12. "Kujual Bukuku"

119 9 2
                                    

Sore itu, Hendra termenung di teras rumahnya. Matanya menerawang jauh, angannya melayang-layang entah ke mana. Sesekali ia mengusap mukanya yang sudah kusut dan letih itu. Beberapa kali perutnya meronta menahan lapar.

Ia menunggu kakaknya yang belum pulang sedari pagi, ia pergi mencari pekerjaan. Sudah sebulan ini hidup mereka hanya mengandalkan uang pesangon dari pabrik tempat kakaknya bekerja dulu. Kini, tak ada pemasukan, namun hidup terus berjalan. Mereka tak tahu lagi harus berbuat apa.

Hendra dan Haikal, kakaknya, mereka adalah anak yatim piatu yang tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil dengan biaya tiga ratus ribu rupiah per bulan. Mereka sudah menunggak pembayaran selama dua bulan. Sang pemilik rumah kontrakan pun tak pernah menagih atau memaksa mereka untuk segera membayar, karena ia tahu keadaan Hendra dan kakaknya yang serba kekurangan.

Ibu pemilik rumah kontrakan itu sangat baik, sering membantu mereka saat kesusahan. Sering berbagi makanan, dan bahkan tak jarang pula memberikan uang saku untuk Hendra.

Hidup kakak beradik itu serba kekurangan. Bisa makan sehari-hari saja mereka sudah sangat bersyukur, mereka tak pernah menginginkan hal-hal yang mewah yang tak mungkin didapatkan menurut mereka.

Saat Hendra masih melamun, sebuah derap langkah kaki membuyarkannya. Kakaknya baru pulang, dengan wajah kusut dan sebuah amplop coklat di tangan. Ia tahu, kakaknya pasti belum mendapatkan pekerjaan lagi.

"Assalamualaikum..." ucap Haikal.

"Waalaikumsalam." Jawab Hendra, "Hendra udah bikinin teh buat Abang di meja."

Haikal duduk di samping Hendra, meletakkan amplop coklatnya dan mengelus puncak kepala adiknya itu.
"Maafin Abang ya dek, Abang belum dapat kerjaan lagi." Ucapnya.

Hendra tersenyum, "Enggak apa-apa kok Bang, Hendra ngerti."

Suara perut Haikal yang belum terisi sejak pagi seperti suara petir yang menggelegar. Menyentak pendengarannya sendiri dan juga Hendra. Haikal tersenyum kecut sambil memegang perutnya yang keroncongan itu.

Hendra menatap wajah kakaknya, "Bang...."

"Hmmm...." Haikal menoleh ke arah Hendra.

"Apa aku berhenti sekolah aja, biar bisa bantu Abang cari uang." Ucap Hendra.

Haikal tercengang, "Tidak perlu, jangan sampai kamu putus sekolah. Abang akan sekolahkan kamu sampai tinggi, sesuai janji Abang dengan almarhum orang tua kita dulu." Haikal menghela nafas, "Sudah, kamu tenang saja. Kamu belajar yang rajin."

Sesungguhnya Hendra tak tega membiarkan kakaknya menanggung beban hidup mereka yang begitu banyak dan berat.

Beras di dapur sudah habis, tak ada yang bisa dimakan untuk sore ini. Sejak siang ia harus menahan lapar, apalagi kakaknya yang belum makan sejak pagi. 'Kuatkan kami Ya Allah...' ucapnya dalam hati.

Haikal berdoa dalam hati semoga hari ini ada keajaiban untuk mereka berdua, ia tak tega bila melihat adiknya kelaparan.

"Kamu pasti juga lapar? Yuk beli nasi goreng di gang depan, Abang masih ada uang dua puluh ribu." Ajak Haikal.

"Tapi Bang, ongkos buat Abang cari kerja lagi besok gimana?"

"Abang bisa jalan kaki besok. Lagi pula, kalau perutmu kosong bagaimana bisa konsentrasi belajar?" Haikal tersenyum.

Baru saja mereka hendak beranjak untuk pergi membeli nasi goreng di gang depan, tiba-tiba Bu Yanti pemilik kontrakan datang. Bu Yanti membawa sesuatu di tangannya.

"Kalian mau ke mana?" Tanya Bu Yanti, "Nanti malam di rumah ibu ada acara pengajian, ibu masak banyak tadi. Ini ada soto buat kalian."

Hendra dan Haikal saling pandang, merasa Allah telah mengabulkan doa mereka dengan cepat, secepat kilat.

Diary SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang