• DUA PULUH LIMA •

127 18 6
                                    

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen.

Rumah Stella, Jakarta.

1. Samuel
2. Juna
3. Clara
4. Dimas
5. Ganisa
6. Helena
7. Sera
8. Bani
9. Edwin
10. Gilang

Siapa di antara orang-orang ini yang paling memungkinkan untuk membunuh Karen?

Stella mengembuskan napas berat dan menyandarkan punggungnya ke dinding setelah memindahkan Macbook dari pangkuannya ke pinggir ranjang. Tangannya yang berbalut gelang bertuliskan namanya sendiri itu pun memijit pelan pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri beberapa kali. Matanya yang sejak tadi memandangi layar berukuran 16inci itu juga kini terasa memanas dan pegal karena tidak biasanya Stella menggunakan benda berwarna perak itu lebih dari lima belas menit.

Biasanya, Stella hanya membuka internet melalui Macbook jika perlu melakukan copy-paste pada tugas sekolahnya. Lalu sisanya, ia hanya mengunduh beberapa drama korea di Macbooknya agar bisa menonton bersama di akhir pekan dengan Karen juga Clara. Namun kali ini, Stella terpaksa menggunakan benda kesayangannya itu lebih dari satu jam untuk mencoba meretas data sekolah demi menemukan rahasia Ganisa yang lain. Stella bahkan sampai berpindah dari meja belajarnya ke atas kasur karena bokongnya sudah terasa sakit.

"Gue udah pastiin semuanya dan satu-satunya anaknya Om Adi itu ya Ganisa," ucap Stella percaya diri. "Tapi masalahnya ... gue nggak bisa nemuin apa-apa soal orang yang namanya Antoni ini. Gue juga nggak tahu siapa nama panjangnya. Entah Antoni yang sama atau bukan? Astaga! Kepala gue mau pecah rasanya!"

Cewek itu menjambak rambutnya dengan frustrasi dan dalam hitungan detik membantingkan tubuhnya ke atas kasur dengan posisi telentang. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan gamang dan menganggukkan kepalanya. "Hari ini, gue hampir ketahuan sama guru kesiswaan, Ren," katanya seolah-olah Karen ada di hadapannya. "Gue nekat mencelakai diri gue sendiri demi lo. Gue juga nekat curiga sama Samuel, Juna sampai ke Clara juga gara-gara lo. Tapi, kenapa lo nggak sedikitpun bantuin gue, Ren? Kenapa lo justru bikin kepala gue pusing dengan satu persatu rahasia lo yang kita semua nggak pernah tahu? Sebenarnya, mau lo itu apa sih, Ren? Atau kalau boleh gue lancang, gue pengen nanya ini sama lo sekarang ... Lo itu sebenarnya siapa sih? Soalnya Karenina Wijaya yang gue kenal adalah sahabat gue yang suka banget baca buku, dia juga pintar dan selalu bikin kita semua ketawa.

Karenina Wijaya yang gue kenal itu nggak mungkin punya banyak rahasia kaya lo." Tanpa sadar, pelupuk mata cewek itu sudah digenangi oleh air dan hanya butuh satu kedipan saja, untuk membuat air mata itu akhirnya jatuh melewati kedua pipinya yang tirus. Ia kemudian memejamkan matanya dan tertawa pahit. "Karenina Wijaya yang gue kenal itu nggak pernah ninggalin gue sendirian, bahkan dia selalu ada setiap kali gue punya masalah sama orang tua gue. Karenina Wijaya yang gue kenal itu ...," Stella menelan ludah yang telah sedikit banyak tertahan di tenggorokannya karena tak berhenti bicara sejak tadi dan melanjutkan kata-katanya meski dalam keadaan suara yang parau. "Karenina Wijaya yang gue kenal itu nggak mungkin pergi dari dunia ini sebelum dia tahu kalau gue sayang dan peduli banget sama dia."

Stella mengangkat satu tangannya untuk kemudian menutup matanya yang memang sudah terpejam sebelumnya dengan lengannya yang kurus itu. Tangisnya pecah seketika dan untuk kesekian kalinya, dinding besar dalam kamarnya itu menjadi saksi bisu betapa sedih dan kesepiannya seorang Stella dalam melalui masa-masa sulitnya ini.

Setelah 30 menit berlalu, tangis cewek itu akhirnya mereda. Ia menarik napas dan menurunkan tangannya dari wajahnya sendiri. Stella kemudian bangun dari kasurnya dan menyadari bahwa ada satu notifikasi masuk di ponselnya.

"Samuel?" Stella menatap riwayat panggilan miliknya dengan tatapan tak percaya. "Dia nelpon gue sampai sepuluh kali tapi sama sekali nggak keangkat gara-gara gue lupa matiin mode silentnya. Ada apa ya? Gue telpon balik aja deh, jangan-jangan penting."

Cewek itu menekan ikon bergambar telpon berwarna hijau yang terletak di pojok kanan kontak Samuel dan menempelkan ponsel pintarnya di telinga. Panggilan pun tersambung beberapa detik setelahnya dan tidak lama dari itu, cowok di seberang sana pun mengangkat panggilannya.

"Sam? Lo nelpon gue tadi?"

"Lo kemana aja sih, Stell?!" pekik Samuel hingga Stella sempat menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya untuk beberapa saat sebelum kembali mendengarkan. "Gue nelponin lo sampai lumutan tau nggak!"

"Apa sih? Lebai banget," balas Stella ketus. "Kalau lo nelpon gue cuma buat marah-marah doang, mending gue tutup nih telponnya."

"Eeh, jangan dong!" sergah Samuel buru-buru. "Tadi gue ke rumah lo, gue pencet bel tapi nggak ada yang bukain. Lo sendirian di rumah?"

Cewek itu pun memutar kedua bola matanya dengan malas dan menghela napas pendek. "Ya, gitu deh," katanya, malas membahas soal orang tuanya yang dengan seenaknya pergi ke luar negeri tanpa memikirkan sedikitpun perasaan satu-satunya putri yang mereka miliki. "Gue tadi ketiduran, jadi nggak dengar apa-apa."

"Cuma masalahnya ... gue masih di depan gerbang rumah lo nih, Stell."

"Hah?"

***

Stella mempersilakan Samuel duduk di sofa setelah cewek itu berlarian dari kamarnya menuju luar rumah hanya untuk membukakan gerbang pada tamu yang tak diundangnya itu. Dengan raut malas, Stella pun berdiri di depan Samuel dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku piyama tidurnya yang berwarna merah. "Mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot," timpal Samuel santai. Ia kemudian menunjuk dua kantung plastik yang baru saja diletakkannya ke atas meja dan tersenyum lebar. "Gue udah bawain ayam krispi buat lo, lengkap sama kentang goreng dan soda. Dan ... ada nasi goreng kambing spesial di tempat langganan lo juga."

Stella terkekeh geli dan duduk di sebrang sahabat cowoknya itu. "Ada angin apa lo bertamu malam-malam ke rumah gue dan bawain semua makanan ini?" Ia pun mengangkat satu alisnya yang tebal dan menatap Samuel curiga. "Lo nggak lagi nyogok gue buat ngelakuin sesuatu, 'kan, Sam?"

Samuel tertawa. "Ya enggaklah."

"Terus? Ini semua apa?"

"Emangnya gue nggak boleh ya main ke rumah sahabat gue malam-malam kaya yang dulu kita semua pernah lakuin?" Stella menurunkan pandangannya dan mengedikkan kedua bahunya malas. "Gue cuma lagi mau aja beliin lo sesuatu."

"Oke kalau gitu alasannya," ucap Stella diiringi tatapan penuh selidik. "Gue anggap mood lo lagi bagus malam ini dan lo lagi dapat banyak duit dari bokap lo, makanya lo foya-foya di sini karena gue ini sahabat terbaik yang ada di muka bumi. Sekian."

Cowok berambut ikal itu tertawa lagi. Namun kali ini, ia mengakhiri tawanya dengan ekspresi yang cukup serius di wajahnya. "Stella?"

Dan Stella yang hendak membuka plastik nasi goreng kambing kesukaannya itu mendadak berhenti untuk menoleh ke arah Samuel. "Hm?"

"Nge-date yuk?" []


BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang