T U J U H

228 24 6
                                    

hati seorang pria boleh saja hancur, tapi raganya harus tetap kuat
.
.
.
.
Selamat
Membaca
🌟
.
.
.
.
.
.

Kevin berada dipinggir danau dengan air berwarna biru, matanya menyapu pandangan kearah danau yang seakan tak berujung. Kabut menutupi seberang danau dan keheningan membuat telinganya seakan tuli. Dia mencoba menajamkan penglihatan, kabut diseberang danau perlahan menipis, seseorang terlihat berdiri disana dengan baju terusan berwarna putih tanpa alas kaki, namun wajahnya masih tertutup kabut.

Kevin gemetar, tanpa melihat wajah pun, ia tau bahwa itu Popor. Popor-nya. pujaan hatinya.
Dada Kevin bergejolak oleh perasaan bahagia yang tak terlukiskan.

Kabut itu kian menipis, dan wajah tersenyum Popor dapat dia lihat, begitu sempurna, cantik dan agak pucat.

Kevin berteriak, mulutnya terbuka lebar sampai ujung bibirnya robek, tapi tak ada suara yang keluar, sedang Popor masih tersenyum disana, kedua tangannya perlahan terangkat kearah depan, seakan menyambut uluran tangan Kevin dengan jarak danau yang kian memendek, seakan satu langkah lebar saja, Kevin dapat meraih tangan Popor.

Dia berteriak lagi, memanggil nama Popor dengan rembesan air diujung matanya yang terasa kering, masih tak ada suara, hanya hening tak terbatas.

Senyum Popor berubah kecut, sebuah tangan muncul dari belakangnya yang masih berkabut, satu tangan besar yang seperti kilat menyambar leher jengang Popor, meremasnya seperti sedang menggenggam cucian basah, memerasnya kuat.

Teriakan Popor terdengar, nyaring memekakkan telinga, suasana sunyi itu diisi gaungan teriakan Popor, memanggil nama Kevin dengan keputusasaan yang menyiksa.

Kevin ikut berteriak, hendak menggapai Popor, tapi secara tiba-tiba danau itu kembali meluas, menarik Popor jauh dari jangkauannya.

Aku akan melompat, aku akan menggapai Popor, tunggu aku, tunggu aku. Kevin membatin sembari bersiap melompat ketengah danau yang kini berubah warna menjadi merah, dia menyadari perubahan itu karena Popor yang memuntahkan cairan merah dari mulutnya, menodai warna danau.

Tubuh Kevin tertahan, dia tidak bisa bergerak seakan ada batu besar yang menimpa punggungnya, kepalanya oleng beberapa kali kesamping, seperti ada yang menampar pipinya. Kevin meronta, terus meronta menggapai sesuatu yang menahannya, mencakar, menendang, apapun yang bisa ia lakukan agar bisa terbebas.

Diujung sana kabut kembali menelan tubuh Popor, kabut merah mengerikan.

Kevin menangis, menjerit tanpa suara, lalu hantaman itu terasa semakin keras pada wajahnya, dan kegelapan menelannya menuju keputusasaan.

*****

Baru kali ini Kevin tak menyadari jika apa yang dia lihat itu hanyalah sebuah mimpi buruk yang selalu dia alami setiap malam. Mimpi itu terlalu nyata dan menyakitkan, seakan dia baru saja kembali ke masa dua tahun silam, saat dirumah sakit, tengah mengejar bayangan Popor lalu tertabrak mobil dijalan raya, bahkan berkali-kali lipat lebih menyakitkan rasanya.

Melihat Popor kesakitan lebih menyiksanya daripada luka yang dia dapatkan dua tahun silam, Kevin seperti terbakar api tak kasat mata, kesakitan walau tubuhnya masih utuh, rasanya seperti terkoyak dari tengkoraknya sendiri. Dia boleh merasa sakit, menderita ataupun gila, tapi Popor tidak boleh mendapatkan rasa sakit barang sedikitpun. Popor-nya, pujaan hatinya.

Kevin terbangun saat matahari sudah hampir berada dipuncak, berkeringat tapi menggigil, rasa takut merasukinya seperti hantu, bergentayangan dan membuat bulu kuduknya berdiri.

LOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang