S E M B I L A N

180 28 5
                                    

Rasa sakit yang tak menghasilkan darah, tapi cukup untuk membuatnya mati.

.
.
.
.
.

Selamat membaca

Matanya menerawang jauh, memperhatikan sekelebat bayangan tak berbentuk dari deretan mesin yang berderu diatas aspal yang berkelok-kelok.

Dia berada didalam keramaian yang memekakkan telinga, ditengah warna-warni terang menyilaukan mata, bendera-bendera yang berkibar dan juga hawa panas yang menguar dari aspal yang terbakar matahari.

Hatinya merasa getir, bertanya-tanya dengan pilu, apa sebenarnya yang tengah dia lakukan sekarang?

Apa tindakannya ini benar?

Bukankah ini menyakitinya?

Ingatan ini, perasaan ini, kenangan yang dihasilkan oleh atmosfer ini... Membuatnya berdarah-darah.

Apa yang sebenarnya dia lakukan? Untuk apa dia pergi sejauh ini?

Apakah hanya untuk merasakan perasaan ini lagi? Perasaan yang hampir punah dari pikirannya.

Tapi untuk apa? Bukankah seharusnya dia berhenti? Bukankah semua ini harus diakhiri?

Logikanya mengiyakan, tapi hatinya menjerit menolak.

Detik itu juga dia merasakan tubuhnya hancur berkeping-keping, rasanya begitu menyakitkan hingga membuat tubuhnya menggigil.

"Nona, ada Chou disini." Sebuah bisikan menariknya kembali ke dunia nyata, tempat dimana kini dia berada---tempat seharusnya dia tidak berada.

Sepang, Selangor, Malaysia.

Dia menoleh pada sosok wanita yang baru saja berbisik padanya, lalu perhatiannya beralih lagi pada seorang pria yang berjalan mendekat pada kursi duduknya.

"Ada apa?" Dia bertanya saat pria itu sudah mendaratkan bokongnya tepat disampingnya.

"Tidak." Pria itu menghela napas sambil bersidekap. "Aku hanya penasaran, jadi aku kesini. aku bertanya-tanya, apa kau benar ada disini? ternyata memang benar," katanya sambil melayangkan senyum. Ekspresinya menghakimi, bertanya-tanya, menuntut penjelasan.

Merasa tak mendapatkan gubrisan berarti, pria itu kembali menghela napas, mengalihkan pandangan pada deru mesin yang kini menarik perhatiannya.

"Sudah putaran keberapa sekarang?" Dia bertanya. "Ngomong-ngomong, yang mana dukunganmu?" Pria itu celingukan seperti sedang memastikan lalu kembali memandang pada wajah wanita yang tengah duduk kaku disisinya.

Masih tidak ada sahutan, hanya tatapan datar dan sendu yang dia lihat.

"Aku, kan sudah bilang, aku hanya penasaran kenapa kau selalu kesini dalam beberapa waktu, apa kau penyuka balapan? Atau hanya tertarik saja, maksudku... Aku Hanya penasaran, tidak salah, kan Nona Sapsiree?"

Gigi wanita itu bergemerutuk. "Berhenti memanggilku seperti itu," geramnya disela-sela giginya yang terkantup.

Lengkap sudah, kenangan itu mengacak-acak hatinya, seperti pusaran air yang menenggelamkannya pada keputusasaan.

*****

Kevin bercerita. Dari saat pertama dia memandang mata sipit itu, perasaan terhina dan juga amarah yang tercetus setelahnya, keinginan balas dendam dan juga kepongahan.

Ingatan itu langsung mengalir dalam otaknya, seperti air yang sudah lama tertahan oleh bendungan, dan hari ini bendungan itu jebol, air berhamburan kemana-mana, membanjiri hati dan jiwa Kevin. Kenangan itu menenggelamkannya dalam nostalgia. Layaknya kini dia sedang berdiri dan melihat dirinya sendiri dimasa lalu, begitu kuat dan bebas, tanpa beban dan rasa bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOCKEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang