• DUA PULUH EMPAT •

127 21 3
                                    

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

"Gue anterin balik yuk, Stell!"

Bel pulang baru saja berbunyi dan siswa di kelas Stella sudah hampir seluruhnya meninggalkan kelas bahkan hanya dalam hitungan menit saja. Kini hanya tersisa Samuel, Clara dan Stella di dalam ruangan berdominan putih itu.

"Nggak usah. Lo anterin Lala balik aja," kata Stella sembari bangkit dari kursinya. Ia kemudian menepuk bahu Lala hingga cewek itu menoleh dari kursinya. "Samuel bakal anterin lo balik hari ini." sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan kelas tanpa memberikan sedikitpun kesempatan bagi Lala untuk bicara padanya.

Namun cewek dengan bandana putih di atas kepalanya itu tidak benar-benar langsung pulang setelah keluar dari kelas. Stella justru bersembunyi di persimpangan dan memastikan bahwa Samuel dan Clara menuruti kata-katanya tadi. Setelah yakin bahwa Clara akan pulang bersama Samuel, Stella lantas berjalan menuju ruang kesiswaan yang ada di ujung lorong SMA Nusantara.

Ketika berada di ruang kesehatan tadi pagi, Stella tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran dan saat mendengar Clara mulai bercerita, Stella pun memutuskan untuk berpura-pura menutup matanya agar tidak ketahuan bahwa sebenarnya cewek itu mendengar dan mengetahui segalanya.

Soal rahasia yang dimiliki oleh Karen dan Ganisa adalah sesuatu yang ingin Stella cari tahu sekarang. Sebenarnya sejak kapan semuanya dimulai? Sejak kapan Ganisa merundung sahabatnya dan sejak kapan teror mengerikan ini benar-benar bermula? Dengan berjalan mengendap-ngendap, Stella pun memberanikan dirinya untuk masuk ke ruang kesiswaan dimana data seluruh siswa SMA Nusantara ada di dalam ruangan itu. Tentunya Stella sudah  mengintai gerakan penjaga ruang kesiswaan itu dan memastikan situasi aman setelah penjaga tersebut pergi meninggalkan ruangan.

Stella menghentikan langkahnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan mengangguk mantap. "Semoga beruntung, Stella," katanya menyemangati diri sendiri.

Cewek bertubuh kurus itu lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku roknya untuk mengaktifkan mode getar terlebih dahulu. Karena ia harus beraksi sendirian kali ini, Stella tentu perlu memikirkan kemungkinan jika ada orang lain yang masuk ke ruangan itu dan memergokinya. "Oke, aman."

Rak besar di pojok ruangan dekat meja penjaga berhasil menarik atensi Stella. Matanya lalu melihat ke arah pintu yang tertutup sekali lagi untuk memastikan sebelum kakinya yang berbalut converse marun tinggi--sampai semata kaki--itu melangkah menghampiri titik yang membuatnya penasaran sejak awal. Dan begitu Stella sampai, tumpukan map tebal berwarna biru yang disusun rapi sesuai abjad alfabet tampak memenuhi setiap bagian rak berbahan kayu jati tersebut.

"Ini data siswa?" Stella mengamati setiap tumpukan map biru tersebut dengan tak yakin. "Kalau sebanyak ini, gue harus mulai darimana? Sial."

Stella menggigit bibirnya ragu sembari menyapu seluruh sudut ruangan kesiswaan itu sekali lagi. Dalam ruangan yang didominasi oleh cat berwarna biru langit itu, Stella hanya mendapati sebuah meja kerja dengan komputer dan telpon di atasnya, lalu rak besar yang dipenuhi dengan map biru di hadapannya dan dua buah kursi yang biasa digunakan guru kesiswaan untuk memanggil siswa yang bermasalah.

Tunggu.

Siswa bermasalah adalah kata kuncinya.

Stella pun melihat judul yang tertulis di luar map biru tersebut satu persatu, sampai akhirnya netra hitam milik cewek itu menangkap sebuah map yang bertuliskan 'Konseling siswa tahun 2019' di atasnya. Ia langsung meraihnya dan duduk di lantai, tepat bersembunyi di bawah meja kerja sang penjaga. Lalu dengan penuh semangat, Stella memeriksa setiap nama yang ada di dalamnya hingga di detik-detik keputusasaannya, cewek itu berhasil menemukan data dan latar belakang milik Karen juga Ganisa.

"Gue mulai dari Karen, deh," katanya memutuskan. Ia pun menarik kertas bertuliskan Karenina Wijaya dari dalam map tersebut dan mulai membacanya, "Karenina Wijaya, 16 tahun, orang tua Antoni dan Diana. Mengajukan konseling karena tuntutan orang tua yang ingin menjadikannya sebagai dokter. Ayahnya yang seorang polisi mendesak Karen agar terus mendapatkan nilai terbaik di sekolah karena ayahnya sudah memiliki rencana untuk masa depannya. Karen merasa tertekan karena sebentar lagi ujian dan Karen cemas nilainya kali ini akan memengaruhi masa depannya nanti."

Stella mengatup mulutnya dan menggeleng tak percaya untuk beberapa jeda sebelum akhirnya kembali melanjutkan, "Penyelesaian, Karen diberikan pendampingan psikologi sampai masa ujian berakhir." Dahi Stella pun berkerut dalam. "Kalau diingat-ingat, Karen memang meninggal setelah ujian. Tapi, itu kan bukan ujian akhir? Kenapa Karen harus sekhawatir ini?"

Merasa rasa penasarannya belum terpuaskan, Stella pun melanjutkan aksi mencari tahunya dengan menarik lembaran data milik Ganisa dari dalam map lain yang memiliki warna sama dan mulai membaca data di dalamnya. "Nama Ganisa Rianda, 17 tahun, orang tua kandung Antoni dan Siska. Eh, apa? Bukannya Ganisa itu anaknya Om Adi? Apa gue salah, ya?" Stella kembali membaca bagian latar belakang milik seniornya tersebut dan menggeleng yakin. "Enggak, gue jelas nggak salah. Ayahnya Ganisa kan salah satu investor terbesar di sekolah. Dan jelas-jelas namanya itu Adi Prakasa, tapi kok di sini nama ayah kandungnya malah mirip sama Om A--antoni?"

Om Antoni?

Stella meneguk ludahnya dengan susah payah dan membaca latar belakang Karen juga Ganisa sampai beberapa kali. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Stella tidak salah melihat atau kemungkinan matanya ikut bermasalah karena terlalu memikirkan kematian sahabatnya itu. Namun sebanyak apapun Stella menyangkal, jawaban dari pertanyaan yang terus mencuat dalam benak Stella saat ini akan selalu berakhir dengan sesuatu yang sama.

"Jadi, Ga--ganisa dan Karen itu saudara?" cicitnya parau. "Ganisa itu ... anak angkatnya Om Adi Prakasa? Tapi, kok bisa?"

Apa ini rahasia besar Ganisa yang akhirnya diketahui oleh Karen?

Suara kenop pintu yang terdengar bergerak membuat Stella terperanjat seketika. Dengan panik, cewek itu memasukkan kembali lembaran data milik Karen dan Ganisa kembali ke tempatnya untuk kemudian menyimpannya di dalam rak, berusaha untuk terlihat seperti sebelumnya. Dan dalam waktu sepersekian detik, Stella kembali bersembunyi di bawah meja sang penjaga ketika akhirnya pintu di ruangan itu terbuka.

Suara ketukan heels yang menggema dalam ruangan kosong itu membangkitkan adrenalin di dada Stella. Jantungnya berdegup kencang dan peluh mulai berjatuhan melalui keningnya karena takut ketahuan sekarang. Dan satu-satunya hal yang bisa cewek itu lakukan dalam situasi ini adalah menutup mulut dengan kedua tangannya, berusaha agar deru napasnya yang tak beraturan tidak sampai terdengar oleh seseorang yang menghampiri meja sembari berkata, "Ternyata aku meninggalkan ponselku di sini."

BESTFRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang