• LIMA BELAS •

155 23 0
                                    

Empat Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

Hari Sabtu, adalah hari dimana Stella biasa menghabiskan akhir pekannya dengan menonton film, nongkrong di kafe atau belanja bersama Karen dan Clara. Kebiasaan itu rasanya sudah melekat dan jadi jadwal wajib untuk cewek keturunan Belanda itu bila hari Sabtu tiba.

Namun sudah dua pekan semenjak Karen meninggal dan Clara menjauh, Stella hanya bisa menghabiskan waktunya untuk berdiam di rumah seperti Beruang yang hibernasi sepanjang akhir pekan. Stella hanya bangun, mandi, makan, menonton televisi dan berselancar di dunia maya. Tidak ada hal yang benar-benar menyenangkan selain kebiasaannya bersama kedua sahabat baiknya dahulu.

Kali ini, Stella tidak ingin berdiam diri. Sesuai dengan niat dan tekadnya, cewek bertubuh tinggi itu akan menguak kebenaran di balik kematian Karen dengan petunjuk seadanya agar sahabatnya itu mendapatkan keadilan. Ia pun bergegas dengan kaus polos pendek berwarna hitam dan jeans navy sobek-sobeknya menuju rumah Karen. Karena kedua orang tuanya sudah berangkat pagi-pagi sekali dan mobil dipakai oleh mereka berdua, Stella terpaksa mengunjungi rumah mendiang sahabatnya itu dengan menggunakan taksi daring.

Begitu Stella sampai di salah satu komplek perumahan mewah di daerah Jakarta Selatan, cewek itu buru-buru menunjukkan lokasi rumah Karen pada sang pengemudi. "Rumah yang di depan ya, Pak. Cat merah, yang itu," katanya memberi tahu.

"Siap, Mbak," timpal sang pengemudi dengan penuh semangat.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit karena sedikit macet, Stella akhirnya sampai di depan rumah Karen dan segera turun dari taksi yang ditumpanginya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling setelah taksi tadi pergi dan menemukan komplek dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa orang yang melintas dengan mobil dan satu penjaga yang berpatroli di sana.

Ketika hendak memencet bel, seseorang tiba-tiba menepuk pundak cewek itu dari belakang hingga membuatnya membalikkan badan karena terperanjat. Ia memegangi dadanya yang berdegup kencang ketika menemukan sosok Samuel di hadapannya. "Sialan. Hampir aja gue kena serangan jantung!"

Samuel terkekeh geli. "Nggak gitu juga, kali," sahutnya sarkas. "Lo ngapain di sini? Mau main ke rumah Karen?"

"Um, itu, gue mau cari tahu sesuatu," kata Stella dengan suara yang pelan.

Belum sempat Samuel melempar pertanyaan berikutnya, suara kenop pintu yang terdengar dari dalam gerbang membuat keduanya panik dan dengan refleks Stella juga Samuel berlari kecil untuk kemudian berjongkok di balik pohon besar yang lokasinya tidak jauh dari rumah Karen.

"Om Antoni mau kemana pagi-pagi gini?" bisik Stella.

Samuel pun menggeleng dan berbicara dengan suara yang tidak kalah pelan. "Gue nggak tahu. Biasanya kalau akhir pekan tuh, Om Antoni sama Tante Diana pasti ada di rumah," terangnya. "Apa mau kita ikutin aja?"

Stella menyapu pandangannya ke sekeliling dengan tatapan waspada. "Gue nggak liat mobil lo, Sam," ujarnya berterus terang. "Kita mau ikutin Om Antoni pake apa? Taksi online?"

Sebuah mobil honda jazz berwarna hitam keluar dan melewati gerbang rumah Karen. Karena jendela di bagian pengemudi dalam keadaan terbuka, Stella dan Samuel dapat melihat dengan jelas bahwa Om Antoni yang mereka kenal lah yang ada di dalam mobil. Tampaknya Tante Diana tidak ikut pergi, karena kemudian wanita berambut pendek itu terlihat menutup kembali gerbang besar di rumahnya setelah mobil melenggang pergi.

"Ayo!" kata Samuel.

Dahi Stella pun berkerut dalam ketika mengamati gerakan Samuel yang berlari di depannya, menuju sebuah motor matic berwarna biru yang terparkir di sisi lain pintu gerbang milik rumah Karen.

"Kok malah bengong?" Samuel sudah duduk di atas motornya ketika pertanyaan itu terlontar untuk Stella. "Buruan naik! Om Antoni nanti keburu pergi jauh, gawat kalau nggak bisa disusul."

"Eh, i--iya!" Stella langsung berlari dan meloncat naik ke atas motor yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu dan berpegangan dengan erat pada kaus Samuel saat mesin dinyalakan dan motor melaju dengan kencang. Berusaha menyusul mobil Om Antoni yang sudah jauh di depan. "Sam, ini motor lo?"

Samuel tertawa dan melirik Stella dari kaca spion motornya yang sebelah kiri. Cewek itu tampak terheran-heran dan penasaran sekaligus. Membuat Samuel yang sedang fokus mengemudi menjadi gemas dengan ekspresi Stella yang seperti itu sekarang. "Emang gue pernah pakai barang milik orang lain?"

Stella meneguk ludahnya dan memutar bola matanya malas. Dasar tukang pamer. "Kalau punya motor, ngapain ke sekolah pakai mobil? Bikin macet jalanan aja, sih, Sam," gerutunya.

"Astaga. Siapa peduli sama kemacetan Jakarta?" Samuel kembali tertawa. "Mendingan sekarang lo pegangan yang kuat, gue soalnya harus nyalip mobil di depan biar Om Antoni kesusul."

"Eh? Tapi--AHH SAMUEL!"

Stella tidak pernah menyangka bahwa Samuel memiliki motor dan bisa mengendarainya sampai kebut-kebutan begini. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah Stella tidak menggunakan helm dan Stella tidak tahu apakah Samuel punya SIM untuk motor atau tidak. Jika mereka sampai bertemu dengan petugas lalu lintas, tamatlah riwayat mereka.

Namun beruntung, Samuel bisa menyusul mobil Om Antoni yang ternyata menuju ke sekolah mereka. Honda Jazz hitam milik polisi itu masuk ke dalam sekolah dan terparkir di area parkir khusus guru. Sedangkan Samuel menyimpan motornya di parkiran khusus siswa setelah sosok Om Antoni terlihat meninggalkan mobilnya dan masuk ke dalam sekolah.

"Ngapain Om Antoni ke sekolahan di hari libur gini ya, Sam?" tanya Stella begitu mereka turun dari motor. "Bikin curiga aja."

Samuel lalu mengangguk setuju dan memutuskan untuk berjalan mengendap-ngendap, mengikuti kemana arah perginya Om Antoni yang notabenenya adalah adik dari ayahnya yang juga ayah dari sepupunya, Karen.

Perjalanan Stella dan Samuel terhenti ketika menemukan Om Antoni tengah berdiri dan berbincang dengan Pak Nandre, kepala sekolah SMA Nusantara di depan ruangan kebesarannya.

"Pak Nandre?" Samuel mengernyitkan keningnya heran. "Tumben banget kepala sekolah kita ada di sekolah. Mau ketemu hari biasa aja susah, apalagi hari libur."

Stella yang bersembunyi dengan Samuel di balik papan pengumuman pun mengangguk setuju pada perkataan Samuel barusan. "Jangan - jangan, mereka berdua memang udah janjian buat ketemu hari ini?"

Cowok berzodiak scorpio itu lantas menoleh ke arah Stella dan membulatkan matanya antusias. "Wah, lo benar juga, Stell."

Karena penasaran, Stella dan Samuel pun memutuskan untuk berpindah posisi dan bersembunyi di balik ruangan yang paling dekat dengan lokasi Om Antoni dan Pak Nandre berada agar mereka bisa mendengar percakapan dua pria dewasa yang mencurigakan itu secara diam-diam. Mereka kemudian mendengar Om Antoni berkata,

"Seperti yang saya bilang kemarin, saya mau periksa kamera cctv saat anak saya tidak pulang ke rumah, Pak," ungkapnya dengan tegas. "Saya harus tahu siapa orang terakhir yang berbicara dengan anak saya sebelum dia benar-benar dinyatakan menghilang hari itu."

"Apa anda mencurigai kematian anak anda bukan disebabkan oleh keinginannya sendiri?" tanya Pak Nandre penasaran. "Seperti itu?"

Dan satu anggukan kecil dari kepala Om Antoni membuat Stella dan Samuel saling beradu pandang dengan tatapan syok di tempat mereka bersembunyi sekarang. []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang