• DELAPAN BELAS •

146 24 0
                                    

Enam Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enam Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

Stella langsung bangkit dari kursinya ketika bel istirahat berbunyi dan Pak Anwar sudah keluar dari kelas mereka. Ia sudah membulatkan tekad untuk berbicara pada Clara hari ini. Tidak boleh ditunda lagi atau semua kesempatan ini akan lebih dulu menghilang.

Cewek berwajah bule itu lantas menghampiri Clara yang kini duduk di sudut kelas karena sudah bertukar tempat duduk dengan Samuel. Stella tidak habis pikir, apa sebenarnya alasan Clara sampai cewek yang berambut pendek itu harus repot-repot bertukar tempat hanya demi menghindarinya yang Stella sendiri tidak tahu alasannya mengapa.

"Clara," sapa Stella--berusaha ramah. "Mau ke kantin bareng?"

Clara mendongak dan membalas Stella dengan tatapan datar di wajahnya. Ia pun berdiri dari kursinya dan menggeleng cepat. "Next time ya," balas Clara tanpa minat. Atau setidaknya begitulah dia berusaha terlihat di depan Stella.

Namun tidak ada kata lain kali untuk urusan mereka yang sampai hari ini tidak terselesaikan. Ketika Clara hendak melewatinya, Stella pun buru-buru bergeser sehingga jalan keluar untuk cewek yang hari ini menggunakan pita berbentuk bintang di sisi kiri rambut pendeknya itu tertutup seketika. Membuat Clara langsung mengernyitkan keningnya bingung. "Stella, I told you--"

"Kita harus bicara, La," sela Stella singkat.

Clara memutar kedua bola matanya malas dan menyilang kedua tangannya di depan dada. Raut mukanya mendadak berubah, seolah muak dengan sikap Stella yang menyebalkan hari ini. "Next time aja ya, Stell. Gue ada urusan hari ini," tolaknya secara halus.

Meski sehalus apapun penolakannya, Stella tetap merasa tersinggung. Ia pun mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri di ruangan kelas yang sudah sepi dan mata hitamnya yang besar melihat Clara dengan angkuh. "Urusan apa? Sama Ganisa?"

Tidak ingin berdebat, Clara justru hanya memilih menghela napas panjang dan mendorong tubuh Stella hingga keseimbangannya goyah dan jalan yang sebelumnya dihalangi oleh Stella pun dapat kembali dilewati Clara dengan bebas. Ia lalu menoleh, menatap Stella dengan ekspresi datar dan berkata, "Lo harus jauhin gue secepatnya, Stell. I warn you." Dan tubuhnya yang sedikit pendek pun berlalu meninggalkan Stella sendirian di kelas.

"Sialan!"

***

"Tadi gimana? Berhasil?"

Stella baru saja memasuki kafetaria dan bergabung untuk duduk bersama Samuel dan Dimas yang kebetulan makan bersama pada salah satu meja persegi di tempat itu. Suasana kafetaria siang itu cukup ramai karena istirahat di jam pertama memang adalah waktu yang paling pas untuk merasakan lapar. Perut biasanya kembali terasa lapar dua sampai tiga jam setelah sarapan pagi, atau bisa dibilang satu jam setelah kelas pertama di sekolah mereka.

Dimas yang asyik dengan bakso miliknya pun melihat Stella dengan bingung. "Samuel bilang katanya lo mau ngobrol sama Lala? Berhasil, nggak?"

Cewek yang hari ini menggerai rambutnya ke belakang itu pun mendelik sinis pada Dimas. Hingga Dimas pun merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk menutup mulutnya rapat-rapat alih menjadi orang yang sangat ingin tahu.

"Dari ekspresi lo, kayaknya lo nggak berhasil ngobrol sama Lala ya, Stell," tukas Samuel santai. Ia bahkan tetap bisa menikmati bakso berlumurkan tiga sendok sambal miliknya dengan tenang meski Stella kini menghujaninya dengan pandangan yang tak kalah tajam dengan tatapannya pada Dimas tadi. Ia mengunyah potongan bakso di mulutnya sampai habis dan meneguk es teh di dekatnya sebelum akhirnya kembali melanjutkan, "Kayaknya dia emang punya rahasia yang benar-benar nggak bisa dibagi sama orang lain, termasuk ke kita kita. Iya nggak, Dim?"

Dimas pun mengangguk setuju dan menimpali. "Yoi," dengan santai.

Yang justru membuat Stella semakin jengkel saja. Cewek blasteran Indonesia-Belanda itu kemudian menyadari sesuatu;sejak kapan Dimas punya waktu untuk sekadar makan siang bersama seperti ini. Stella pun berdeham dan dahinya mengerut dalam-dalam ketika matanya mengamati gerak gerik Dimas. "Dim, lo lagi santai?"

Membuat cowok bermata sipit itu pun mendongak heran dan mengernyitkan keningnya. "Kenapa emangnya, Stell?"

Stella pun mengangkat kedua bahunya acuh. "Lo bukannya lagi sibuk persiapan buat lomba dan buat pentas seni nanti, ya?"

Dimas mengangkat satu alisnya dan menunjuk Stella dengan sendok di tangan kanannya. "Lo nggak suka emangnya kalau gue makan sama Samuel kaya gini?" Dan kemudian beralih pada Samuel yang masih asyik menyiuk sisa kuah bakso pedas di mangkuknya. "Sam, explain."

Samuel berhenti menyesap kuah bakso tersebut dan melihat Dimas lalu ke Stella bergantian. Ia yang kemudian paham dengan situasinya pun segera meneguk sisa es teh di gelasnya sampai habis untuk menghilangkan dahaga di tenggorokannya sebelum menegakkan badan dan memalingkan wajahnya pada cewek yang duduk di sebelahnya itu. "Stella, tadi gue lagi makan bakso sendirian di sini. Sedangkan Dimas lagi ngobrol sama Pak Adi di depan kafetaria. Kebetulan, Dimas baru aja selesai ngajuin sketsa kasar ke Pak Adi dan punya waktu sampai nanti siang sebelum Dimas harus nemuin Pak Adi lagi," jelasnya panjang lebar.

Stella pun mengangguk paham dan tersenyum tipis. "Syukur deh kalau lo emang masih punya waktu buat kita-kita," katanya senang. "Eh, lo suka ngobrol gitu nggak sih sama Clara? Barangkali dia curhat ke salah satu di antara kita gitu, 'kan? Alasan dia menghindar dari gue atau apa kek gitu yang--"

"Maafin gue, Stell."

Suara tak asing yang berasal dari arah belakang, membuat Stella tertegun untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya Stella terkesiap dan menyadari bahwa suara itu berasal dari Clara yang tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan raut muram yang tercetak jelas di wajahnya.

"Lala?" ucap Stella, Dimas dan Samuel hampir bersamaan. Mereka bahkan saling bertukar pandang karena tidak menyangka akan mengucapkan kata yang sama, di waktu yang sama. Stella yang sangat terkejut bercampur senang dengan kehadiran sahabatnya tersebut langsung berdiri dan memeluk Clara erat-erat. Tidak ingin siapapun membuat Clara menjauh lagi. "Yaampun, gue speechless banget, asli!"

"Stella senang banget kayaknya," sambung Dimas. "Lihat tuh La, Stella udah mau nangis cuma gara-gara lo muncul tahu."

Clara tersenyum tipis dan menunduk sungkan sebelum akhirnya wajahnya yang sebelumnya muram mulai terlihat membaik. Ia kemudian melihat Stella yang duduk di hadapannya. "Stella, there something--"

"I know," potong Stella buru-buru. "Gue tahu kalau lo merasa nggak enak sama gue dan Samuel karena lo adalah orang yang terakhir ngobrol sama Karen hari itu, 'kan?"

Clara jelas kaget, begitu pula dengan Dimas yang tidak tahu menahu soal aksi pengintaian diam-diam yang dilakukan oleh Stella dan Samuel di hari libur.

Dimas pun menyela, "Karen?" dan melihat Clara dengan tatapan tak percaya. "Clara adalah orang yang terakhir ngobrol sama Karen? Kok, bisa?"

Namun pertanyaan yang dilontarkan oleh Dimas barusan justru membuat Clara tidak enak. Cewek berambut pendek itu pun menyibak rambutnya ke belakang dan tersenyum lembut pada Dimas yang duduk di sebelahnya. "Soal itu...,"

Thanks Dimas, berkat pertanyaan lo barusan, gue jadi nggak perlu jujur soal rahasia gue yang lain ke Stella dan Samuel. I really thanks to you, Barata Dimas. []

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang