E N A M

185 23 4
                                    

Membunuhnya sekarang atau nanti sama saja, wanita itu tetap akan mati juga

.
.
.
.
.
.

Ruangan itu terlalu sunyi, hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan permukaan piring yang terpantul dari dinding ke dinding berwarna merah itu yang mengisi keheningan.

Dua orang yang sedang duduk berhadapan di depan meja berbentuk bulat terlihat tidak tertarik untuk saling membuka suara. Mereka hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, lebih memilih menyelesaikan makan terlebih dahulu sebelum akhirnya berbincang.

"Malam ini ada pesta bisnis di salah satu mansion klien kita." Si pria membuka suara tepat saat wanita diseberang mejanya meletakkan garpu dan sendoknya di kedua sisi piring, menandakan bahwa si wanita sudah siap bicara.

Si wanita membersihkan ujung bibirnya hati-hati dengan saputangan berwarna perak. Tak menjawab atau menanggapi kalimat si pria.

"Kau mau ikut?" Si pria melontarkan pertanyaan.

"Tidak, kau bisa menanganinya sendiri." lirih wanita itu.

"Oh! Ayolah! Mereka pasti senang melihatmu, mereka sudah menantikanmu sejak lama, mereka ingin kau, bukan aku!" si pria bicara memelas, menyelipkan tawa ringan di beberapa kata.

"Belum saatnya, nanti saja." Si wanita hanya menjawab dingin.

"Nanti saja... Nanti saja... Itu terus jawabanmu, tapi baiklah, aku tidak akan memaksa." Si Pria mendengus lelah. "Semoga 'nanti' itu benar-benar tiba." gumamnya kemudian.

Si wanita lagi-lagi tak merespon, hanya terlihat sibuk memperhatikan kedua tangannya yang tertaut di pangkuannya.

"Oh ya! Mana gadis itu? Sudah jarang dia terlihat bersamamu?" Si pria terus berusaha mengajak si wanita bicara agar situasi tak selalu canggung, seperti hari-hari biasa mereka bertemu.

Si wanita kali ini merespon dengan kerlingan cepat. "Melanjutkan sekolah." jawab wanita itu ragu sendiri.

"Benarkah? Hmmm... Sepi juga kalau dia tidak ada, setidaknya aku bisa mengajaknya bicara jika kau sedang mengacuhkanku."

Si wanita meringis, mencoba tersenyum tapi malah terlihat seperti sedang merintih.

"Sudahlah, tak apa, kau tidak perlu merasa tidak enak padaku, aku mengerti, kok."

Kali ini si wanita memandang si pria agak lama, lalu memaksa menarik senyum di bibirnya.

"Terima kasih, Cho, kau memang baik."

*****

Kevin menatap garang kearah Nana yang sedang mengemudikan mobilnya sambil bersenandung kecil. Kehadiran Nana benar-benar mengganggu jiwa dan pikirannya.

Tak terelakkan jika Nana terus mengingatkannya pada sosok Popor dan juga kenangan mereka dulu. Saat dimana Popor juga pernah berada di posisi Nana sekarang, menyetirkan mobil untuknya, dan Kevin bisa memandangnya persis bagaimana ia memandang Nana saat ini.

Walau rasanya menyakitkan, tapi Kevin tidak ingin menganggap kenangannya bersama Popor adalah luka. Ia ingin menganggap semua hari-harinya bersama Popor dulu adalah kenangan yang indah, walau dirinya harus merasakan sakit tak terkira setiap mengingatnya.

Sama seperti sekarang, ingatan tentang Popor dan kebenciannya pada Nana berbaur menjadi satu. Monster dalam kepalanya terus menyusun rencana untuk menyakiti Nana, toh mereka berdua saja kini.

LOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang