4 cm ㅡ Newcomer : Ardega

582 91 19
                                    

"Lo nggak mungkin suka sama gue kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Lo nggak mungkin suka sama gue kan?"

Pertanyaan Rafa terputar lagi di kepalanya. Kafka dilanda kebingungan. Kenapa rasanya pertanyaan itu sulit untuk dijawab padahal jelas-jelas jawabannya tidak. Atau mungkin jawabannya adalah yang lain?

"Ya nggak mungkin juga lah ya." Ujar Rafa malam itu sambil tertawa hambar.

Mungkin. Bagi Kafka itu mungkin. Karena nyatanya cewek itu telah merasakan ada yang aneh pada hatinya saat Rafa bersamanya. Everytime he sat beside her, everytime he smiled because of her, and everytime he looked into her eyes, she drowned. She drowned in his eyes that she shouldn't be drowned in. Aneh, tapi itu kenyatannya. Entah sejak kapan ini berawal, Kafka yakin ada yang salah pada hatinya. Mungkin ia harus kembali menata dan memperbaiki ini semua. Nggak, ia nggak boleh sampai suka pada sahabatnya. Kata Talia, she'll end up hurting herself.

"Jadi teman aja cukup 'kan?" Tanya Rafa malam itu sambil masih menatap Kafka yang menyendok bumbu sate padang.

Kafka berhenti menyendok bumbu satenya. Untuk kedua kalinya ia terjebak dalam pertanyaan Rafa. Sungguh, kenapa pertanyaannya itu serasa sulit sekali untuk Kafka jawab? Bukannya ia hanya harus menjawab iya? Atau sekedar mengaggukan kepala 'kan? Aneh.

"Nggak mungkin aja kalo kita jadi pasangan. Haha iya nggak sih? Aneh 'kan, Kaf?"

Perkataan Rafa itu membuat Kafka sadar kalau memang nggak seharusnya ia suka pada temannya. Nggak boleh. Rafa nggak suka mereka lebih dari teman. Kafka tau itu. Makanya ia mencoba menata hatinya dan membuang jauh-jauh perasaan aneh yang datang tiba-tiba saat di dekat Rafa.

"Ngapain juga suka sama lo? Jelek."

Candaan itu dilontarkan oleh Kafka. Entah terdapat bualan di dalamnya atau tidak, yang pasti nggak ada senyum atau raut tertawa darinya.

"Dek, gue boleh duduk sini nggak? Bentar aja."

Lamunan Kafka hilang begitu bahunya ditepuk oleh laki-laki tinggi dengan rambut hitam yang sedang membawa laptopnya dengan raut muka agak panik.

"Hah?" Kafka melongo.

"Gue boleh duduk sini nggak? Bentar aja. Mau numpang ngecas. Bangku yang lain udah penuh. Cuma bangku depan lo yang kosong dan ada stopkontak, Dek."

Kafka makin melongo dibuatnya. Bukan, bukan karena penampilan cowok itu yang terlihat galakㅡkarena tatto di tangan kanannyaㅡtapi karena cowok Itu memanggilnya dengan sebutan 'Dek'.

Dek? Emang lo abang gue?

"Dek? Lo bukan abang gue." Sahut Kafka ketus yang membuat cowok di depannya melongo kaget.

25cm [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang