Satu

6.9K 337 2
                                    

"Kau akan menikah dalam waktu tiga bulan ke depan," kata Sasori yang merupakan kakak laki-laki Sakura. Pria berambut merah itu menatap lekat pada mata emerald adik perempuannya.
Sakura membelalak kaget atas ungkapan sang kakak yang begitu tiba-tiba.

"Tidak usah terkejut begitu. Perjodohan kalian sudah di putus kan sejak umurmu tiga tahun." Lanjutnya.

Sakura mendengus. Hal gila macam apa yang membuat orang tuanya berpikir untuk menjodohkannya di usianya yang masih tiga tahun kala itu?

"Konyol," dengus Sakura kesal.

"Jangan merasa konyol. Memang seperti itu kesepakatannya," sambar Sasori.

"Kesepakatan apa? Apa yang ada di pikiran kalian sampai-sampai menggunakan ku untuk sebuah kesepakatan? Sekarang aku baru berusia sembilan belas tahun. Aku masih ingin kuliah dan bekerja untuk masa depanku."

"Justru ini masa depanmu. Kau harus menikah dengan laki-laki pilihan ibu."

"Jangan memaksaku." Geram Sakura. "Kenapa bukan kau saja yang di jodohkan? Kau juga anak ibu."
Sasori menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Sebuah pengontrolan emosi agar dia tidak meledak marah membentak adik perempuan yang sangat di sayangi nya.

"Sakura, ku mohon. Ibu sangat berharap kau menikah dengan laki-laki pilihannya sebelum dia meninggal." Sasori mendekat pada Sakura dan mencengkeram kedua bahunya. "Laki-laki itu anak dari sahabat baik ibu. Dia beberapa tahun lebih tua darimu."

Sungguh lucu sekali. Bukankah seharusnya Sakura berhak memilih pasangannya sendiri? Sakura benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ibunya. Bisa-bisa nya ibu menjodohkannya dengan seorang pria yang tidak dia kenal. Lagi pula, belum tentu pria itu mau menikah dengan Sakura.

Jika memang ingin menjodohkan, mengapa dari dulu tidak berusaha mendekatkan mereka berdua agar lebih terbiasa? Mengapa harus memberitahunya sekarang?

"Maafkan aku sakura," ucap Sasori dengan tatapan menyesal.

"Bolehkah aku menolak?"

"Kurasa tidak."

Sakura mendesah. Sejujurnya dia sangat merindukan sosok ibunya yang telah meninggal lima tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan pesawat.

Mebuki yang berencana menerima ajakan liburan bersama suaminya Kizashi, dengan berkunjung di rumah temannya yang tinggal di Jerman, mengalami kecelakaan tanpa menyisakan satu orang pun yang selamat. Begitu pula dengan sahabat baik Mebuki beserta suaminya.

Kecelakaan itu menyisakan luka yang mendalam bagi kedua keluarga. Karena dalam waktu yang bersamaan, anak-anak mereka telah menjadi yatim piatu. Keadaan itu pun yang memaksa Sasori bekerja keras untuk menghidupi Sakura yang masih sekolah.

Sakura beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan rumahnya. Membiarkan Sasori terpaku di tempatnya.

"Biarkan aku pergi. Aku perlu memikirkan banyak hal," kata Sakura ketika dia terhenti di ambang pintu rumah. Memperingatkan pada Sasori untuk tidak mengejarnya atau pun mengikutinya.

"Jangan berbuat macam-macam," kata Sasori memberi peringatan.

"Aku tidak akan macam-macam."

Sakura terus berjalan tanpa tujuan. Tanpa memperhatikan kemana kakinya membawanya pergi. Hingga tiba-tiba hujan turun mengguyur tubuhnya dan dia masih tidak perduli. Hatinya sakit dengan kenyataan yang harus dia terima. Ingin rasanya dia lari, dan menolak semuanya. Namun kemana dia harus berlari pergi? Dia tidak mungkin meninggalkan kakaknya hidup sendirian. Meski dengan menikah pun juga akan membuat Sakura meninggalkan Sasori.

Sakura harus menelan pil pahit yang sudah di siapkan untuknya. Haruskah dia menikah dengan orang asing? Padahal, sekali pun Sakura belum pernah berpacaran.

Rasanya baru kemarin Sakura bercanda dengan kedua sahabatnya Ino dan Hinata mengenai pria yang ingin dinikahinya. Sakura berharap suatu saat, akan ada seorang pria tampan, baik, dan perhatian yang memintanya untuk menjadi kekasihnya. Lalu mereka akan berpacaran dan berakhir pada sebuah pernikahan.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja impiannya sirna. Dan di usianya yang ke sembilan belas, dia harus menjadi seorang istri pria asing. Sungguh nasib yang mengenaskan.

Sakura mengehentikan langkahnya. Masih meneruskan isakannya yang teredam oleh hujan. Entah sudah berapa jauh dia berjalan, sudah berapa jam dia melangkah, dia tak tahu. Kakinya lemas dan gemetar. Rasa dingin menghujam di setiap permukaan kulitnya. Matanya tiba-tiba kabur, lalu perlahan gelap dan dia ambruk tak sadarkan diri.

☘️☘️☘️

Sakura memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya mengerjap memfokuskan pandangannya yang masih sedikit kabur. Kepalanya pusing, dan tubuhnya masih terasa lemas. Sakura mendudukkan tubuhnya lalu mengerjap sekali lagi. Matanya membola setelah sadar bahwa dia berada di sebuah kamar, di atas ranjang yang nyaman.

Betapa terkejutnya Sakura saat melihat tubuhnya tak mengenakan pakaian. Selimut yang menutupi tubuhnya merosot hingga tubuh bagian atasnya terekspos tanpa sehelai benang pun untuk menutupi dadanya. Seketika Sakura langsung menarik selimutnya, menggulung tubuhnya dengan selimut agar tertutup seluruhnya.

Matanya memandang sekeliling. Kamar itu begitu luas. Rapi, dan wangi. Sakura tersentak saat menemukan sosok pria berambut raven duduk dan bersandar di sofa yang menghadap lurus ke arahnya, menyilangkan tangannya di depan dada dan meluruskan kedua kakinya di atas meja. Pria itu hanya menggunakan boxer dan betelanjang dada.
Seketika Sakura mengeratkan selimutnya. Matanya mulai memanas dan dadanya berdebar hebat. Gelisah akan sosok pria yang dengan santai memperhatikannya dalam kondisi telanjang.

Apa yang terjadi semalam? Kenapa dia bersama pria ini di dalam sebuah kamar dalam keadaan telanjang? Mungkinkah semalam...?

Mata Sakura sudah mengalirkan air mata. Emerald nya berkilau terkena cahaya matahari yang menelusup di sela gorden jendela kamar. Sakura memandangi wajah pria itu yang masih memasang ekspresi datar dengan seringai mencurigakan.

"Kk-kamu ssiapp-pa?" Tanya sakura terbata-bata dengan suara bergetar. Dia dilanda ketakutan yang amat besar.

Pria itu beranjak dari tempatnya berjalan perlahan menuju Sakura yang semakin gemetar ketakutan. Mata hitam pria itu terus menyorot padanya yang tertunduk takut kalau-kalau pria itu melakukan sesuatu padanya.

"Ku mohon jangan mendekat," kata sakura dengan nada memohon. Namun pria itu terus berjalan mendekatinya. Sakura semakin gemetar dan jemarinya mencengkeram erat selimut yang susah payah dia usahakan untuk tetap menutupi tubuhnya.

"Maaf," kata pria itu. Dia berdiri di sisi ranjang masih melipat tangannya di depan dada. Wajahnya menunduk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Sakura. Mata onyx nya menatap emerald Sakura yang berkilau bagai permata hijau yang indah. Air mata sudah memenuhi pelupuk mata gadis itu dan mulai berderai berjatuhan dengan sendirinya.

Hati Sakura berdesir nyeri mendengar kata maaf dari laki-laki itu. Sakura bersumpah, apa pun yang akan di katakan oleh pria itu, dia tidak ingin mendengarnya. Sakura mengutuk dirinya sendiri dalam hati atas kebodohannya. Bisa-bisanya dia berada di sebuah kamar bersama seorang pria asing dalam keadaan telanjang. Jika Sasori tahu, dia akan membunuhnya saat itu juga.

Si pria membelai surai merah muda Sakura.

"Maaf sudah..."

"Jangan katakan!" Teriak Sakura.

To Be Continue..

soulmate [SasuSaku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang