D E L A P A N

154 25 10
                                    

Masalah itu seperti penyakit yang mengendap, semakin dia disembunyikan, ditutupi dan juga dibiarkan, dia akan terus menggerogoti, sedikit demi sedikit
.
.
.
.
.

Selamat membaca


Kevin mendapati dirinya bangun di pagi hari dengan setengah linglung. Udara pagi yang hangat memijit kulitnya, cicitan burung nun jauh disana mengisi rongga telinganya, dan sinar matahari berpendar lembut menembus tirai kamarnya.

Sudah pagi, tentu saja. Dan entah kenapa semakin hari, paginya semakin berbeda, bahkan melupakan sebagian pagi mengerikan yang dia lalui dua tahun ini. Yah, bisa dibilang untuk pertama kalinya sejak beberapa waktu yang pahit, akhirnya tak ada mimpi buruk yang selalu membangunkannya secara paksa, dengan keringat dan juga kehabisan udara.

Tapi hari ini, sungguh! Tidak ada apa-apa, sampai dia merasa aneh karena bangun dengan senyaman ini. Seakan kehidupan normal tanpa mimpi buruk justru tidak wajar baginya. Bagi Kevin yang sekarang.

Kevin melirik was-was pada jam diatas meja, bahkan ini belum pukul delapan, biasanya dia terbangun saat matahari sudah tinggi, itupun setelah berteriak ataupun memukul Nana yang berusaha menenangkannya.

Ah, ya! Tentu saja, Nana. Gadis kurang ajar itu rupanya. Ngomong-ngomong ini memang sudah dua minggu semenjak Nana mengusik hidupnya. Mengacak-acak pola hidup yang sudah terbiasa Kevin jalani sejak dua tahun terakhir.

Si mungil yang cerewet dan berisik, begitu Kevin menamainya. Dia lebih sering bicara sendiri walau Kevin banyak tidak menggubrisnya. Dia terus bicara dan bicara. Sampai suara didalam otak Kevin tidak pernah punya kesempatan untuk mengambil alih perhatian Kevin, yang ada hanya Nana dan kisah masa kecilnya yang bodoh. Walau Kevin sesekali mengira gadis itu berbohong tentang kisah konyol yang Nana ceritakan, tapi dia pernah tertawa saat Nana bercerita bahwa saat dia kecil dia pernah menjatuhkan peti mati neneknya dan membuat mayat neneknya yang sudah didandani terguling kelantai, saat itu umur Nana lima tahun, dan semua orang terkejut tapi tidak bisa memarahi Nana saat dia mengatakan dengan anggun bahwa dia tidak sengaja membuat neneknya mati dua kali.

Itu seharusnya adalah cerita sedih, tapi sungguh! Bagi Kevin itu lucu sekali, sangat lucu sampai dia tidak bisa menahan tawa. Ternyata Nana sudah bodoh sejak kecil dan bahkan sampai sekarang.

Kevin tau, ini memang aneh, niatnya untuk membuat Nana pergi dengan cepat tidak berjalan dengan lancar, dan sialnya sampai sekarang dia belum juga bisa membunuh Nana. Mungkin karena ocehan gadis itu yang membuat otak Kevin buntu dan tidak bisa menyusun rencana.

Lagipula rasanya Kevin sudah cukup menyiksa Nana, liat saja dalam dua minggu ini dia tidak se diam itu, apalagi tanpa obat-obat Karl.

Mungkin tiga atau empat kali Kevin mengalami mimpi buruk lalu mengamuk dan menyakiti Nana hingga wajah dan tubuh gadis itu penuh lebam, kulit transparannya membiru dan kadang dia juga mengeluarkan darah karena cakaran Kevin. Tapi aneh sekali dia masih bertahan juga sampai sekarang.

Itu artinya kau sudah kalah Kevin! Kau membiarkan dirimu kalah, lemah!

Tidak, Kevin tidak pernah benar-benar mendengarkan Nana, dia diam karena memang tidak mau terlibat pembicaraan dengan gadis itu, itu bukan kalah namanya, kan?

Justru itu, dia ingin menguasaimu, dia ingin kau mengikuti alur yang dia buat, dan sekarang kau sudah terperangkap, terima sajalah, kau memang lemah, pantas Popor meninggalkanmu, lebih baik kau mati saja, laki-laki tolol.

Kevin turun dari ranjang, membiarkan telapak kakinya menyentuh ubin yang dingin, dia berdiam sejenak untuk meresapi aliran dingin itu menjalar di otot-otot kakinya. Kevin memejamkan mata, membayangkan wajah Popor dalam benaknya. Mematri senyuman manis yang selalu Kevin harapkan bisa ia miliki seutuhnya. Tapi tidak bisa, bayangan Popor semakin kabur. Terhalang oleh distorsi yang membentuk siluet tak beraturan, menutupi semua ingatannya pada sosok Popor.

LOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang