"Untuk hal terkecil sekalipun, setidaknya dibutuhkan satu ide atau satu tetes keringat untuk mewujudkannya."
...
"Udah beres nih, Bro!" Ini Ezra. Teman satu kelas Ardiaz yang bekerja di bengkel ini.
Tidak setiap malam ia menghabiskan waktu di bengkel. Ia bisa memilih waktu kapanpun untuk bantu-bantu di bengkel ini. Karena memang ini bengkel milik Ayahnya.
Sekarang pukul sembilan malam. Ardiaz baru saja selesai menunggu pembetulan sepeda motor milik Shania. Sekarang ia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.
To: Kaylash
Gue nginep di tempat lo
Sedetik kemudian pesan itu sudah terbaca oleh Kaylash. Dengan modal jawaban 'ok' dari Kaylash, Ardiaz segera menyalakan motor matic berwarna biru itu.
"Astaga, gue lupa. Za, lo punya nomornya Shania nggak? Anak kelas MIPA," tanya Ardiaz, ia belum jadi pergi malahan langsung mematikan mesinnya. Ia pikir sebaiknya memberitahu Shania dulu kalau motornya sudah beres. Setidaknya supaya dia tenang dan tidak kepikiran.
"Tumben banget lo nanyain cewek, oh gue tau, pasti target promosi menu baru, ngaku lo!" Goda cowok yang biasa dipanggil Za, Eza, atau, Ezra itu.
"Sembarangan aja lo, ini motor punya dia. Gue mau kasih tahu kalau motornya udah beres," jawab Ardiaz sembari menjitak kepala temannya itu.
"Lo bawa motornya tapi kagak tau nomornya? Kok bisa tuh cewek percaya banget sama lo?" Tanya Ezra dengan tatapannya yang penuh selidik. Jangan lupakan cengiran itu yang membuat orang-orang ingin menampolnya.
"Dia tukeran motor sama gue, ah udah lah ribet kalau dijelasin, gimana punya nggak?" Ardiaz kembali ke topik awal tentang nomor telepon Shania.
"Masalahnya dia cantik apa nggak? Kalau cantik, gue pasti tau tuh," jawab Ezra sembari menampakkan cengirannya. Muka Ezra kalau nyengir gemesnya kebangetan.
"Dasar lo! Kapan sih lo tobat jadi playboy?" Dua kali. Ini jitakan kedua di kepala Ezra.
"Aaa, kepalakuu. Bisa nggak kalau nggak pake ngejitak, yang salah 'kan bukan gue, emang mereka yang mau deket sama gue," Ezra memberikan pembelaan sembari mengelus-elus sendiri kepalanya yang sakit akibat jitakan dari Ardiaz. Mohon kepada semuanya, maafkan wajah Ezra yang buat cewek-cewek betah berada di sekitar Ezra.
"Gini aja, gue tanyain dulu ke WA grup cewek-cewek gue, siapa tau dia diem-diem nangkring di sono," tiga kali. Kali ini jitakan Ardiaz lebih bertenaga dibanding sebelumnya, membuat Ezra mengaduh lebih keras.
"Gue nggak peduli sama grup aneh lo itu, gue butuhnya nomor S-H-A-N-I-A," Ardiaz menekankan kata Shania di belakang. Lama-lama Ardiaz bisa gila meladeni Ezra yang rada nggak waras ini. Hari semakin malam, Ardiaz tidak ingin membuat Shania ataupun keluarganya khawatir tentang motor itu.
"Bilang aja, Di. Lo iri dan mau masuk ke grup gue juga," kali ini Ardiaz bukan hanya ingin menjitak seseorang dengan baju montir di depannya ini, bahkan Ardiaz ingin menceburkannya ke dalam sungai agar otaknya bisa adem sehingga bisa berpikir lebih serius.
"Udah, ah. Mendingan gue nanti tanya Kaylash aja, gila gue ngomong sama lo." Ardiaz melambaikan tangan pada Ezra yang justru dibalas cium jauh, jujur saja Ardiaz ingin muntah.
Sekarang ia dengan motornya, membelah jalanan malam hari menuju rumah Kaylash.
...
"Tumben lo ke sini? Biasanya 'kan lo di rumah Davie," tanya Kaylash sembari mengambil ponselnya yang dicas tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHA
Teen Fiction"Arsha? Apaan?" Shania bertanya dengan nada dan tatapan mengintimidasi. Sementara lelaki di depannya itu terus-terusan tersenyum. "Ardiaz, Shania, jadinya Arsha. Bagus nggak?" Shania terdiam mendengar sebuah penuturan mengejutkan tersebut. Lidahnya...