18. Helen

85 16 3
                                    

Assalamualaikum readers
Maaf author telat post ya...

Ada yang kangen nggak nih sama Asaalamualaikum, Muazin?

Yuk, bubuhkan vote dan tinggalkan komentar! ☺️
Supaya author makin semangat nulisnya...

Makasi banyak buat readers yang udah vote dan komen cerita ini dari awal sampai kapanpun yaa...

Love you...

Happy reading
Maafkan typo guys

______________

      "Nanta!"

Seruan Helen menggema seisi rumah. Ia tak sengaja melihat anak gadisnya itu jatuh terjerembap. Basil menoleh ke arah yang dilihat Helen barusan.

Ia tak kalah panik dari istrinya itu. Pasangan itu lantas berjalan menuju dapur, melupakan hal yang terjadi diantara mereka barusan.

"Kamu kenapa, nak?" Basil mendudukkan Nanta. Mata anak gadisnya itu memerah sekarang.
Nanta diam. Pandangannya kosong, tak mendengar suara Basil tadi.

Air mata Nanta kembali bercucuran. Ia belum menyadari kehadiran orang tuanya. Tubuh gadis itu gemetar. Ia terlihat sangat hancur sekarang.

Helen tersenyum getir, ia seolah merasakan apa yang anak gadisnya itu rasakan sekarang. Ia bisa mengambil kesimpulan kalau keadaan Nanta saat ini karena mendengar pembicaraannyadengan Basil.

Terlebih, saat ia mengatakan akan pisah dengan Basil saat ayah dan anak itu sudah sah menjadi muslim. Helen memeluk Nanta, membiarkan anak gadisnya itu menangis di dalam pelukannya.

Ia bisa apa sekarang?

Nanta adalah sumber kekuatannya selama ini. Ia benar-benar tak sanggup jika kehilangan Nanta. Ia tak menyangka kalau kalimat yang asal ia sebut tadi bisa membuat Nanta seperti ini. Ia benar-benar menyesal.

"Nanta kenapa?" Helen mengelus puncak kepala Nanta. Nanta terdiam. Tangisnya terhenti. Ia mulai menyadari kalau kedua orang tuanya sedang bersamanya saat ini.

"Bunda jangan pergi." Nanta bergumam lirih. Menyeka air mata yang tersisa di pipi menggunakan telapak tangannya.

"Ayah, Nanta kayaknya nggak jadi mualaf." Ujar Nanta dengan senyum yang dipaksakan.

Pernyataannya tadi benar-benar menyayat hatinya. Ia ingin kembali menangis sekarang.
Helen dan Basil serempak membulatkan mata, tidak percaya. Helen benar-benar merasa bersalah pada anaknya itu. Basil diam. Ia tak tahu harus mengatakan apa sekarang.

Ia tahu, anak gadisnya itu benar-benar kacau sekarang. Ia tak ingin menambah beban fikiran Nanta.

Helen melepas pelukannya, mengusap rambut anak tunggalnya itu. "Nanta, bunda nggak bakalan pergi ke mana-mana kok. Bunda sayang banget sama Nanta. Bunda nggak bakalan ninggalin Nanta."

Nanta terdiam sesaat.

"Nanta syahadat aja nanti sama ayah. Bunda nggak apa-apa. Itu hak Nanta. Itu keputusan Nanta sama ayah. Bunda nggak bisa egois. Jika itu terbaik buat kalian, bunda bakalan dukung."  Ujar Helen tersenyum pada anak dan suaminya, bergantian.

"Kamu..." Basil membuka suara. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

Helen tersenyum pada Nanta, "Walau setelah ini Nanta sama ayah udah sah jadi islam, bunda nggak bakalan pisah sama kalian. Bunda sayang sama kalian." Setetes air mata Helen tiba-tiba saja jatuh mengenai pahanya. Ia benar-benar tulus mengatakan kalimatnya barusan. Basil berjongkok, lantas memeluk istrinya itu. Disusul Nanta. Keluarga kecil itu lantas berpelukan bersama.

Assalamualaikum, MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang