D e l a p a n B e l a s

42 4 3
                                    


Sinar matahari menelusup pelan ke dalam kamar hangat di lantai dua. Jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, membiarkan angin kecil masuk mengusik tirai putih.

Kamal sudah bangun lima menit yang lalu. Namun agaknya mengumpulkan sukma yang hampir berkeliaran membuat waktunya sedikit terpotong.

Setelah dirasa cukup melamun, Kamal beranjak dari kasur—menuruni tangga perlahan menuju dapur dan mengambil air minum. Namun niatnya itu seketika berhenti ketika netranya menyadari eksistensi lain di ruang tamu.

Seorang wanita berwajah oriental. Cantik namun terkesan angkuh. Terlihat duduk dengan nyaman di sofa. Surai cokelatnya ia biarkan tergerai begitu saja. Matanya menatap Kamal yang juga menatapnya awas.

"Selamat pagi sayang," sambut sang wanita. Senyumnya sungguh menawan namun Kamal merasa tak nyaman.

"Pagi," sapanya pelan. Ia mempercepat langkahnya menuju dapur, berniat tak menghiraukan wanita di sana.

"Sepertinya kamu sudah 'sadar' lagi ya?" sambungnya kecil. Kamal meminum air dingin dengan santai. Ia masih berusaha tenang.

Ia tentu saja tahu siapa wanita cantik yang kini sibuk memandang interior di rumahnya. Ia adalah orang yang dulu sangat dihindari keluarganya. Bahkan sebelum tragedi yang terjadi, ia sudah mengenal jelas wanita itu.

"Lalu kalau aku sadar kembali kau mau apa?" tanya Kamal sinis. Wanita itu menampakkan seringainya setelah dari tadi menampilkan senyum manis.

"Tentu saja, akan banyak pilihan yang harus kau pilih. Termasuk rumah ini dan isinya," jawabnya. Tangan Kamal mengepal kuat, ia mati-matian menahan emosi. Ia tak ingin terlihat lemah dengan emosi yang meledak.

"Aku tak akan memilih apapun yang kau tawarkan," Kamal berjalan mendekat. Ia lalu mendudukkan dirinya di depan wanita tersebut. "karena kau bukan siapa-siapaku."

Wanita tadi tertawa pelan.

"Kau tidak mau menyuguhkan teh atau cemilan manis untukku?"

"Tidak akan. Karena kau harus pergi sekarang."

Wanita tadi menatapnya datar. Ekspresinya sejak tadi mudah sekali berubah dan Kamal sangat tahu.

"Baiklah, aku harus ingatkan lagi hutang orangtuamu itu. Harus dilunaskan, jika tidak, rumah ini jaminan. Kau mengerti?"

"Tentu saja. Aku sangat tahu. Jangan kau cemaskan soal hutang itu."

"Benarkah? Apakah sudah punya uangnya tuan muda? Aku dengar warisanmu sudah habis diambil keluarga bodohmu."

Wajah Kamal mengeras, kedua tangannya mengepal kuat. Jika ia tak mendahulukan akal, mungkin wanita di depannya ini sudah habis dan berakhir membuangnya ke jurang terdalam.

"Jangan banyak bicara dan keluar saja. Soal uangmu itu urusanku, dan warisan itu juga urusanku. Tidak usah sok tau dengan kehidupan orang," ucap Kamal dingin.

Wanita tadi juga tak berucap apa-apa. Wajahnya terlihat kecewa karena reaksi amarah yang ia tunggu-tunggu tak ia dapatkan dari pria di depannya ini.

"Kau tau tenggat waktunya." Wanita itu berlalu dari hadapannya. Menyisakan Kamal seorang diri. 

Kamal mematung di tempatnya. Ia sendiri sebenarnya pening. Membayar hutang sebanyak itu darimana uangnya? Warisan yang tersisa cukup untuk menghidupinya selama tiga tahun jika ia tak bekerja.

Namun jika ia bayarkan semuanya, ia tak yakin bisa bertahan setahun.

Di tengah kekalutannya sebuah panggilan rumah berdering kencang. Bahkan ia hampir terjungkal ke belakang.

"Halo."

"Halo Kamal. Bisa ketemu?"

🥀

Tbc

Jujur aku ngerasa ini kayaknya ngebosenin. Hemmmmmmm...... 

Like a Poem •Hueningkai•(Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang