• SEMBILAN BELAS •

143 21 0
                                    

Enam Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enam Belas Hari Setelah Kematian Karen.

Stella duduk di depan meja belajarnya dengan kedua tangan yang menopang dagu. Matanya yang hitam menatap jauh keluar jendela yang--mengarah langsung ke jalanan di luar dan--berada tepat di hadapannya. Kepalanya terus miring ke kiri dan ke kanan setiap kali melihat awan bergerak di langit malam itu.

"Apa lebih baik gue catat dulu kali ya kemungkinan-kemungkinannya," katanya bermonolog. "Kalau cuma dipikirin, gue malah jadi pusing sendiri."

Setelah mengangguk mantap, cewek yang menggunakan piyama tidur berwarna merah dengan motif doraemon yang menggemaskan itu pun segera mengeluarkan buku catatannya yang selalu ia simpan di dalam nakas bersama novel-novel kesukaannya. Jumlah novel yang dimiliki Stella tidak banyak, karena sebagian besar sudah dia berikan pada Karen dan Clara karena kedua sahabatnya itu juga suka sekali membaca novel.

1. Samuel
2. Juna
3. Clara
4. Dimas
5. Ganisa
6. Helena
7. Sera
8. Bani
9. Edwin
10. Gilang

Stella pun menggumam panjang dan mengetuk-ngetuk pulpen bergambar doraemon dalam genggamannya ke atas permukaan buku. "Gue tulis deh di sampingnya aja biar gampang," ucapnya.

1. Samuel : Orang pertama yang nemuin jasad Karen
2. Juna : Nomor Karen kirim pesan personal ke dia
3. Clara : Orang terakhir yang ngobrol sama Karen
4. Dimas : ?
5. Ganisa : Orang yang suka ngebully Karen
6. Helena : Idem.
7. Sera : Idem.
8. Bani : ?
9. Edwin : ?
10. Gilang : ?

Cewek itu kemudian meletakkan penanya ke atas meja dan mengikat rambutnya dengan gaya messy bun dengan beberapa anak rambut yang dibiarkan jatuh dengan asal. Dahinya berkerut dalam tatkala membaca kembali nama-nama dan semua yang Stella tulis di atas buku catatannya itu. "Samuel bisa aja bohong soal kematian Karen. Mungkin aja Karen masih hidup tapi kalau Samuel benar pelakunya, dia pasti langsung ngebunuh Karen dalam kesempatan itu.

Terus Juna ... dia nerima pesan 'someone please help me' dari Karen secara personal. Apa mungkin Juna pelakunya dan seseorang yang nemuin ponsel Karen mau bikin Juna ketakutan?" Stella menggigit bibirnya ragu sebelum kembali melanjutkan tebak-tebakannya. "Clara adalah orang terakhir yang ngobrol sama Karen di sekolah, tapi apa mungkin cewek lemah lembut bisa ngebunuh, ya? Dia aja dibully sama Ganisa diam aja. Boro-boro ngebunuh orang, deh. Apa gue coret aja ya namanya?"

Stella menimbang-nimbang untuk sesaat sampai akhirnya sebuah keputusan pun muncul. "Enggak, Clara mungkin nggak bisa ngebunuh Karen. Tapi setidaknya dia pasti tahu sesuatu. Gimana pun juga, Clara itu orang terakhir yang ngeliat Karen sebelum dia menghilang. Oke, gue nggak akan dulu coret nama lo ya sampai gue dapat informasi tentang Karen dari lo, La."

Cewek itu kembali mengambil penanya dari atas meja dan menunjuk nama Dimas. Ia menggumam dan mengernyitkan keningnya bingung. "Dimas? Gue nggak tahu apa-apa soal Dimas," ungkapnya. "Dia kayak tiba-tiba sibuk dengan persiapan lomba dan menjauh gitu aja.

Tapi, kenapa gue nggak punya sedikit informasi Karen dari Dimas ya? Apa gue coret dulu aja namanya?"

Suara ketukan di pintu membuat Stella mengalihkan fokusnya dari buku catatan. Kemudian suara Mama pun terdengar dari arah luar. "Stella, bisa kamu keluar sebentar, Nak?"

Stella bangkit dari kursi dan berjalan menuju sumber suara untuk kemudian membuka pintu kamarnya. "Mama? Tumben udah pulang?" katanya menyindir.

Yang kemudian ditimpali oleh sang Mama dengan suara yang lembut dan ramah. "Memangnya Mama nggak boleh pulang cepet? Omong-omong, bukan cuma Mama yang udah pulang, tapi papa kamu juga. Mama udah beli nasi goreng kambing di tempat langganan kita. Gimana kalau sekarang kita makan bareng?"

Stella pun tersenyum sumringah dan mengangguk antusias. Bagaimanapun juga, makan bersama kedua orang tuanya merupakan salah satu hal langka yang mungkin hanya bisa terjadi sebulan sekali atau di momen-momen tertentu. Cewek itu jelas tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini.

"Kamu lagi belajar ya?" sapa Papa ketika Stella muncul dan bergabung dengannya di meja makan. "Maaf ya kalau Mama dan Papa ganggu kamu."

Stella menggeleng cepat dan langsung duduk di sebelah papanya. Masih dengan wajah senang, cewek itu pun membalas. "Enggak ganggu kok, Pa. Lagian kapan lagi aku bisa makan bareng sama kalian?"

Meski terdengar seperti bersyukur, tapi kata-kata yang terlontar dari mulut Stella barusan justru membuat Jeff dan Dania saling bertukar pandang dengan ekspresi canggung dan merasa bersalah. Dania pun menyodorkan sepiring nasi goreng kambing spesial kepada Stella dan tersenyum lembut. "Ini, dimakan ya," kata Dania. "Omong-omong gimana sekolahmu?"

Stella mengunyah nasi goreng yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya dengan cepat sebelum akhirnya membalas. "Baik, Ma."

Jeff melihat Dania sebentar lalu ke Stella yang tampak sangat lahap memakan nasi gorengnya malam itu. "Stella, ada sesuatu yang mau Papa dan Mama omongin sama kamu," tuturnya dengan hati-hati. "Tapi Papa harap, kamu nggak marah ya."

Tangan Stella yang hendak menyiuk kembali sesuap nasi goreng mendadak terhenti ketika mendengar kalimat papanya barusan. Ia lalu mendongak perlahan dan menatap sang papa dengan raut penasaran. "Ada apa, Pa?"

"Papa akan lebih sering bepergian ke luar negeri untuk urusan pekerjaan dan Mama juga akan lebih sibuk dari biasanya karena menghandle beberapa urusan Papa di sini," terangnya secara perlahan. "Kami mungkin nggak bisa ambil rapot atau pergi ke pertemuan orang tua di sekolah. Tapi sebagai gantinya, Papa sudah menyewa seorang asisten buatmu dan papa sudah belikan mobil baru juga. Selama kamu belum punya SIM, biar asistenmu yang antar kamu kemana mana ya."

Stella mendengus kasar dan meletakkan sendoknya dengan kasar ke atas piring sehingga menimbulkan bunyi denting nyaring yang mengejutkan Jeff maupun Dania. Ia kemudian beranjak dari kursinya dan menunduk muram. "Stella pikir kita bisa lebih sering makan bareng-bareng kaya gini, kaya yang dulu sering kita lakuin. Ternyata ... buat ketemu Mama dan Papa pun akan semakin susah ya." Netra hitam Stella yang sudah berkaca-kaca pun menatap Papa dan Mamanya bergantian. "Stella lebih senang nggak punya mobil baru tapi Papa dan Mama bisa di sini terus sama Stella."

Dania beranjak dan berusaha menenangkan putrinya. "Stella, kami--"

"Melakukan semuanya buat Stella?" potong Stella itu dengan kesal. Ia kemudian mendengkus kasar dan berbalik, hendak kembali ke kamarnya sebelum akhirnya Stella kembali bersuara. "Stella berharap Papa dan Mama nggak pernah terjun ke dunia politik." lalu kakinya yang jenjang pun melenggang ke kamarnya.

Ia membanting pintu dengan keras dan tubuhnya merosot jatuh tepat di balik pintu. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini pecah tak terbendung lagi. Stella menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang ditutup oleh kedua tangannya sendiri. Berharap waktu dapat diputar kembali ke masa dimana kedua orang tuanya tidak seambisi sekarang.

Stella berharap bisa kembali ke masa-masa indah itu;masa dimana ia masih mendapatkan kasih dan sayang dari kedua orang tuanya. []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang