H-2 Acara lamaran

30 13 8
                                    

Hari Jumat, tanggal 13 Agustus. Dira masih seperti biasa, beres-beres rumah bersama Maira. Pak Gun kebetulan lagi berkunjung ke rumah uwak Lin, salah satu saudaranya.

Maira sudah libur semester, dan Dira tidak ada kuliah. Dira bagian membersihkan rumah, seperti menyapu, mengepel, juga menyiram tanaman. Sedangkan Mai bagian mencuci, mencuci pakaian (walau dengan mesin) lalu menjemurnya, mencuci piring. Lalu untuk masak mereka mengerjakannya bersama-sama.

"Teh, lusa udah acara lamaran teteh, gimana perasaan teteh sekarang.?" Mai bertanya dengan sorot mata penasaran dan sedikit khawatir, barangkali dia khawatir tetehnya tidak bahagia.

"Emm...susah dijelasin Mai. Mai tau kalo kita lagi mau lomba lari terus pas distart rasanya ada kek mau buang air, tapi mau lari, nah gitu deh rasanya. Nggak karuan." Dira menjelaskan sambil berpikir.

"Hahai... perumpamaan yang memusingkan. Siapapun itu, bagaimana pun, Mai tetep doain buat kebahagian teteh." Menggenggam tangan Dira.

"Makasih adek teteh yang paling teteh sayang." Memeluk Mai.

.
.
.

Tok..tok..tok

Dengan refleks mereka melihat kearah depan.

"Eh siapa yang bertamu dihari libur.?" Dira membelalakkan matanya penasaran.

"Mai buka deh teh." Mai yang penasaran berjalan menuju pintu dengan diikuti oleh Dira.

"Assalamualaikum" sapa orang tadi.

"Waalaikumsalam. Bang Jo kan." Mai menjawab.

"Duduk bang!" Mempersilahkan jo duduk, dan Mai mengambil minuman.

"Om mana, Dir?" Tanya Jo sambil celingak-celinguk.

"Ayah kerumah uwak Lin bang"

"O iya Dir."

Lalu mereka berbincang basa-basi dengan Maira juga. Kemudian Pak Gun pulang...

"Assalamualaikum." Salam pak Gun.

"Waalaikumsalam." Jawab ketiganya serempak.

"Eh ada Jo." Duduk di kursi beranda.

"Dira bikinin minum ayah." Dira masuk ke rumah dan Maira juga masuk melihat cuciannya tadi.

Berbincanglah dua orang itu, sampai Dira membawakan minum pak Gun.

"Ini yah." Meletakkan minuman di atas meja.

"Makasih nak."

"Dira mau lanjutin kerjaan nggak papa yah bang?" Dira izin pamit.

"Iya gapapa Dir." Jawab Jo.

Lalu Dira masuk juga. Tinggal lah Pak Gun dan Jo saja. Mereka mengobrol. Lalu...

"Om, apa benar Dira akan dilamar pekan ini.?" Mata jo membelalak penasaran dan gugup dengan jawaban pak Gun.

"Emm." Menggumam. " Iya Jo." Jawaban singkat tapi pasti.

"Yah om, Jo gimana dong?" Badan Jo melemas dan muka memelas.

"Ya kan kamu sendiri yang nolak perjodohan nya. Bukan salah om nih ya." Pak Gun dengan nada menggoda.

"Tapi kan om," Jo tidak melanjutkan.

"Udah, om nggak bisa ngelarang atau gimana. Kalo kamu takut kehilangan Dira, kamu ngomong sama dia." Menaikkan alisnya sebelah.

"Tapi kan itu lusa om." Jo yang ragu-ragu.

"Bocah ini. Lusa itu lamarannya, belum nikah." Pak Gun memberi semangat. "Tapi kalo ditolak, ya udah nasib kamu." Pak Gun tertawa.

Pak Gun berkata begitu bukan karena ingin membatalkan lamaran Rey. Hanya saja dia ingin melihat Jo berjuang sedikit dan melihat keputusan Dira. Benar..mana ada orang tua yang ingin merusak kehidupan anaknya kan.

Lalu Dira muncul karena sudah menyelesaikan pekerjaan.

"Ayah mau Mandi dulu nak, kotor tadi bantuin uwak bikin pager." Pak Gun beranjak dari tempat duduknya.

"Iya yah."

"Om masuk dulu Jo."

"Iya om."

Lalu Jo mulai bicara, seperti yang Pak Gun katakan tadi.

"Dir, bang Jo mau bilang sesuatu." Ragu-ragu.

"Iya bang, ngomong aja."

Berpikir apa yang ingin dikatakan.

"Bang Jo minta Dira tolak lamaran itu."

"Lah..kenapa bang?" Dahi Dira mengkerut penasaran.

"Bang Jo suka sama Dira. Bang Jo nggak rela Dira sama orang lain." Mata serius dan suara agak gemetaran.

"Tapi...kan abang yang nolak perjodohan itu. Kok sekarang abang ngomong gini?" Bingung dengan yang dikatakan Jo.

"Iya abang yang salah Dir, abang nolak tanpa mikir. Tapi abang nggak sangka Dira mau dilamar." Mata sedih

"Bang, kalo aja waktu itu Abang nggak nolak perjodohan nya, Dira bakal terima perjodohan itu. Tapi abang tolak, dan Pak Rey orang yang baik kok. Nggak ada alasan Dira nggak terima dia." Dia menjelaskan

"Iya abang mintak maaf. Abang bodoh banget waktu itu. Nggak bisakah Dira kasih abang kesempatan.?" Muka serius, mata penuh harapan.

"Maaf bang. Dira nggak mungkin narik kata-kata Dira sama pak Rey. Dira nggak mau nantinya nyakitin."

"Tapi abang gimana Dira."

"Dira tau, bang Jo orang yang baik banget, ganteng, mapan pula. Dira yakin bakal ada orang bisa terima abang. Dira bener-bener nggak mau ngecewain keluarga Pak Rey. Maaf banget bang." Dira yang merasa bersalah pada Jo tapi harus tetap jujur.

" Iya Dira. Abang ngerti sekarang, itu alasan abang suka Dira. Dira nggak pernah mikirin diri sendiri, Dira selalu megang janji. Dan nggak bisa digoyahkan kalo udah bikin keputusan." Jo tersenyum tipis.

"Abang terlalu memuji. Dira nggak kayak gitu kok." Dira menunduk malu.

"Dira, abang minta Dira jangan berubah ya sama abang. Nggak papa, tetep anggap abang kakaknya Dira. Abang nggak mau kita canggung terus ngejauh." Memohon

"Iya bang, Dira nggak bakal berubah kok. Abang tetep abang Dira yang paling Top!" Dira mengacungkan jempolnya kearah Jo.

Tak terasa, waktu sudah berlalu. Jonathan izin pamit pulang. Lalu seperti biasa lagi kegiatan dirumah itu. Pak Gun dan Maira ternyata tadi menguping. Jadi mereka tidak bertanya pada Dira.

.
.
.

Lalu hari itupun berlalu begitu saja. Dira yang belum tidur, kembali mengingat yang dikatakan Jo tadi siang.

Sebenernya gue nggak masalah sama siapa aja. Toh gue nggak pernah ngerasain cinta. Tapi gue nggak mungkin nyakitin pak Rey. Enggaklah.

Sebenarnya Dira sudah merasakan cinta walau sedikit. Sebagai bukti, dia tak ingin Rey kecewa karena lamaran itu dibatalkan. Hanya saja belum sadar dia.

Cinta-cinta selanjutnya akan terlihat di bagian-bagian yang akan datang. Bantu vote ya (walaupun nggak tau ada yang baca atau nggak)

My Unknown HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang