13. Dua Lamaran

120 30 0
                                    

‍‍‍‍‍‍‍Tok... Tok... Tok...

‍“Nak, ada Genta. Dia nungguin kamu tuh di ruang tamu.”

Emi menoleh ke arah pintu. “Iya Bu, sebentar.”

Tak lama, Emi ikut bergabung bersama ibu dan Genta. Perbincangan ringan seputar kabar keadaan dan pekerjaan jadi topiknya. “Yaudah kalian ngobrol dulu aja. Ibu tinggal dulu ke belakang, ya.”

Genta tersenyun mengangguk sopan. “Terima kasih Bu, minumannya.”

Saat di ruang tamu hanya ada mereka berdua. Genta lebih dulu memulai pembicaraan. “Apa malam ini kamu sedang tidak ada janji?”

Emi menatap Genta dengan sorot mata kesal. “Tidak. Apa ada yang kamu ketahui dari aku?”

Lelaki berkemeja biru dengan kaos putih itu mengernyitkan dahi bingung. “Tidak ada.”

“Ayolah, Genta. Kita harus, eum... harus saling jujur.” Emi berkata lirih didua kata terakhirnya sambil menundukkan kepala.

Genta memegang sekilas bahu kiri Emi yang berbalut baju tidur berlengan panjang. “Kamu dulu Emi, ajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya padaku.”

Seulas senyum di bibir Genta sudah cukup mengembalikan keberanian Emi. “Kamu kenal Qilmy?”

Lelaki di hadapannya mengangguk sambil tersenyum. “Dia temanku. Dari dia juga, aku mendapat info lowongan itu. Maaf, aku malah menyuruh Gege berbohong padamu soal itu.”

“Kenapa, Genta? kenapa kamu malah mempertemukan aku sama dia?”

“Sederhana saja Emi. Aku mau kamu bertemu dengan orang yang selama ini kamu tunggu-tunggu.” 

Emi tercengang. Jadi Gege sudah menceritakan berapa banyak hal pada Genta. Oh... ini menyebalkan.

“Aku hanya ingin kamu memiliki pilihan Emi. Aku tidak ingin kamu memilih keputusan yang salah dan hanya berakhir dengan kamu  yang masih membayangi Kenzo ketika kita sudah menikah”

“....”

“Aku mencintaimu, aku memang ingin menikah denganmu. Tapi aku tak ingin mengekangmu. Kamu bebas memilih keputusan tanpa ada terpaksa sedikit pun.”

Emi mendongak, menatap tepat pada iris gelap Genta. “Pasti kamu tau kalau selama sebulan ini aku selalu jalan dengan Kenzo.”

Pria itu mengiyakan dengan berkedip. “Aku tahu, itu.”

Emi menutup wajah dengan kedua telapaknya. “Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak boleh begitu. Itu, tak adil untukmu. Aku... mencurangimu.”

Genta menarik kedua tangan Emi yang digunakan bertumpu wajahnya yang tertunduk. “Tolong jangan sedih, Emi. Kamu gak salah. Kamu masih bebas memilih dengannya atau dengan aku. Kamu tidak sedang mencurangi siapa pun.”

“Terima kasih, boleh aku peluk?” tanya Emi pelan.

Genta tersenyum geli. Ia merentangkan tangan lebar-lebar, sambil menggeser duduk ke sisi lain. Memberi ruang untuk Emi duduk.

“Aku akan berusaha agar selalu ada untukmu.”

Emi langsung meraih pundak Genta. Memeluknya erat-erat. Hanya beberapa detik saja. Lalu emi langsung melepaskannya.

“Apa yang ingin kamu katakan ke aku, kenapa ke rumah?”

Genta terdiam sejenak. Menimang, apakah pas jika diutarakan sekarang. Namun, jika mengelak. Emi pasti tau kalau dirinya sedang berbohong.

“Aku akan jujur, tapi tolong jangan merasa terbebani.” Emi mengangguk paham.

“Tujuan awal aku ke sini. Ingin menanyakan lagi, apa jawabanmu?”

MikenzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang