11. Berusaha Meyakinkan

75 24 0
                                    

‍‍‍‍‍‍Emi mengambil box botol sari kedelai untuk ditaruh kembali ke dalam. Seperti biasa, setelah mengantar sari kedelai. Emi akan memasak dan membersihkan rumah.

Saat sampai di halaman rumah sederhana peninggalan ayahnya. Emi mendapati Feral berdiri di sana dengan setelan training bersama sepedah gunungnya. Napas jengah Emi embuskan.

Semenjak Feral mengejar dan melamarnya menjadi istri secara terang-terangan hampir dua tahun ini. Emi selalu menghindar dan menjaga jarak dari Feral. Jujur saja Emi sedikit kecewa. Kenapa setelah dewasa, Feral malah jadi menyebalkan dan ingin sekali menjadikan Emi sebagai istrinya. Sebenarnya apa yang ada di pikiran Feral.

"Mi, bentar gue mau ngomong sama lo."

Gadis itu menghiraukan keberadaan pria tersebut. Berjalan melewati Feral begitu saja, membuka pintu dan mulai melangkah masuk. Namun, keinginannya untuk menutup pintu tertahan karena suara Feral.

"Kata Gege, Genta—"

"Iya, Ral."

Suasana hening. Emi terdiam di tempat. Feral menggunakan kesempatan untuk menerobos masuk, lalu duduk di sofa ruang tamu.

"Lo gak kerja?" tanya Emi terkesan mengusir.

"Libur, hari sabtu."

"Lo jawab apa ke dia?"

"Gue belum jawab, dia ngasih waktu buat gue mikir."

Feral berdiri, mendekati Emi yang masih berada di dekat pintu. Pria itu meraih tangan kanan Emi dan menggenggamnya. "Emi, ayo nikah sama gue. Gue akan jagain lo dan anak kita nanti. Gue sayang banget sama lo."

Sebuah pelukan Feral berikan. Tak ada efek apa-apa untuk Emi. Gadis itu melerai pelukan. Menatap lurus ke manik sepupunya.

"Tolong, beri gue satu kesempatan." Feral berhenti sejenak dan kembali berujar, "Gue bakal buat lo jatuh cinta sama gue."

Emi menggeleng. "Sayang gue ke elo cuma sebatas saudara, Ral. Dan itu gak akan pernah berubah. Gue gak mau."

Emi duduk, menyederkan kepala pada sofa. Maniknya menatap lekat langit-langit ruang tamu sambil berpikir keras. Berusa mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan maksudnya pada Feral.

"Kita ini saudara sepupu. Perniakhan kita emang gak dilarang secara agama. Tapi lo lebih taulah, Ral. Pernikahan antar saudara sepupu gak dianjurkan menurut medis."

"Apa yang lo takutkan itu, berpeluang untuk tidak terjadi, Emi," ujar Feral.

"Jangan mencoba mengelak dari kenyataan, Ral. Lo itu dokter ha—"

"Oh...ayolah, Emi. Gue cuma pengen hidup berdua sama lo, menua bersama. Mengurus anak yang sama. Masalah itu, kita hadapi nanti. Gue akan mengerahkan segala yang gue tau, biar hal itu gak terjadi sama janin kita nanti."

Emi mendengus, "Lo mengatakan seolah semuanya mudah."

Sampai kapan pun, perniakahan berisiko ini tak akan pernah Emi jalani. Meneruskan keturunan, memiliki anak yang sehat adalah hal yang harus Emi berikan pada Feral setelah ijab qobul. Dan Emi tidak pernah yakin, jika akan ada janin yang tumbuh sehat dari hasil pernikahan saudara sepupu.

Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Jika tidak keguguran, maka anaknya akan cacat. Tidak, tidak. Emi sama sekali tidak bisa menanggung beban itu.

"Feral, lo harus rasional. Setelah kepergian Kak Fadel. Cuma lo satu-satunya penerus keluarga, Ral. Cuma dari lo, Om dan Tante bisa punya cucu. Dan gue gak mau ngecewain mereka." Feral masih terdiam sambil menunduk.

"Gue gak mau jadi menantu gak berguna di rumah lo, Ral. Gue gak bisa mikul beban itu."

"Orang tua gue setuju, Mi. Mereka senang pas tau calon menantunya itu lo." Feral benar-benat sulit diberi tahu.

"Dengan segala resikonya?" segah Emi tajam. Dan Farel hanya diam. Emi sudah menduganya.

"Gue yakin, kalo Om-Tante tau segela resiko yang bisa timbul. Mereka gak akan pernah setuju."

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Itu berarti sudah setengah jam waktu berlalu. Emi berdiri dari duduknya.

"Gue ke belakang dulu, Ral. Kerjaan gue masih banyak. Dan gue masih harus berangkat kerja hari ini."

രരര

"Makasi Gege, Genta buat hadiahnya."

Dua saudara kembar itu mengangguk. Emi menatap lagi lamat-lamat dua kotak kadiah berukuran cukup besar dan lumayan berat. Kira-kira... apa isinya, yah.

"Mi, gimana tawaran gue. Lo kan udah lama banget nih kerja di restoran Mama. Dari kuliah sampe, dua tahun lulus kuliah. Masa iya sih, lo mau di sini aja."

Gege memulai pembicaraan yang sempat tertunda di telpon siang tadi. Sahabatnya ini, benar-benar sudah banyak sekali membantu Emi. Jika bukan karena Gege, Emi tak akan pernah bekerja di restaurant ini dan entah bagaimana nasib Emi saat itu. Mungkin ia sudah putus kuliah karena terkendala biaya.

"Nyari pramusaji mah gampang, Mi. Yang penting besok lo dateng aja. Semoga HRDnya cocok sama lo. Bagian ADM Mi, sesuai sama apa yang lo pelajarin selama ini."

Gege kembali berbicara panjang lebar. Emi hanya bisa mendengarkan begitu juga Genta. "Lo harus bisa hidup lebih baik dari sekarang," imbuh Gege.

"Oke, Ge. Besok gue datengin kantornya."

"Nah, gitu dong!"

"Makasih buat semuanya, Ge."

Gege tersenyum, ia berdiri merentangkan kedua tangan. Emi menyambut dan memeluk tubuh Gege. Sahabatnya ini, sudah berubah banyak.

Ketimbang ketika SMA dulu. Sejak tiga tahun Persahabatan mereka di masa putih abu-abu, Gege menunjukkan sosok aslinya. Hangat dan begitu baik juga perhatian.Emi bersyukur sekali bisa memiliki Gege sebagai sahabatnya.

Saat sampai di rumah. Emi membuka kotak hadiah dari kedua saudara kembar itu. Tas dan sepatu berhak dari Gege. Sementara dari Genta, ada empat setel baju kerja. Mereka benar-benar tahu apa yang memang sangat Emi butuhkan saat ini.

Sebuah notifikasi menarik perhatian si empunya ponsel.

Genta: Apa setelannya pas untukmu? Gege yang membantuku memilihnya siang tadi.
23.14

Tanpa mencoba pun Emi yakin, baju itu pas untuknya. Gege benar-benar paham dengan ukuran bajunya.

Pas kok. Makasih Genta. Baju ini sangat membantu.
23.15

Genta: Bagus jika begitu. Tidurlah. Besok kamu gak boleh terlambat, ok 👌
23.15

Aye-aye, captain.
23.15

Emi mematikan data seluler. Meletakkan benda pipih itu di meja nakas. Hari senin besok, semoga akan menjadi hari keberuntungannya.

രരര

Emi berjalan dengan cepat memasuki area perkantoran. Sepuluh menit lagi janji pertemuan akan dimulai. Gadis dengan kuncir kuda itu mendekat pada resepsionis.

"Ada yang bisa saya bantu, Mba?"

"Saya, ada janji dengan Bu Linda HRD," jawab Emi.

"Ah mba pelamar, ya. Akan saya sambungkan pada Bu Linda. Mohon tunggu sebentar."

Emi mengangguk kecil. Melihat-lihat sebentar suasana lobby kantor pusat perusahaan perabotan terkenal di dunia. Tak lama setelahnya.

Si resepsionis yang ramah itu kembali berkata, "Mba langsung ke lantai dua naik lift. Ada pintu coklat bertuliskan HRD Linda. Langsung diketuk aja."

Emi tersenyum, mengangguk paham. "Terima kasih banyak."

Dengan langkah sedikit ragu. Emi memasuki lift. Berharap semoga di sini adalah jawaban dari semua doa-doanya.

Tbc...
31 Mei 2020
04.58 WIB

MikenzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang