• TUJUH BELAS •

127 20 8
                                    

Empat Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Empat Belas Hari Setelah Kematian Karen.

Toko Buku Angkasa, Jakarta.

Derap langkah yang bersahut-sahutan menggema di koridor toko buku yang sepi. Mata hitam cewek bertubuh ramping itu menyapu sekitar dan menangkap puluhan ribu buku yang berjajar rapih pada rak-rak kayu di hadapannya dengan tatapan malas.

"Seriously?" Ganisa menyibak rambutnya ke punggung dan menyilang kedua tangannya di dada. "Lo menghabiskan waktu lo di tempat yang membosankan kaya gini?"

Ganisa berbalik, memandangi Clara dengan tatapan meremehkan yang membuat Clara jelas terintimidasi. Helena dan Sera yang sudah seperti dayang-dayang abadinya Ganisa pun berdiri mengitari Clara seolah cewek berambut pendek itu adalah sasaran empuk mereka. Mangsa paling lezat bagi para predator perundungan seperti Ganisa, Helena dan Sera.

"Udah gue bilang, kegiatan gue sama mereka memang cuma begini, biasa biasa aja," kata Clara singkat. "Lo nggak akan suka."

Ganisa ber-oh-ria dan mengalihkan pandangannya kepada Helena yang berdiri di sisi kanannya. "Menurut lo, apa kita bisa diam di sini dan baca semua buku-buku itu, Helen?"

Helena tersenyum miring dan melipat kedua tangannya di dada. "Hell no, Darling." Lalu wajahnya yang memiliki karakter seperti peran antagonis pada umumnya pun berpaling pada Sera yang berdiri di sisi kiri Ganisa. "Gimana kalau kita ajak Clara bersenang-senang pakai cara kita? Sera punya rekomendasi tempat aksesoris baru, lho, Ganisa."

Ganisa tersenyum simpul dan melihat kedua temannya bergantian sebelum akhirnya kembali menghunuskan tatapan tajam itu pada Clara yang berdiri tepat di hadapannya. "So, Clara, are you in?"

"Nggak, gue nggak akan ikut kalian kemanapun," pungkas Clara dengan berani. "Di sekolah, kalian bisa melakukan apapun. Tapi di luar sekolah? Gue sama sekali nggak takut sama kalian."

Ucapan Clara barusan justru membuat Ganisa tertawa di tempatnya. Begitu pula dengan Helena dan Sera yang secara otomatis mengikuti. Namun begitu tawa itu mereda, wajah suci bak malaikat di wajah Ganisa justru berubah menjadi mengerikan. Ia kini terlihat mirip dengan visual malaikat pencabut nyawa yang sering ditonton Clara. Mata Ganisa menatap Clara lurus-lurus. "Clara Putri, I know everything about you. Termasuk semua yang udah lo lakuin sama Karen. We made a deal, right?"

Clara menarik napas panjang dan memberanikan diri untuk membalas tatapan sinis yang dilontarkan Ganisa untuknya. Ia kemudian bersedekap dan menggelengkan kepalanya. "Kalau lo mau ngalahin Stella dengan cara ngebully gue, gue rasa lo semua baru aja ngelakuin satu kesalahan besar," tukasnya penuh penegasan. "Dia nggak selemah yang kalian pikir."

Ganisa tertawa lagi. Tawa yang hambar dan begitu dipaksakan. Ia kemudian mendorong bahu kiri Clara dan mengangkat satu alisnya menantang. "Lo emangnya bisa bertahan kaya gini sampai kapan, La? Sampai berani-beraninya ngelawan kita bertiga di luar sekolah.

For your information, apapun yang lo lakuin di luar sekolah bisa berdampak juga dengan apa yang bakal kita lakuin di sekolah."

"Kayaknya anak ini emang nggak takut kalau rahasianya dibongkar deh, Sa," timpal Helen mengompori.

Clara pun sontak mendelik tak suka padanya Helena. Wajahnya saja yang cantik, tapi mulutnya sama sekali tidak bisa diajak berkompromi. Namun pada akhirnya cewek berambut pendek itu tidak mengutarakan perasaannya kepada mereka dan memilih untuk tetap diam di tempatnya demi menjaga dirinya sendiri.

"Gimana ya kalau Stella, Samuel atau Juna tahu kalau ternyata Clara--oh, my, gue aja sampai nggak berani buat ngomongnya," kata Sera dengan nada takut yang dibuat-buat. Membuat Clara semakin jengah saja. "Sahabat-sahabat lo itu pasti berpikir kalau teman kesayangan mereka, Clara Putri ... juga seorang pendosa."

Mata Clara membulat seketika. Sensasi panas menjalar di kedua manik hitam milik cewek berusia 16 tahun itu. Terutama ketika Ganisa dan Helena menimpali perkataan Sera dengan tawa yang begitu puas.

Memangnya apa yang salah dengan menjadi seorang pendosa? Bukankah Tuhan saja mau memaafkan hambanya? Kenapa Stella tidak? Kenapa Samuel tidak? Kenapa mereka harus tidak mau memaafkan? Kenapa?

"Karena mereka hanya manusia biasa, Clara," kata Ganisa seolah menjawab pertanyaan yang terlontar di dalam hati Clara. Ia kemudian menyeringai penuh kemenangan dan menyentuh bahu kiri cewek di hadapannya, untuk kemudian menepuknya dua kali dengan maksud yang jelas dipahami oleh Clara;untuk menyudutkannya. "Apa manusia berhati lemah kaya mereka, bisa memaafkan seorang Clara yang dendam sama sahabatnya sendiri? Terutama Stella, gue rasa dia bukan cuma bisa marah kalau tahu apa yang udah lo lakuin sama Karen.

Karen itu sahabat yang paling dia sayang, 'kan?"

Clara mendengkus pendek. Berusaha mati-matian ia untuk tidak goyah dan menangis hanya karena kata-kata tajam dari mulut seorang iblis seperti Ganisa. "I told you, Stella bukan orang yang kalian bayangkan. Don't expect too much for her."

Ganisa mengembuskan napas panjang yang terdengar melelahkan sebelum melihat kedua dayang-dayang di belakangnya dengan sorot malas. "Kayaknya Clara ini memang harus dikasih les tambahan ya, Girls?"

Sera mengangkat satu tangannya ke udara. Seolah sedang mengajukan diri untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan guru di dalam kelas kepada Ganisa. "Gimana kalau kita kasih tahu Stella kalau Clara itu adalah orang terakhir yang ngobrol sama Karen di sekolah?"

Wajah Clara menegang seketika. "Apa?"

"Dan Clara udah lama banget benci sama Karen," sahut Sera penuh semangat. "Astaga, gue nggak bisa ngebayangin gimana ekspresi kecewa dan marahnya seorang Stella yang emang udah bar-bar dari lahir? Sekolah bisa heboh gara-gara keributan ini. Pasti bakal seru!"

Ganisa tertawa lagi, diikuti oleh Helena dan Sera yang melakukan tos dengan penuh bangga di hadapannya Clara yang kini justru terlihat muram dan putus asa.

Dan beberapa saat setelah tawa itu hilang bersama atmosfer tidak nyaman di antara mereka, Ganisa pun berdeham dan kembali memandangi Clara yang tampak sudah menggertakan gigi dan mengepalkan kedua tangannya di sisi. Mencoba mengendalikan perasaan marah yang sebenarnya sudah tidak bisa terbantahkan lagi.

"Jadi, Lala, gue akan ingetin lo lagi soal kesepakatan kita." Ganisa menyelipkan rambut ombrenya yang terbawa angin ke belakang telinga sebelum kembali melanjutkan, "Lo harus jadi bagian dari kita dan jauhi Stella di sekolah. Kalau lo sampai berteman sama Stella lagi, gue akan kasih tahu Stella, Samuel bahkan Juna yang katanya sahabat-sahabat setia lo itu, tentang apa yang udah lo lakuin sama Karen di hari sebelum dia menghilang."

Ada air yang menggenang di pelupuk mata Clara ketika pada akhirnya ia berani membuka suaranya. "Ganisa, sebenarnya apa salah gue sama lo? Kenapa lo perlakukan gue sampai sehina ini? Apa sebenarnya salah gue, Sa?!"

Ganisa maju satu langkah dari posisinya dan mencondongkan wajahnya ke arah cewek berambut pendek itu. Mata mereka beradu dan satu seringaian penuh kemenangan kembali muncul di salah sudut bibir merah Ganisa setelah ia mengucapkan, "Soal kesalahan lo, jangan tanya gue, tapi lo tanya aja sendiri sama korbannya aka Karenina Wijaya, sahabat lo yang udah mati itu." []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang