Hidup ini emang banyak masalah, tapi nggak masalah, kok.
...
"Angga mau es bobaaaaa!!!" Teriak Angga yang terdengar hingga luar. Baru saja memberhentikan sepeda motornya di depan rumah, Shania sudah disambut dengan tangisan menggelegar khas dari Angga. Suara bocah tujuh tahun itu benar-benar beradu dengan kumandang Azan Maghrib.
"Le, Maghrib-Maghrib mboten pareng nangis*." Nenek berusaha menenangkan Angga sedari tadi. Namun, Angga belum juga mau menghentikan tangisannya. Segala bentuk mitos tentang 'jangan menangis saat Maghrib' satupun tidak digubris oleh Angga.
"Iya, nanti Kakak beliin habis Sholat. Udah jangan nangis, dong," ujar Shania menenangkan.
"Sekarang Kaaak!!!"
"Angga...sekarang ini masih Maghrib, Azannya aja baru kelar. Sekarang ini waktunya Sholat, bukan beli es boba." Yang bicara kali ini Mbak Putri. Ibaratkan saja dia ini pawang ular. Nah, ularnya itu si Angga. Dalam tatanan keluarga ini, Mbak Putri adalah menantu termuda atau lebih gampangnya adalah Bibi dari Shania dan Angga.
"Nah, dengerin, tuh. Harusnya Angga Sholat dulu baru beli es boba, nanti aku beliin dua, deh, mau nggak?" Shania berusaha membujuk Angga. Alhasil, Angga mau menurut dan berhenti menangis. Kalau sudah ada maunya pasti anak-anak akan melakukan apapun untuk mendapatkan itu, sama juga dengan Angga, ia sekarang buru-buru ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
...
Sekarang Shania menjadi bagian dari lalu lintas Ba'da Maghrib-setelah Maghrib. Langit malam tidak terlalu cerah hari ini. Bulan sedang tidak menampakkan diri. Shania mengendarai sepeda motornya dengan cepat. 40 km/jam. Itu sudah cepat bagi Shania. Pasalnya baru saja ia bisa mengendarai sepeda motor di awal tahun ini, bisa dibilang nyalinya baru sedikit terkumpul.
"Eh, biasa aja, dong!!!" Shania meneriaki seorang pengendara yang hampir membuatnya terjatuh tadi. Orang itu benar-benar tidak tahu sopan santun berkendara. Namun, masalahnya adalah teriakan Shania tidak bisa didengar siapapun selain dirinya sendiri. Jiwa Introvert dalam dirinya belum mengizinkannya untuk berteriak, mengumpat, atau semacamnya.
Setelah lima belas menit bersama lalu lintas yang amat padat dan ramai, akhirnya sepeda motor biru milik Shania bisa numpang parkir sebentar di kedai Boba langganannya.
"Mas, Brown Sugar Boba Milk dua." Shania memesan tanpa membaca daftar menu yang tertera, rasa yang satu itu sudah menjadi langganan tiap kali Shania mengunjungi kedai ini.
Shania duduk diantara pelanggan lain. Ada yang menunggu pesanan, ada juga yang sedang menikmati pesanan mereka. Ada yang sedang duduk sendiri, berdua, bertiga, berempat, tetapi tidak ada yang berlima, karena apa? Satu meja hanya disediakan empat kursi.
Sekarang fokus Shania beralih pada pengunjung yang baru datang itu. Tidak, lebih tepatnya pada sepeda motor yang baru saja diparkir, lebih tepatnya lagi plat nomor sepedanya. Shania masih mengingat plat nomor milik pengendara yang hampir menabraknya tadi, dan ternyata pemiliknya ada di sini sekarang.
"Permisi, Mas yang punya sepeda ini, ya? Mas tadi hampir nabrak saya, untung aja saya-"kata-kata keberanian yang sudah Shania susun dengan cepat di otaknya tiba-tiba terputus ketika si pengendara motor itu menoleh ke arahnya.
Dia adalah...
"Ardi? Jadi lo orang yang tadi?"
"Maaf, ya, maaaaaf banget. Gue udah bikin lo hampir jatuh. Gue tadi lagi kalut, jadinya nggak sadar kalau kekencengan," ujar Ardi meminta maaf, ekspresinya tidak bisa dijelaskan seperti apa, yang pasti ada efek terkejut ketika tahu seseorang yang ada dalam bahaya karena dirinya tadi adalah Shania.
"Lo pesen apa tadi? Gue yang traktitr, ya, buat ganti udah bahayain lo," tawar Ardi pada Shania. Sekarang Ardi tidak lagi menggunakan kata 'aku-kamu' seperti terakhir kali mereka bertemu.
"Eh, Nggak usah. Gue nggak kenapa-napa, kok." Entah kenapa Shania tidak jadi marah seperti rencana sebelumnya, lagipula Ardi sudah minta maaf dan tidak ada satupun bagian tubuh Shania yang lecet karena kejadian tadi.
"Atas nama Shania!" Suara itu berasal dari karyawan kedai yang menandakan pesanan Shania sudah selesai dan bisa diambil.
"Udah selesai, gue balik duluan," kata Shania setelah mengambil pesanannya. Buru-buru Shania mengambil kunci motor di dalam sling bag miliknya, takutnya Angga rewel lagi kalau es boba permintaannya belum juga datang. Namun, ada masalah yang berikutnya. Mesin sepeda motornya tidak mau hidup, Shania menyalakannya lagi untuk kedua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, tetapi belum juga berhasil.
"Kenapa motornya?" Ardi yang sedari tadi masih mengamati Shania, sekarang membuka mulutnya.
"Nggak tahu, nih. Tiba-tiba nggak bisa nyala." Jawab Shania dengan nada yang khawatir. Ia mulai bingung dan terus saja mengingat Angga dalam pikirannya. Pasti Angga sudah tidak sabar menunggunya.
Sekarang Ardi sedang mengamati lekat-lekat motor milik Shania. Ia mencoba mencari kesalahan yang terjadi, meskipun Ardi sama sekali tidak mengerti masalah otomotif, mesin, atau hal-hal yang berbau seperti itu. Entah reflek dari mana sehingga Ardi ingin mengecek kondisi motornya.
"Kayaknya mending dibawa ke bengkel, deh. Gue nggak paham masalah motor,"
"Ha? Gue pikir lo paham. Tadi konsen banget lihatin motornya ngapain?" Tanya Shania tidak percaya. Ia mulai bingung memikirkan bagaimana minuman ini bisa sampai di tangan Angga dengan segera.
"Itu pesenan orang rumah?" Tanya Ardi yang dibalas anggukan oleh Shania. "Adik gue," tambah Shania.
"Gimana kalau minumannya gue yang antar? Terus lo bisa ke bengkel," kenapa Ardi nggak mikir buat nganterin motor Shania ke bengkel, terus Shania dibonceng pulang. Kayak gitu 'kan lebih simple.
"Gue nggak tau di mana bengkelnya, lagian gue juga nggak mau duduk nganggur di bengkel," jawab Shania dengan nada yang semakin khawatir.
"Bengkelnya deket sini,"
Akhirnya Shania memutuskan untuk membawa sepeda motornya ke bengkel ditemani dengan Ardi. Kata Ardi bengkel ini milik temannya.
"Di, lo tega ninggalin gue di sini?" Bisik Shania pada Ardi. Shania terkejut setelah melihat keadaan bengkel sekarang. Tidak ada perempuan sama sekali. Semua yang bekerja laki-laki dan kebetulan sekali semua pelanggannya juga laki-laki.
"Kalau kayak gini nggak mungkin gue tinggalin lo di sini. Emm, gini aja, motor lo biar gue yang urus. Pulang aja pake motor gue. Nanti kalau udah beres gue kembaliin motor lo ke rumah." Ardi menyodorkan kunci motornya pada Shania.
"Kalau benerinnya lama gimana? Nanti lo pulangnya kemalaman." Tanya Shania sebelum mengambil kunci motor yang ditawarkan Ardi.
"Gue nggak masalah pulang malam, anggap juga ini permintaan maaf gue. Udah lo pulang aja, Adik lo pasti udah nungguin." Ardi tidak akan pulang kemalaman, karena Ardi tidak akan menginjakkan kakinya di rumah malam ini.
Shania pulang dengan motor Ardi. Lagi-lagi mereka bertemu dalam masalah, lagi-lagi mereka bertemu untuk saling membantu, lagi-lagi Shania harus rela senyum-senyum sendiri meskipun hampir jatuh dari motor dan hampir nggak bisa pulang. Gara-gara siapa? Nggak tahu, ini udah rencana Tuhan.
...
*Nak, Maghrib-Maghrib nggak boleh nangis
__________________________________________
Hi guys! Sorry banget nih, harusnya chapter ini aku update kemarin. Eh taunya malah ketiduran wkwkwk
So, happy reading semuanyaaaaaa
Big Love
Yestyas Ramadiah
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHA
Teen Fiction"Arsha? Apaan?" Shania bertanya dengan nada dan tatapan mengintimidasi. Sementara lelaki di depannya itu terus-terusan tersenyum. "Ardiaz, Shania, jadinya Arsha. Bagus nggak?" Shania terdiam mendengar sebuah penuturan mengejutkan tersebut. Lidahnya...