikiran-pikiran aneh di kepalanya dulu. Walaupun Yeonjun sudah berapa kali mengiriminya pesan dan melakukan panggilan.
Alhasil ia tinggalkan gawai di rumah. Dan membawa dirinya makan malam bersama adik dan ibu.
"Hari ini mau ketemu siapa?" tanya Lintang. Ia membenarkan sedikit dress hitamnya. Dan kunciran rambut yang dirasanya miring.
"Kita akan reuni."
"Dengan siapa?"
"Lintang!"
Ketiganya menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki jangkung berbalut jas dan berkacamata bulat duduk di salah satu meja bundar di sana.
Wajahnya tampan dan menenangkan. Wajah yang sudah lama tak Lintang lihat. Ia membeku di tempat, sebelum akhirnya sang ibu merangkul dan membawanya duduk bersama lelaki tadi.
"Kok bisa kak Soobin di sini?" tanyanya masih tak percaya.
"Ini hadiah buat kamu. Karena masih mau ngehubungin kakak," jawabnya sambil tersenyum.
"Ah iya, aku minta maaf ga ngehubungin sama sekali. Kejadian itu masih...,"
"Gapapa.... Kakak paham."
Rasa bersalah kembali datang. Senyum yang diberikan Soobin menenangkan sekaligus membuka kenangan lama di hatinya.
"Kabar ibumu gimana?" Ini sang ibu yang berbicara. Sembari memberikan tatapan hangat kepada lelaki itu.
Soobin hanya mengulum senyum matanya menyendu. Tanpa dijawab pun sepertinya Lintang tau jawabannya.
Mama Choi sakit keras. Setidaknya itu kabar terakhir yang ia dengar dari Soobin.
"Masih sama saja tan, mama belum nunjukin perkembangan apapun," ucapnya sendu.
"Kamu gapapa malam ini di sini?"
"Gapapa tante, kalo malem mama udah tidur, aku juga udah minta tolong titip sama salah satu perawat malam ini."
Wajah Lintang kembali mengguratkan kegelisahan dan rasa bersalah. Mama Choi adalah orang yang baik. Melihat Soobin yang masih mau menemui mereka malam ini, membuat hatinya tersentuh.
"Kakak juga mau bahas tentang yang di telpon itu Lin," kata Soobin. Kini semua tatapan tertuju pada Lintang.
"Dia, masih hidup. Hanya saja yang kakak tau dia kehilangan ingatan."
Hening. Ketiga wanita itu sebenarnya sudah menduga.
"Juga terasingkan. Aku gatau detailnya bagaimana tapi dia ditinggalkan begitu saja di rumahnya."
"Tunggu, bagaimana dia hidup?"
"Aku kurang tau. Tapi sepenglihatanku dia masih terlihat sehat walaupun badannya sangat kurus? Entahlah," jawab Soobin.
"Kasihan anak itu. Ia menanggung semuanya sendiri," sang ibu tiba-tiba berucap.
"Tante gapapa?" tanya Soobin.
"Tentu saja. Lagipula itu masa lalu."
Di meja itu semuanya terdiam. Mereka sangat tahu masa lalu menyakitkan yang seharusnya tak terjadi di antara mereka.
Ah, rumah itu. Pikiran Lintang kini menjurus ke sana. Rumah besar yang juga menyimpan memori masa kecilnya. Jadi sang adam yang sering muncul di mimpinya masih bertempat di sana.
"Aku boleh ketemuan sama dia?" tanya Lintang memastikan.
Soobin menatapnya sebentar, lalu menatap sang ibu serta Reen.
"Jangan, dia akan bingung kalau kamu tiba-tiba datang ke rumahnya. Kita tidak tau apakah mentalnya masih sama atau tidak setelah kejadian itu."
"Tapi dia terus mendatangiku, kak."
"Biarkan saja, dia sudah mulai mencari. Jika kau langsung mendekatinya, aku tidak yakin dia bisa mengontrol emosinya."
Kata-kata itu seperti bumerang bagi Lintang. Ia dihadapkan dengan kebingungan dan rasa rindu dari masa lalu yang muncul.
"Sekarang kita makan dulu ya," suara lembut sang ibu kini mengalihkan atensi. Dan mereka menikmati makan malam itu dalam tanya.
🥀
TBC
Di tulisan ini aku ngerasa udah fine aja dibanding chapt yang kemarin. Entah kenapa kalo kebanyakan, ngerasa ga kekontrol dan ujung-ujungnya ngebosenin. Tapi itu menurutku, gatau kalau kalian hehe....
Untuk yang sudah mampir terimakasih semoga betah. Dan untuk yang udah nungguin ini cerita makasih banget ga nyangka aja gitu ada yang mau nungguin wkwkwk.... Makasih juga untuk vote dan komennya. Klo bisa di share gitu hehehe...
Semoga kalian betah sampai akhir buku ini ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Poem •Hueningkai•(Revisi)
FanfictionHidup bagai genre dalam puisi. Dan hal hal rumit lain yang harus dilewati Kamal. Demi menjaga harga diri. Start April 2020 ©tatann_