"Laksanakan saja, jangan mengeluh. Anggap saja ini sebagai penebusan dosamu. Lagi pula sekolah kita jadi lebih bersih karena ada kamu yang rajin memilah sampah seperti ini."
-Pak Zainal-"Tunggu hadiah dari saya ya." Ucap Bu Shafa pada mereka bertiga dengan seringai yang menyeramkan.
Entah mengapa hari ini mulai terlihat power Bu Shafa yang sesungguhnya. Predikat sebagai guru 'kalem' yang disematkan untuknya pun seakan mulai memudar. Beberapa siswa kelas 8-I yang menyadarinya mulai merasa resah jika Bu Shafa akan berubah menjadi guru yang garang.
Pak Alif menatap ketiga siswa yang sedang menandatangani surat pernyataan, menunggunya dan segera membawa mereka bertiga menyusul Pak Zainal di halaman depan.
"Murid itu harus sopan, jangan kurang ajar." Ujar Pak Alif pada Raka dan Bayu.
Pak Alif berjalan menuju halaman depan diikuti Rian, Raka, dan Bayu di belakangnya. Raka dan Bayu tak henti-hentinya mengumpat Rian yang mereka sebut sebagai biang dari masalah ini. Jika Rian tak datang mungkin semua tidak akan seperti ini, mereka tidak akan dihukum, pikir Raka.
Dalam hati Rian mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa menghajar Raka yang kurang ajar itu hingga lebih bonyok.
Kini mereka semua telah berada di halaman depan. Pak Zainal memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak akan pernah mereka pikirkan sebelumnya, dan tidak akan mereka lupakan selamanya.
"Ehm, kalian sudah siap?!" Tanya Pak Zainal yang sudah berdiri di tengah halaman depan.
Mereka bertiga bingung hendak menjawab bagaimana.
"Apa suara saya kurang keras?!" Kali ini Pak Zainal berteriak.
"Siap!!!" Mereka bertiga serempak menjawab.
"Bagus. Laksanakan!" Ujar Pak Zainal.
Rian, Raka, dan Bayu segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Pak Zainal. Rian memungut daun-daun yang berceceran di bawah pohon yang ada di halaman depan. Bayu memunguti kerikil dan batu yang ada di halaman itu, kata Pak Zainal supaya kerikil-kerikil itu tidak melukai kaki siswa-siswa yang lain saat berolahraga.
Sedangkan Raka, ia mendapatkan hadiah yang terberat menurutnya. Ia harus membuang sampah-sampah yang ada di tempat sampah dari seluruh kelas, memilah sampah-sampah tersebut, dan ia harus melakukannya selama satu bulan.
Raka membawa tempat sampah sambil menahan malu karena ditertawakan oleh siswa-siswa yang lain. Mulutnya tak henti mengumpat Rian yang tak ada di hadapannya. Dan tak lupa juga kehadiran Pak Zainal yang terus mengikutinya berhasil membuatnya tak bisa berkutik.
Bau sampah yang menyengat sungguh membuatnya mual, apalagi sampah sisa makanan sejak kemarin siang yang belum dibuang. Lalat dan semut yang mengerubuti sampah-sampah itu semakin membuatnya merasa jijik, tapi ia harus tetap melaksanakan tugas sebagai hukuman karena kesalahannya itu.
Raka merasa letih. Sudah dua puluh lima kelas, kurang dua kelas lagi, pikirnya. Lengannya terasa pegal. Sesekali ia menatap Pak Zainal dengan tatapan seolah-olah memohon bahwa ia menyesal.
"Laksanakan saja, jangan mengeluh. Anggap saja ini sebagai penebusan dosamu. Lagi pula sekolah kita jadi lebih bersih karena ada kamu yang rajin memilah sampah seperti ini." Ujar Pak Zainal sambil tersenyum, "Betul tidak anak-anak?" Tanya Pak Zainal pada siswa yang lain.
"Betuuuullll!!!" Sorak mereka semua ramai.
"Ingat ya Raka, hadiahmu tak sampai di sini saja. Tunggu satu bulan lagi." Pak Zainal tersenyum.
Raka membelalak tak percaya bahwa hukumannya sangat banyak.
Di halaman depan, Rian menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Baginya memungut daun tidaklah sulit, toh sama saja dengan menyapu kebun belakang rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Sekolah
Teen FictionPernahkah kamu meminta izin pada gurumu saat pelajaran untuk pergi ke toilet? Padahal kamu tidak benar-benar pergi ke toilet, melainkan berjalan-jalan keliling sekolah untuk melepas penat di kelas. Atau pernahkah kamu mengukir namamu dan nama Si Doi...