• TIGA BELAS •

158 22 3
                                    

Tiga Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

Selama jam pelajaran matematika berlangsung, Stella kehilangan seluruh fokusnya karena tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Dimas soal Om Antoni yang berencana untuk mengadopsi anak. Dari sekian banyak pilihan, kenapa harus adopsi anak? Kenapa harus membawa orang asing masuk ke dalam keluarga mereka sementara darah daging mereka sendiri sedang membutuhkan keadilan karena kematiannya yang janggal.

Stella memejamkan mata, mengerjakan netra hitamnya beberapa kali, menghela napas panjang dan berkali-kali memencet ujung pena miliknya ketika Bu Dina sedang memberikan materi di depan kelas. Pandangannya mungkin tampak seperti seorang siswi yang sedang memerhatikan pelajaran dengan baik, tapi sebenarnya pikiran Stella sedang melayang-layang entah kemana sekarang.

Setelah melalui satu jam tanpa sedikitpun mengerti dengan apa yang disampaikan oleh wanita paruh baya di kelasnya, Stella akhirnya bisa bernapas lega karena bel pulang sudah berbunyi.

Semua murid di kelasnya langsung berhamburan keluar dan meninggalkan kelas dengan penuh semangat karena besok adalah hari Sabtu. Hari libur untuk seluruh siswa SMA Nusantara yang tidak memiliki jadwal ekskul.

Samuel tampak sibuk membereskan buku-buku di atas mejanya, ketika Stella memperhatikan. Stella kemudian memberanikan dirinya untuk menepuk lengan Samuel dengan pelan hingga membuat cowok itu menoleh. "Ada apa, Stell?"

"We need to talk, Sam."

Samuel menyaksikan Stella gugup di hadapannya. Jarang sekali cewek dengan kepribadian juteknya itu menunjukkan sisi lain dari dirinya. Biasanya, Stella akan memanggilnya dengan tatapan dingin atau cuek, tapi kali ini, cewek itu terlihat lumayan gugup dan tidak percaya diri. Cowok yang terlahir sebagai keturunan keluarga berada itu pun menyimpan buku-bukunya ke dalam tas sebelum kemudian menggeser posisi tubuhnya dan kini duduk menghadap Stella. Ia menatap cewek di depannya dengan penasaran sambil berkata, "Oke. Mau bicara apa emang, Stell?"

Stella menggigit bibir bawahnya ragu. Tidak yakin apakah melemparkan pertanyaan itu langsung ke gawang akan memberikan dampak baik setelahnya. Setelah menimbang untuk beberapa saat, Stella akhirnya memutuskan untuk tidak jadi bertanya perihal Om Antoni yang berencana mengadopsi anak kepada Samuel. Bagaimanapun juga, Samuel adalah sepupu Karen yang paling yakin bahwa sepupunya itu tewas karena dibunuh oleh seseorang. Ia pun tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung. "Itu--gue mau tanya, gimana menurut lo kalau di pensi nanti, kita bikin musikalisasi puisi?"

Stella sendiri tidak yakin dengan apa yang dikatakannya barusan, tapi tampaknya Samuel menanggapinya dengan cukup serius. Terlihat dari wajahnya yang agak terkejut dan matanya mengerjap beberapa kali. "Musikalisasi puisi?"

"Ah, ya, itu...," Stella kembali mengigit bibirnya. Takut Samuel curiga kepada sikap anehnya barusan. "Gue pikir mungkin kita bisa buat sesuatu yang, mungkin juga, disukai sama Karen."

Ekspresi bingung di wajah cowok Samuel luruh seketika dan berubah menjadi datar tanpa sedikitpun menyisakan air muka yang dapat dimengerti oleh Stella. Cewek itu pun mengerutkan dahinya dalam-dalam dan menepuk tangan Samuel hingga cowok itu tersadar dari lamunannya.

"Are you okay, Sam?"

Sam terkesiap untuk beberapa detik dan tertawa setelahnya. Ia lalu menganggukan kepalanya dua kali dan menyunggingkan senyum lembut di bibirnya yang keabuan. Samuel memang terlihat seperti malaikat jika sedang tersenyum seperti ini, pantas saja siswi SMA Nusantara banyak yang suka padanya. "Ide lo keren banget, Stell," puji Samuel. "Gue malah nggak kepikiran sama sekali untuk bikinin sepupu gue itu sesuatu."

Stella tersenyum tipis ketika Samuel mengusap pelan puncak kepalanya sembari berkata, "Makasih udah peduli. Gue benar-benar terharu dengarnya." Ia kemudian menarik ranselnya dari meja dan membawanya di punggung. "Mau pulang bareng hari ini?"

Cewek itu diam sesaat dan menggeleng pada akhirnya. "Enggak, deh. Gue ada perlu dulu," kata Stella berterus terang. Ia hanya sedang butuh waktu untuk menenangkan pikirannya sendiri sekarang dan menemukan jalan agar masalah ini segera terselesaikan.

Mereka kemudian pergi dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan kelas karena siswa lain sudah lebih dahulu melesat keluar ketika bel pulang berbunyi. Samuel kemudian pulang dengan mobilnya sementara Stella masih berdiri di depan gerbang sekolah dengan perasaan bimbang.

"Sebenarnya gue ini mau apa, sih?" kata Stella bermonolog. Ia bahkan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal karena terlalu bingung dengan apa yang seharusnya ia lakukan dengan kematian Karen. "Kalau gue ikut campur, kira-kira bahaya nggak ya?"

Stella sendiri tidak yakin pada dirinya sendiri. Namun keyakinannya akan Karen yang membutuhkan keadilan benar-benar melebihi batas. Ia sangat penasaran dan merasa perlu memecahkan rahasia ini sendiri. Tidak, Stella bukannya tidak percaya pada Samuel. Namun fakta bahwa Samuel adalah orang pertama yang menemukan jasad Karen membuatnya memiliki spekulasi lain tentang kebenaran yang terjadi malam itu.

Stella pun menjentikkan jarinya di udara dan tersenyum percaya diri. Sebuah ide baru saja muncul di kepalanya, seperti lampu yang tiba-tiba menyala dan membantunya seperti di film-film. Ia pun merogoh saku roknya untuk mengambil ponsel di dalam sana. Dengan cepat, Stella menekan beberapa angka dan membuat panggilan.

Selang beberapa detik, seseorang di sebrang sana akhirnya mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Nak?"

"Aku pulang terlambat hari ini," katanya mencoba memberi tahu. Meski Stella sebenarnya juga sudah tahu bahwa kedua orang tuanya tidak akan peduli. "Apa nanti Mama bisa jemput aku di sungai Harapan sekitar jam lima? Mama udah pulang di jam itu, 'kan?" suaranya jelas terdengar begitu berharap, tapi Stella tidak ingin harapan menjatuhkannya lebih dalam.

"Aduh, sepertinya Mama nggak bisa." Desah panjang terdengar dari suara di sebrang. "Gimana kalau kamu coba telpon Papa, ya? Atau minta jemput Samuel aja, gimana?" Tapi yang dibutuhkan Stella saat itu adalah Mamanya, bukan Samuel atau siapapun.

Keheningan terjadi untuk beberapa saat. Sampai akhirnya cewek berambut panjang itu menarik napas dalam-dalam dan berkata, "It's okay. Aku bisa pulang naik taksi online nanti. Cuma mau tahu aja apa Mama bisa jemput aku atau enggak."

"Oke sayang. Kamu jangan terlalu malam ya pulangnya," katanya dengan lembut. "Maaf karena Mama harus rapat sama ketua partai sekarang. Nanti Mama telpon lagi ya, See you.

Stella tertawa pahit ketika panggilan itu diputus oleh ibunya tanpa menunggunya merespons. Ironi, tapi itulah yang terjadi. Kedua orang tua Stella sibuk sejak mereka bergabung di dunia politik. Ambisi memang musuh berbahaya untuk setiap manusia. Jika bukan karena ambisi, Stella pasti sudah bersenang-senang dan menikmati kasih sayang yang seharusnya dia dapatkan dari kedua orang tuanya yang sibuk berpolitik itu.

Sebelum cewek itu melangkah pergi meninggalkan gerbang sekolah, sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Sosok siswa berperawakan atletis itu lantas membuka helm fullface nya karena Stella terus memandangnya dengan penasaran.

Namun ekspresi bingung itu berubah menjadi kaget ketika sosok yang kini berada di atas motornya itu adalah Juna. Rona di pipi Stella memerah seketika. Ia berusaha mati-matian menjauhi Juna karena malu, tapi cowok itu malah muncul di hadapannya sekarang.

"Ju--juna?"

"Lo nggak bisa nemuin Karen sendirian dalam kondisi itu, Stell. Jadi, izinin gue buat antar lo ke sungai Harapan sekarang." []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang