6. Gadis Desa Yang Menarik Perhatian

4.5K 612 115
                                    

Aku Suka Kamu ~ Trio Libels
--> Bisa dibilang ini semacam boyband deh, tapi masa 90-an disebutnya trio vokal grup. Lagu ini rilis tahun 1990. Yah, kira-kira begini deh lagu jadul tahun 1990. Kebayang ya, betapa jadulnya setting cerita ini 😁

~ oOo ~

Yudi menyikut Aksan yang sejak tadi diam saja asyik mendengarkan musik dari walkman-nya. Aksan menoleh dan melepas headphone dari telinganya.

"Ada apa?" tanyanya memasang ekspresi terganggu.

"Jangan dengerin musik mulu. Pak Suryo sedang nyeritain tentang desa ini," jawab Yudi.

Aksan melirik Pak Suryo dan dua teman lainnya. "Apa aja yang diceritain?"

"Tuh kan, lu nggak denger karena kuping lu disumpal headphone terus. Pak Suryo bilang, dilarang bikin dosa di desa ini kalau nggak mau kena kutukan."

"Kutukan apa?" tanya Aksan semakin bingung.

"Salah sendiri tadi nggak dengerin. Kalau sampai lu melanggar aturan desa dan kena kutuk, rasain aja."

"Ah, lu cuma nakut-nakutin gue." Aksan berniat memasang lagi headphonenya, tapi Yudi dengan cepat menarik tangan Aksan.

"Udah deh dengerin musiknya. Kita udah sampai ujung irigasi. Konsen dong dengerin penjelasan Pak Suryo."

Aksan menghela napas kesal, namun dia turuti perintah Yudi.

Pak Suryo menjelaskan keadaan irigasi di desa itu dan mereka cukup kesulitan air tiap kali musim kemarau datang. Keempat mahasiswa itu memperhatikan keadaan irigasi. Yudi memotret, Aksan mendapat tugas mencatat kesimpulan yang dibuat Adit dari pengamatan mereka. Ricky membantu Aksan jika ada kata-kata yang terlupa.

Mereka punya ide pemecahan masalah kekeringan di desa itu dengan membuat sumur pompa bertenaga kincir angin. Mereka memilih desa ini sebagai lokasi survei untuk proyek tugas akhir mereka atas rekomendasi dosen pembimbing mereka yang kampung halamannya tak jauh dari desa ini.

Dalam tugas akhir di jurusan teknik mesin, mereka boleh mengerjakan proyek yang sama, tetapi laporan skripsinya dibuat dengan pembahasan topik yang berbeda untuk masing-masing mahasiswa.

Lewat tengah hari, mereka kembali ke tempat mereka meletakkan sepeda. Pak Suryo memandu mereka menjelajahi bagian lain desa itu.

"Pak, di sini kebanyakan penduduknya udah tua-tua ya?" tanya Yudi mengayuh cepat sepedanya hingga sejajar dengan sepeda Pak Suryo.

"Iya, memang penduduk di sini banyak yang sudah tua."

"Sejak tadi saya nggak ketemu anak mudanya."

"Anak mudanya kan sekolah, Mas."

"Maksudnya yang seumuran kami-kami gini, Pak. Apa mereka kuliah di kota jadinya nggak tinggal di sini?"

Pak Suryo tertawa. "Di desa ini jarang ada yang kuliah. Bisa lulus SMA saja sudah bagus. Ndak semuanya lulus SMA," katanya.

"Masa sih, Pak?"

"Ini cuma desa kecil. Ndak banyak yang punya cita-cita tinggi. Sekolah tinggi-tinggi juga percuma. Paling nanti kerjanya bantuin bapaknya bertani atau ngurusin ternak."

"Ada remaja perempuan yang cantik nggak di sini, Pak?" tanya Ricky yang bersepeda di belakang Pak Suryo.

"Ssst, Rick! Yang sopan dong," tegur Adit yang bersepeda di sebelah Ricky, mengingatkan temannya itu untuk menjaga sikap.

"Gue nanya baik-baik. Apanya yang nggak sopan?" balas Ricky melirik sebal pada Adit.

"Ngapain nanya pertanyaan kayak gitu? Jangan ngumbar ke-playboy-an lu di desa ini dong." Adit memelankan suaranya, berharap hanya Ricky yang bisa mendengarnya.

"Apa pertanyaan itu salah? Kan ada istilah kembang desa, julukan buat cewek tercantik di satu desa. Gue cuma pengin tahu, apa desa ini punya kembang desa. Cewek yang paling cantik di desa ini, yang masih muda, dan belum menikah."

"Tentu ada, Mas," jawab Pak Suryo yang ternyata mendengar percakapan Adit dan Ricky.

Ricky membelalak ke arah tengkuk Pak Suryo. Dia menoleh sekilas kepada Adit, lalu kembali melihat jalanan di depannya.

"Tuh, Pak Suryo aja ngerti maksud gue. Kembang desa, cewek tercantik di desa ini," katanya sambil menoleh sekilas ke Adit. "Rumahnya di mana, Pak? Kok dari tadi saya belum lihat," lanjut Ricky.

"Besok malam, Mas-mas ini datang saja ke acara pesta syukuran panen. Ada banyak pertunjukan. Nanti Mas pasti bisa lihat dia," jawab Pak Suryo sengaja tak ingin menceritakan secara detail.

"Wah, ada pesta juga di desa ini?" Ricky mulai antusias.

"Cuma perayaan ala desa, Mas."

"Ada pertunjukan musiknya, Pak?" teriak Aksan yang berada paling belakang ikut antusias.

"Ada, tapi cuma musik kampung, bukan musik orang kota." Pak Suryo juga menjawab dengan suara keras.

Tiba-tiba Ricky menghentikan sepedanya. Membuat Aksan yang berada di belakangnya menabraknya dan hampir terpental ke depan.

"Rick! Lu ngapain sih ngerem mendadak gitu! Hampir aja gue jatuh nih!" umpat Aksan kesal.

"Ada cewek kece arah jam sembilan," ucap Ricky tanpa peduli keadaan Aksan. Matanya mengikuti gerakan seorang gadis muda yang menaiki sepeda di seberang jalan menuju arah yang berlawanan dengan mereka.

Gadis itu turun dari sepedanya, menuntun sepedanya dan mengangguk hormat ke Pak Suryo sambil menyapa dalam bahasa Jawa. Pak Suryo pun berhenti dan balas menyapa juga dalam bahasa Jawa juga. Setelah itu gadis itu kembali mengayuh sepedanya.

"Eh, Pak, tadi itu siapa?" tanya Ricky bersemangat. Dia menoleh ke Adit, seperti dugaannya, temannya itu sedang meliriknya sebal.

"Kece banget, Dit," katanya pada Adit sambil menaikturunkan alisnya.

"Nah, kalau Mas mau kenal sama dia, datang saja besok ke acara pesta rakyat di balai desa," jawab Pak Suryo.

"Balai desanya di mana, Pak?" tanya Ricky lagi.

"Nanti setelah kita selesai keliling desa, saya antar ke sana. Supaya besok sudah tau tempatnya," sahut Pak Suryo yang sudah mengayuh sepedanya lagi.

"Kalau ada yang kece kayak tadi, gue jadi semangat," kata Ricky sambil melirik Adit. Dia tersenyum lebar. Adit tak menyahut. Sikap playboy Ricky ini memang sangat tidak disukainya.

Namun dalam hatinya, dia mengakui, gadis tadi memang cantik. Dia pun tak menyangka, di desa terpencil seperti ini ternyata ada gadis remaja secantik itu. Apakah dia kembang desa ini?

Untuk beberapa detik tadi Adit sempat beradu pandang dengan gadis itu. Walau mereka berada di seberang jalan yang berbeda, tapi karena jalanan itu tidak terlalu lebar, hanya satu setengah meter, Adit bisa melihat mata bulat gadis itu seolah tersenyum padanya.

Adit menyimpan senyumnya dalam-dalam. Semula, dia tak berminat ikut ke pesta rakyat besok malam. Namun setelah melihat gadis tadi, dia berubah pikiran.

Dia pendam rasa antusiasnya. Dia harus datang ke pesta itu besok malam untuk menuntaskan rasa penasarannya.

**=======**

Aloha, met hari Minggu.

Lanjutan cerita ini muncul lagi 😉

Sabar aja ya, ikutin terus kisahnya.

Silakan komen yang banyak supaya seru dan aku semangat update lagi.

Buat yang udah rajin baca, vote dan komen, makasih banyaaak 😘

Salam,

Arumi

RONGGENG Pembalasan Sulastri (Sudah Terbit & filmnya sudah tayang di bioskop)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang