Bungkam ini adalah pisau tertajam yang akan sangat menyakitkan bila mengenai siapapun
...
Azan Maghrib baru saja terdengar. Ardiaz memasuki halaman rumahnya bersama motor andalannya. Motor matic bekas warna biru yang sudah dipenuhi goresan-goresan di sisi kanan dan kirinya, Ardi sangat menyayangi motornya sebab itu hasil keringatnya sendiri. Penjaga gerbang sekaligus satpam di rumah itu memberikan anggukan dan senyuman ramah setelah membukakan gerbang untuk Ardiaz. Pak Sapta namanya.
"Suwun, Pak." Ardiaz mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Jawa disertai senyuman di bibirnya.
Dari depan jika kita perhatikan sekilas saja, sudah nampak bahwa rumah itu milik orang berada. Gaya American Classic dengan nuansa putih. Sangat indah dan glamour. Motor Ardiaz hanya akan terlihat seperti barang rongsokan di tempat itu.
"Ardi? Kok baru pulang?" Langkah Ardi terhenti di depan tangga menuju kamarnya.
"Tadi nolongin temen."
Tidak berselang lama, Naufal pengusaha kaya yang berstatus sebagai istrinya Mira itu memasuki ruang tamu. "Asalamualaikum, Papa pulang."
Suara itu, amat Ardi benci selama lima tahun terakhir. Ralat, bukan hanya suaranya. Semua hal tentang orang itu amat dibencinya. Bahkan sekali saja Ardi tidak pernah menyebut orang itu dengan sebutan 'Papa'.
"Waalaikumsalam, sini tasnya biar aku yang bawa. Ardi, salim dulu sama Papa." Ardiaz hanya diam tidak mau menanggapi pernyataan ibunya. Langkahnya berlanjut menaiki tangga hingga berhenti di depan pintu kamarnya. Dirinya lebih memilih diam, karena itu berarti ia telah mengungkapkan kebenciannya. Benar, baginya kebungkaman adalah pisau tertajam yang akan sangat melukai jika dilemparkan pada seseorang.
Ardiaz sama sekali tidak membenci ayahnya. Yang ia benci adalah Naufal, seseorang yang telah membuat dirinya kehilangan sosok ayah. Naufal hanya benalu dalam keluarganya. Semenjak Naufal hadir dalam kehidupan ibunya, kehancuran sedikit demi sedikit dimulai. Kenangan itu sangat detail di memori Ardiaz baik dulu saat ia berusia dua belas tahun, sekarang, ataupun nanti.
Saat ini bukannya turun ke bawah dan makan, Ardiaz lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia tidak memedulikan perutnya yang sedari tadi berbunyi. Lebih baik makan nanti saja daripada harus kehilangan nafsu makan karena wajah Naufal. Kurang lebih lima tahun lamanya, Ardiaz tidak pernah makan bersama orang lain di meja makan. Ia lebih memilih makan bersama pembantunya, Bi Narsih, dan juga Pak Sapta di dapur.
Ardiaz tidak pernah menganggap bahwa ia tinggal di rumah yang mewah dengan segala fasilitas yang luar biasa. Ia menganggap bahwa dirinya adalah anak kos di rumah mewahnya Naufal. Ardiaz tidak membiarkan uang Naufal menafkahi dirinya sedikitpun. Sebab itu ia berusaha keras untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya dan berusaha keras agar bisa mendapatkan beasiswa prestasi di sekolahnya. Ia selalu menyisihkan uangnya tiap bulan untuk membayar fasilitas kamar tidur, kamar mandi, makanan, dan tempat parkir sepeda motornya. Kemana ia bayarkan itu? Ke rekening Naufal.
"Ardi, ayo makan dulu, bukain pintunya," Mira mengetuk pintu itu berulang kali, tetapi seseorang di sana enggan sekali untuk beranjak.
"Ardi! Kamu kenapa, sih, selalu kayak gini?"
"Ardi! Buka pintunya! Sampai kapan kamu akan begini terus? Buka mata kamu dan terima kenyataan!"
Ceklek, bunyi gagang pintu yang diputar. Ardiaz keluar dengan jaket yang tersampir di pundaknya. Tangannya menggenggam kunci sepeda motor miliknya. Sudah jelas jika Ardi ingin pergi keluar.
"Ardi udah buka mata lebar-lebar, Ma. Kenyataannya tetap sama, Papa nggak akan pernah kembali." Sorot matanya menunjukkan kekesalan, kesedihan, dan perasaan-perasaan yang menyesakkan lainnya.
"Ardi, kamu harusnya paham dengan situasi mama, semua hal yang mama lakukan itu untuk kamu. Mama menikah dengan Papa Naufal itu juga karena ka-"
"Karena HARTA. Mama cuma ingin harta dari PAK NAUFAL YANG TERHORMAT."
"Ardi! Jaga ucapan kamu!" Mira mengangkat tangannya di hadapan Ardi. Hampir saja sebuah tamparan mendarat di pipi Ardi, tetapi kesadaran masih menguasai Mira sehingga ia mengurungkannya sendiri.
"Kenapa, Ma? Kenapa nggak jadi? Bukannya Mama emang udah nggak peduli sama Ardi?"
Ardi menuruni tangga dengan cepat, meninggalkan Mira yang kebingungan dengan tindakannya sendiri. Ardi tidak merasa terkejut sama sekali dengan perilaku ibunya. Karena di benaknya sudah terpatri dengan jelas, ketika ayah kandungnya menghembuskan napas untuk terakhir kalinya saat itu juga ibunya bermetamorfosis menjadi seseorang yang lain. Seseorang yang hanya melihat harta dan Naufal dalam hidupnya.
Ardiaz meninggalkan halaman rumah bersama sepeda motor kesayangannya. Entah arah mana yang akan ia tuju, ia sama sekali tidak tahu. Ia hanya ingin melihat gemerlap lampu-lampu jalan, juga bintang yang menyebar di seluruh penjuru langit. Untuk meluapkan rasa kerinduan pada seseorang yang amat berharga baginya.
Ardiaz rindu Papa.
________________________________________
Thanks semua yang udah baca, vote, dan comment di part ini.
Tungguin part selanjutnya!
Love you all
Yestyas Ramadiah :)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHA
Teen Fiction"Arsha? Apaan?" Shania bertanya dengan nada dan tatapan mengintimidasi. Sementara lelaki di depannya itu terus-terusan tersenyum. "Ardiaz, Shania, jadinya Arsha. Bagus nggak?" Shania terdiam mendengar sebuah penuturan mengejutkan tersebut. Lidahnya...