18. Ecobrick

102 9 2
                                    

Minggu pagi Rian sibuk menyiapkan segala sesuatu yang rencananya akan ia gunakan untuk membuat ecobrick bersama teman-temannya. Ia menata botol-botol yang sudah diisi plastik oleh Raisa kemarin sore. Botol-botol bekas air mineral berukuran satu setengah liter itu ia letakkan di teras depan rumah, lalu ia mengambil lakban untuk merekatkan botol agar tidak lepas.

Rian menghitung jumlah botol-botol itu, jumlahnya masih kurang sedikit untuk membuat empat kursi bulat-bulat sesuai dengan rancangannya. Ia teringat Elsa yang berjanji akan membawakan botol lagi bersama dengan Bintang.

"Ah kalau begitu sudah cukup!" Rian menjentikkan jarinya, senyum di bibirnya melebar.
"Tunggu anak-anak dulu ah!"
"Saaa...!!! Kamu di mana?" Panggilnya.

Raisa yang sedang sibuk menyiapkan kudapan dan minuman di dapur sontak menggerutu dan menjawab teriakan abangnya dengan teriakan yang tak kalah dahsyat dari Rian.

"Bentaaaarrr!!!!" Teriaknya.

"Anak gadis kok mulutnya lebar banget kalau teriak. Kemasukan lalat baru tahu rasa!" Ucap Papa yang tiba-tiba datang mengambil minum.

"Ya ampun Pa, namanya juga teriak. Kalau mingkem itu namanya bukan teriak." Ucap Raisa sambil mengelap gelas-gelas di hadapannya.

"Dasar anak jaman sekarang pinter banget ngelesnya."
"Kalian tuh kenapa sih enggak pernah akur? Kayak jaman Papa dan Om Dedi dulu, selalu ribut."
Papa mengenang masa kecilnya bersama Om Dedi, kembarannya.

"Oh iya ya, Papa dulu juga kembar. Gimana Pa ceritanya?" Raisa meletakkan lap dan serius mendengarkan cerita Papa, tak peduli ribuan kali Rian memanggilnya dari halaman depan.

"Jadi gini," Papa duduk di kursi. "Dulu waktu Papa dan Om Dedi seumuran kalian, masih SMP gini kalau enggak salah, suka banget main badminton. Si Om Dedi selalu curang mainnya, trus selalu pakai raket Papa yang masih bagus, padahal kita dibelikan raket sama tapi punya Om Dedi udah berkarat dan bengkok, soalnya sering dicuci di kali sama om Dedi." Kenang Papa.

"Dipakai buat nampol cicak di tembok kali Pa!" Raisa terkikik, "Sampai bisa bengkok gitu. Hahaha!"

"Ya begitulah Om Dedi. Trus ada lagi nih, dulu kan berangkat sekolah naik sepeda juga, padahal kita dibelikan sepeda sama tapi punya si om Dedi dieman-eman katanya, trus berangkat sekolah bocengan bareng Papa waktu itu. Eh pulangnya om Dedi malah naik sepeda orang lain, katanya mirip trus dibawa dikira sepedanya." Papa tertawa.

"Lalu Om Dedi dimarahin eyang kakung, disuruh mengembalikan sepedanya tapi malah nyuruh Papa. Om Dedi maksa Papa mengembalikan sepeda itu tapi Papa enggak mau, akhirnya kita malah adu mulut dan bertengkar." Lanjutnya.

"Ya ampun Om Dedi halu banget." Raisa ikut tertawa.

"Raisaaaaaa!!!" Teriakan Rian dari halaman depan mulai menggelegar lagi.

Bibir Raisa komat-kamit mengumpat Rian yang suka meneriakinya itu.
"Tuh kan Pa! Mas Rian yang mulai! Awas aja ya!" Ucap Raisa sambil membawa sapu ke depan.

"Ada-ada aja anak jaman sekarang." Papa menggelengkan-gelengkan kepalanya, heran dengan si kembarnya yang tak pernah akur.

☀️☀️☀️☀️

"Assalamualaikum!!!!" Suara Vivi, Ardi, dan Hendra yang baru saja datang.

Kedua tangan Vivi membawa plastik besar penuh dengan botol plastik bekas ukuran satu setengah liter. Hendra membawa sampah-sampah plastik bekas yang ia kumpulkan dari sekitar rumahnya dan sudah ia cuci, ia juga membawa kain perca dari rumah tetangganya yang memiliki koveksi, namanya Bu Galuh. Bu Galuh dengan sukarela memberika kain perca potongan kecil-kecil itu untuk Hendra pakai membuat ecobrick.

Diary SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang