8. Papa

115 18 2
                                    

Jam menunjukkan angka sembilan malam. Hanna turun dari mobil, lantas menutup pintu mobilnya itu. Di belakang mobilnya ada motor Vixion merah Reyhan. Mereka memang menggunakan kendaraan masing-masing. Hanna bilang kalau ia tidak ingin merepotkan Reyhan dengan menjemputnya ke rumah.

Lagi pula abangnya, Aldi, masih di rumah. Hanna bisa-bisa dimarahi oleh Aldi karena ia berpacaran. Aldi sangat tidak suka jika adik perempuan satu-satunya itu memiliki kekasih. Ia takut akan terjadi hal yang tidak-tidak pada adiknya itu.

Namun walau bagaimanapun, Hanna percaya pada Reyhan. Mereka memang berpacaran, tapi Hanna tidak pernah mengizinkan Reyhan menyentuh tubuhnya kecuali tangan dan puncak kepalanya.

"Makasi, Rey." Hanna tersenyum, bersandar di body belakang mobilnya. Reyhan masih duduk di atas motor. Helmnya belum ia lepas. Kaca helmnya ia naikkan ke atas.

Reyhan terkekeh pelan, "Makasi untuk apa?"

Tawa Hanna meledak, "Gatau juga sih aku mau bilang makasi atas alasan apa."

"Pacar gue gaje banget, sih." Ujar Reyhan sambil mengacak puncak kepala Hanna.

"Aduh... rambut aku jadi kusut, Reyhan Giovardo... Ntar aku jadi jelek, gimana?" Hanna menyingkirkan tangan Reyhan dari kepalanya, lantas merapikan rambutnya yang kusut akibat ulah Reyhan.

Reyhan nyengir, "Gapapa, Reyhan bakalan tetap cinta kok sama Nana."

"Dasar bucin." Ledek Hanna.

"Muach." Ucap Reyhan sembari memanyungkan bibirnya.

"Dasar Cabul." Hanna menempelkan tasnya ke bibir Reyhan. Ia kemudian mengambil paksa tangan kiri Reyhan, menghapus jejak bibir pria itu dari tasnya.

Reyhan hanya terkekeh geli melihat tingkah kekasihnya itu.

"Yaudah, aku masuk dulu, Rey. Good night." Ucap Hanna pamit, lantas dibalas dengan anggukan dan senyuman dari Reyhan. Hanna kemudian memasuki mobil, lantas memakirkannya di garasi.

"Siapa pria itu?" Suara bariton Arsyad mengagetkan Hanna yang baru saja akan memasuki pintu kamar.

Hanna tidak menyangka kalau Arsyad ada di rumah. Hanna hanya diam. Ia tahu, papanya ini juga tidak menyukai kalau Hanna berpacaran.

"Jawab papa!" Bentak Arsyad. Hanna dibuat kaget olehnya.

Hanna menghembuskan napas kasar, "Aku nggak pernah nanyain teman perempuan papa siapa aja. Aku juga nggak pernah ikut campur urusan papa soal perempuan lain. Aku juga nggak pernah bilang ke mama soal perempuan lain. Terus, ngapain papa mengintimisasi aku?"

"Berani kamu sekarang, ya?" Arsyad mulai terpancing emosi dengan perkataan anaknya itu.

"Hanna capek. Mau istirahat." Gadis itu lantas memasuki kamarnya. Arsyad hanya diam.

"Mobil itu bakalan papa gembok. Jadi besok biar papa yang antar kamu ke kampus." Ujar Arsyad setelah Hanna memasuki kamarnya.

Hanna membuka pintu, ia menyembulkan wajahnya di balik pintu, "Nggak usah. Hanna pake ojol aja," Ujarnya dengan intonasi kasar, "nggak usah repot-repot." Katanya setelah pintu itu ia tutup kembali.

Hanna menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan sekarang. Apa ia harus marah? Sedih? Kecewa? Hanna bahkan sudah kebal dengan semua hal yang ia alami di rumah ini.

Hanna kemudian mengamati langit-langit kamarnya. Tanpa ia sadari, air matanya jatuh berderai begitu saja. Mengapa semua ini terjadi padanya? Mengapa?

🌺🌺🌺

Hanna tengah menirukan tingkah Reyhan setelah pria itu mengalungkan liontin yang sedang ia pakai sekarang kepada Fiya di taman kampus.

"Apapun untuk Tuan Puteri Hanna, hamba rela." Ucap Hanna menirukan gaya Reyhan. Ia membungkuk, lantas mendekap tangannya di dada.

Fiya terlihat kegirangan sendiri. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Jika Fiya di posisi Hanna, ia akan merasa sangat spesial saat diperlakukan seperti itu.

"Gue juga mau digituin, Han..." Fiya tak henti-hentinya menghentakkan kaki ke tanah.

Hanna terkekeh geli, "Sini, gue yang gituin lo."

"Kalau lo yang gituin gue, gue bakalan geli sendiri. Gue maunya pangeran berkuda putih." Fiya menerawang ke langit. Sepertinya ia benar-benar membayangkan ada pangeran yang sedang mengendarai kuda putih tersenyum hangat padanya, lantas mereka sama-sama jatuh cinta di pandangan pertama. Setelah itu, mereka menikah. Di hari pernikahannya, sang pangeran juga akan melakukan hal yang sama seperi Reyhan kepada Hanna. Membayangkannya saja, Fiya sudah terkekeh geli sendiri.

"Oi, Pi. Ngehalu mulu lo." Hanna menyentil kening Fiya.

"Berhalu lah sampai halu lo itu kenyataan, Han." Fiya mengusap keningnya yang disentil cukup kuat oleh Hanna.

"Oke, gue bakalan ngehalu kalau keluarga gue baik-baik aja, terus papa datang ke sini buat jemput gue karena kita mau family time. Terus, kita bahagia banget saat itu. Gimana? Halu gue bakalan terwujud, nggak?"

"Pasti."

Itu bukan suara Fiya. Suara itu berasal dari belakang bangku yang mereka duduki. Mereka kenal betul dengan suara itu.

Tanpa dikomandoi, Fiya dan Hanna langsung menoleh ke belakang. Mereka melihat Arsyad, papanya Hanna tengah tersenyum pada kedua gadis itu.

"Papa? Sejak kapan papa di situ?" Hanna membulatkan matanya. Tidak percaya.

Arsyad terkekeh pelan, "Fiya, om pinjam Hannanya, ya..."

Fiya dan Hanna sama-sama membelalak kaget.

"Papa lo baik, ya Han," Fiya tersenyum tipis, "lo... beruntung banget."

Bersambung

Assalamualaikum, MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang