• DUA PULUH DUA •

141 22 5
                                    

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

Lapangan sekolah.

Stella termangu di tempatnya berdiri sekarang. Suara orang-orang yang saling bertumpang tindih di sekitarnya kini bercampur dengan tawa puas yang berasal dari Ganisa dan teman-temannya hingga menyebabkan efek bising di kedua telinga cewek berambut panjang itu. Dan situasinya menjadi tambah parah ketika netra hitam Stella menangkap sosok Clara yang terus menangis dalam keadaan terikat di kursi sedangkan tak ada satu pun dari orang - orang itu yang bergegas membantu.

Kepala Stella berdenyut nyeri dan pandangannya mulai berbayang. Di ambang kesadaran, mata cewek itu sempat mendapati sosok teman-temannya menghampiri. Namun Stella tidak bisa memastikan apa yang terjadi selanjutnya, karena pada detik setelahnya, pandangannya mengabur dan langsung gelap bersamaan dengan tubuhnya yang mendarat jatuh ke tempat kakinya berpijak.

"Stella! Stella! Bangun, Stella!"

Juna, Samuel dan Dimas muncul di sana. Juna langsung memarahi Ganisa dan semua siswa yang berkerumun mengelilingi mereka terutama yang mengambil gambar, sedangkan Samuel mencoba membangunkan Stella dan Dimas melepaskan tali yang mengikat tubuh Clara.

Stella dan Clara kemudian segera dibawa ke ruang kesehatan oleh ketiga cowok itu.

"Gimana, Bu?" tanya Juna pada Bu Lia, guru yang mendapat giliran jaga di ruang kesehatan pagi itu. "Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit aja?"

Wanita yang mengikat rambutnya ke belakang itu lantas menggeleng pelan. "Stella baik-baik saja, dia pingsan karena tekanan darahnya rendah. Mungkin karena syok atau kekurangan asupan gizi," jelasnya dengan lembut. "Sebentar lagi dia juga pasti pulih, kok."

Samuel yang berdiri paling dekat dengan Bu Lia pun mengangguk paham dan tersenyum sopan. "Makasih banyak ya, Bu."

"Kalau begitu, saya mau ke ruang guru dulu, kalau ada apa-apa, langsung cari saya lagi ya," kata Bu Lia. "Kalian juga kalau Stella sudah sadar, sebaiknya kembali ke kelas. Jangan kumpul terlalu lama di sini, sayang kalau sampai ketinggalan pelajaran."

Juna, Samuel dan Dimas kompak menjawab. "Iya, Bu." sebelum guru berusia 30 tahunan akhir itu melenggang pergi meninggalkan ruang kesehatan.

Dimas kemudian duduk di pinggir ranjang, tempat dimana Clara berbaring. "Lo nggak apa-apa, La?" tanyanya cemas. "Kita bertiga tadi kaget banget liat kalian berdua di depan lapangan kaya gitu. Iya 'kan?"

Ketika Dimas melempar pandangannya ke arah Juna dan Samuel, kedua cowok itu pun langsung mengangguk mengiyakan hingga membuat Clara bangun dan duduk bersila di atas ranjangnya. "Gue udah baikan, kok," kata Clara dengan suara yang parau.

Tidak bisa dipungkiri, Clara tadi menangis cukup lama hingga membuat kedua matanya sembab dan tenggorokannya terasa kering. Belum lagi, mentalnya yang ditekan habis-habisan oleh senior killer macam Ganisa dan seluruh siswa menyaksikannya dengan pandangan menghakimi seperti tadi. "Gue ... mau minta maaf sama kalian," sambung cewek yang akrab dipanggil Lala itu. "Gue minta maaf karena udah nggak jujur sama kalian selama ini. Terutama sama lo, Sam. Karen itu sepupu lo, gue jelas merasa paling bersalah sama lo atas kematiannya dia."

Samuel yang kebetulan duduk dengan Juna di pinggir ranjang Stella pun tersenyum tipis dan menepuk bahu kiri Clara yang tepat berada di hadapannya. "Semua yang udah berlalu, biarin aja. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi," ucapnya memaafkan. "Karen juga pasti sedih kalau liat kondisi lo dan Stella hari ini."

Cewek berambut pendek itu menganggukkan kepala dan tersenyum pahit. "Tapi ... gue nggak benar-benar nukar hasil ujian Karen, Sam."

Ketiga cowok yang ada di sekeliling Clara pun saling bertukar pandang dan mengernyitkan kening masing-masing karena sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan Clara barusan. "Maksudnya, La?" tanya Samuel ingin tahu. "Sori, gue nggak maksud menghakimi lo. Tapi wajah lo kelihatan jelas di video itu, La."

Clara menelan ludah dan memandangi ketiga temannya dengan tatapan tak nyaman. Terutama ketika matanya yang kecil menangkap wajah Stella yang masih berada dalam keadaan tidak sadarkan diri. Karena sikapnya yang pengecut, Clara harus menerima konsekuensinya sekarang;Karen tewas dan Stella syok karenanya. "Gue di suruh sama Ganisa buat nuker kertas jawabannya Karen hari itu."

"Hah?" Dimas melongo, pun kedua temannya yang duduk berhadapan dengannya. "Kok bisa? Enggak, enggak. Pertanyaannya yang benar adalah kok lo mau disuruh-suruh sama Ganisa?"

"Ganisa benci banget sama Karen karena suatu hal yang gue sendiri pun belum tahu alasannya sampai sekarang," ungkap Clara. "Tebakan gue adalah Karen tahu rahasia besar Ganisa dan Ganisa jadi merasa terancam."

Dimas menyilang kedua tangannya di dada dan melihat Clara antusias. "Terus terus?"

"Waktu itu, gue dilabrak sama Ganisa. Gue ditarik ke toilet cewek dan kepala gue dimasukin ke dalam ...," suaranya menggantung di udara. Sesaat, Clara tak kuasa mengingat kejadian mengerikan yang menimpanya hari itu hingga membuat suaranya tertahan dan kedua matanya berkaca-kaca. Namun kemudian, Clara pun akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Kalian pasti tahu kepala gue dimasukin kemana, 'kan?"

"Astaga, benar-benar iblis tuh cewek. Phsyco!" sela Juna dengan kesal. "Terus, lo diapain lagi?"

"Dia tanya apa kelemahan Karen dan Stella ke gue," sambung Clara, masih dengan suaranya yang rendah dan sedikit serak. "Waktu itu, gue dipukul beberapa kali sama Ganisa sampai akhirnya gue buka suara."

Samuel yang tidak bisa menahan rasa penasaran dalam benaknya pun segera memotong. "Memangnya apa kelemahan mereka berdua?"

"Karen paling takut kalau nilai-nilainya turun, apalagi kalau sampai nggak dapat peringkat di tiap ujian. Om Antoni kayaknya tipikal orang tua yang penuntut sama anak dan sayangnya, Karen itu mentalnya lemah. Dia gampang terpengaruh dan cepat putus asa," tutur Clara. "Dia suka cerita ke gue kalau dia itu sebenarnya terbebani sama permintaan orang tuanya yang mau lihat Karen jadi dokter suatu hari nanti."

Samuel mengangkat satu tangannya di udara hingga Lala tidak melanjutkan cerita. Ia mengambil pose seorang murid yang ingin melempar pertanyaan pada sang pengajar di kelas. "Gue tahu Om Antoni memang bersikukuh banget kalau Karen itu harus jadi dokter, tapi ... selama gue kenal Om Antoni, dia nggak pernah kelihatan maksain Karen kaya yang lo ceritain barusan."

"Dan soal Ganisa," timpal Juna. "Apa buktinya kalau hari itu lo memang disuruh sama dia?"

Clara melihat Samuel lalu ke Juna bergantian sebelum akhirnya mendengkus geli. "Lo berdua sekarang nggak percaya sama gue?" keduanya diam, tidak mengiyakan ataupun menyangkalnya. Sehingga Clara harus mengeluarkan ponsel dari saku roknya dan sebuah rekaman suara diputar olehnya; rekaman ketika Ganisa menyuruh Clara hari itu. "Ini, rekaman hari itu. Gue sempat rekam karena kebetulan gue mau kirim voice note ke Karen."

"Kenapa nggak lo laporin aja ke kepala sekolah?" tanya Dimas.

"Gimana caranya, Dim? Posisi gue waktu itu sulit banget. Kalau gue berpihak sama Karen, gue juga udah pasti kena hukuman karena bisa dibilang ya gue ini juga terlibat. Kalau ada pembunuh, bisa dibilang kalau tugas gue ini sebagai kaki tangan pembunuh, Dimas." Tangis Clara kembali pecah. Ia memandangi ketiga cowok di hadapannya dengan sedih. "Satu-satunya kesalahan yang gue lakuin ke Karen hari itu adalah ... gue ini egois. Gue lebih milih buat nyelamatin diri gue sendiri dibandingkan keselamatan Karen. But I swear, I didn't kill her, guys." []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang