D U A

342 44 6
                                    

Tidak ada jalan lain,
hanya dia satu-satunya jalan untuk ku
.
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading
Don't forget to vote 🌟
.
.




Kevin mengemudikan mobilnya pelan menyusuri jalan, ia tau mengemudi salah satu hal membahayakan baginya, ia ingat pernah hampir menabrak seseorang karena saat itu suara di kepalanya muncul tiba-tiba. Untung ia hanya menabrak pembatas jalan. Sialnya ia belum juga mati walau sudah hampir dua tahun mengalami gangguan mental pasca kecelakaan.

Sebenarnya ia ragu ini karena kecelakaan itu, entahlah, Kevin sudah merasa 'gila'---dalam arti sebenarnya---sebelum ia tertabrak mobil didepan rumah sakit itu, karena bahkan sebelum kecelakaan ia sudah mendengar suara-suara aneh di kepalanya. Walau kecelakaan itu cukup parah, tapi Sepertinya ia tidak bisa mati, karena bahkan ia bisa sembuh hanya dalam kurun waktu enam bulan. Tidak ada kerusakan berarti ditubuh Kevin, ia hanya menderita geger otak, kaki patah dan beberapa kebocoran di organ vital. Selain itu ia merasa sangat sehat.

Setelah sembuh dari sakit, Kevin mulai mencari mautnya lagi. Well, mengiris nadi, melompat dari balkon, tenggelam di sungai. Ya, itu semua sudah ia lakukan, tapi tetap saja Kevin tidak bisa mati.

Kevin melambatkan laju mobilnya, matanya melirik kearah bangunan baru yang berada diujung jalan yang ia lalui, bata-bata merah masih terlihat di beberapa bagian gedung itu. Para pekerja bekerja di setiap sudut, terlihat sibuk.

Ia tersenyum saat suara lembut berbisik di telinganya. "Tidak mau mampir dulu?" katanya, suaranya selembut beledu.

Kevin menggeleng, setengah tertawa, ia masih bisa mengatasi jika suaranya masih lembut dan ringan, tidak memaksa. Ia bisa mengendalikan diri walau bisa merasakan otot-ototnya yang mengejang ingin menuruti apapun yang dikatakan suara itu. Suntikan Karl cukup membantunya, ia bisa bertahan setidaknya 24 jam setelah dari klinik Karl, selanjutnya ia hanya harus siap-siap. Ledakan itu bisa datang kapan saja.

Yah! Kevin sama sekali tidak takut mati, ia pikir, kematian bisa datang kapan saja. Karl benar, Kevin memang menikmati semua ini, depresi yang ia derita. Ia hanya menganggap bahwa semua ini, yang terjadi padanya adalah apa yang pantas ia dapatkan, Kevin tidak keberatan jika itu akan merenggut nyawanya.

Hanya saja terkadang ia sesekali melibatkan orang lain yang kebetulan ikut campur saat ia meledak. Itulah yang ia hindari dan alasan mengapa ia rutin menemui Karl. Walaupun ia tau, ia tidak akan sembuh hingga bisa menemukan 'dia', obat dari segala penyakitnya, sumber kebahagiaannya, dan tebusan dari segala dosa-dosanya dimasa lalu.

Ia percaya, semua penderitaan ini akan berhenti saat ia bisa membawa sebingkis maaf untuk 'Dia', hal yang harusnya ia ucapkan sejak dulu.

Semua yang terjadi padanya, suara-suara itu, ledakan yang mengubahnya, adalah buah dari rasa bersalah yang terpatri di pikiran dan hatinya, memaksa untuk keluar dan memiringkan otaknya, itulah mengapa sekarang ia---seperti kata Karl---gila.

Kevin sudah melaju kembali dengan stabil dan sampai di halaman kediaman Sukamuldjo dengan cepat. Ia bertemu mamanya---Nia---tepat didepan pintu, hampir bertubrukan.

"Oh!" Nia terkesiap.

Kevin hanya nyengir.

"Mama baru saja ingin ke klinik Karl." katanya terengah-engah. "Mama dengar kau__ " Nia tidak meneruskan kalimatnya.

"Yeah, sudah berakhir kok, ma, aku sudah jauh lebih baik." Kevin menjawab, lalu permisi untuk masuk. Nia mengikutinya dari belakang.

"Mau makan sesuatu?" Nia masih terlihat panik saat Kevin sudah duduk tenang diatas kursi meja makan.

LOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang