• DUA PULUH DELAPAN •

142 20 3
                                    

Delapan Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Delapan Belas Hari Setelah Kematian Karen.

Rumah Stella, Jakarta.

Stella tengah sibuk merapikan ruang utama bersama Bi Ina di rumahnya. Ruangan berdominan putih yang biasa ia gunakan hanya untuk menonton televisi atau sekadar mengobrol bersama Papa dan Mama, kini disulap menjadi hamparan kasur lipat yang dijajar rapih menghadap ke televisi dengan masing-masing satu bantal dan satu selimut.

Cewek yang kini menggunakan kaos polos pendek berwarna hitam dan celana pendek selutut dengan warna yang senada itu lantas tersenyum ketika selesai meletakkan satu boneka doraemon kesayangannya ke atas kasur lipat yang nantinya akan digunakan olehnya untuk tidur bersama teman-temannya malam itu.

"Non, kenapa nggak tidur di kamar tamu saja temannya?" tanya Bi Ina dengan sopan. "Apa nggak apa-apa tidur pakai kasur lipat begini?"

Stella tertawa dan berkacak pinggang. "Nggak usah khawatir, Bi. Soalnya tahun kemarin, waktu kita semua naik kapal pesiar buat ngerayain hari ulang tahun pernikahannya Papa sama Mama, kita semua juga tidur di satu ruangan kaya gini. Biar lebih berasa aja kebersamaannya, Bi," terangnya.

Wanita berusia 50 tahunan awal itu pun lantas mengangguk dan tersenyum lega. "Bibi tadi cuma khawatir, teman-temannya Non Stella nggak mau tidur di ruang keluarga," katanya berterus terang. "Kalau gitu, bibi ke belakang dulu ya buat siapin minuman, Non."

Tiba-tiba saja Stella menahan tangan wanita yang menggulung rambutnya dengan ikat berwarna hitam itu dan menatapnya serius seperti adegan di film-film horor yang sering ditonton oleh Bi Ina di televisi. "A--ada apa, Non?" tanya wanita itu takut. "Kok saya jadi deg-degan ya?"

"Kita punya obat bius nggak, Bi?"

"Hah? O--obat bius?"

"Kalau obat tidur?" lanjut Stella tanpa menghiraukan ekspresi asisten rumah tangganya yang kebingungan sekarang.

"Obat apa, Non?"

"Kalau obat bius sama obat tidur nggak ada. Gimana kalau racun? Pestisida yang biasa dipakai Mang Iwan di kebun, ada 'kan, Bi?"

Bi Ina buru-buru menutup mulutnya dengan raut syok di wajahnya.

"Sedikit aja, Bi," cecar Stella dengan cepat. "Kalau pestisida nggak ada, gimana kalau sianida?"

Bi Ina pun tak kuasa lagi menahan ketakutannya dan menepuk pelan lengan anak majikannya itu. "Astagfirullah, Non!" hingga membuat Stella terkesiap seketika. "Sing eling, Non. Sing eling, Ya Allah. Kenapa Non Stella jadi jahat begitu? Ih, amit-amit atuh kalau Non Stella mau bunuh temen-temen sendiri."

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang