Part 18

43 3 0
                                    

Lagi-lagi aku terlambat. Terpaksa, aku berlari menuju gerbang sekolah setelah menitipkan motorku di rumah warga yang berada tepat di sebrang sekolah. Kalau aku bawa motor masuk bisa-bisa aku disuruh dorong motor keliling lapangan yang lumayan luas ditambah balik ke parkiran jika ada guru yang sedang ingin menyiksa.

Mendapati tidak ada satpam yang jaga, aku membuka gerbang dengan hati-hati. Satpam di sekolahku jarang ada di jam masuk seperti ini. Biasanya justru ada di pos satpam ketika jam pulang. Soalnya kalau jam pulang biasanya pada liar.

Kelasku lumayan jauh dari gerbang. Apalagi berada di lantai 2. Guru yang ngajar jam pertama hobi ngehukum orang pula. Bukan killer. Orangnya ramah, tapi suka hukum orang aja. Nggak tau deh motivasinya apaan.

"Kak Ara!" Panggil Marva, adik kelasku yang ku kenal dari OSIS. Laki-laki yang memiliki senyum manis dan tatapan tegas itu tengah berdiri di tepi lapangan dengan seragam olahraga khas STM.

"Terlambat, Kak?" Tanyanya setelah aku menoleh ke arah nya yang hanya ku jawab dengan anggukan.

"Eh, Kak!" Panggilnya lagi ketika aku mau melangkah.

"Apa lagi, Va?" Nada bicaraku kali ini sudah tidak terdengar bersahabat.

Sebenarnya Marva ini orangnya baik, tegas, kalau diajak ngobrol nggak bikin bosen. Tapi kalau lagi usil sebelas dua belas sama Zidan. Bikin naik darah.

"Salaman dulu dong! Kan kalau ketemu harus nyapa sama salaman."

Sial, aku tidak lagi menyukai aturan itu di saat seperti ini. Aku dalam detik-detik akan dihukum dan Marva malah menahan ku dengan alibi peraturan yang entah siapa dan sejak kapan diadakan itu.

Aku menghela nafas berat. Dengan tidak ikhlas aku menerima uluran tangan Marva dan segera berlalu. Masih bisa ku tangkap jelas tawa Marva yang seolah puas mengusili ku. Benar-benar adik kelas biadab!

Mengabaikan Marva, aku berlari menaiki tangga di sebelah kanan lapangan. Jangan kira kelasku sudah sampai karena aku masih harus berlari melewati sekitar 10 kelas yang merupakan kelas XI dan kelasku berada paling ujung.

Begitu sampai di depan pintu kelas, pintu yang ada di hadapanku itu tertutup rapat. Pikiranku sudah tidak lagi bisa berharap kemungkinan yang baik. Kalau nggak ada guru biasanya juga udah pada keluar kelas.

BRAKKK

Ketika aku mulai menyiapkan diri untuk dihukum, terdengar suara keributan dari dalam kelas. Dengan perlahan, aku membuka pintu kelas dan yang ku dapati.....

Beberapa temanku ada yang bermain futsal di bagian belakang kelas dengan bola plastik yang entah siapa yang membawa nya. Beberapa ada yang main game dengan ponsel masing-masing di barisan paling kanan. Teman-teman perempuanku juga tengah serius dengan ponselnya. Tidak ada guru yang mengajar di kelas yang sangat berantakan karena bangku-bangkunya berpindah tempat ini. Ekspektasiku benar-benar hancur.

Aku berjalan santai menuju bangkuku yang berada tepat di depan meja guru. Bangku di kelasku ini tersisa cukup banyak karena penghuni kelas ini selisih hampir setengahnya dari kelas lain sedangkan setiap kelas disediakan bangku sama. Bangkuku ini seperti alternatif terakhir yang akan dipilih karena siapapun yang menempatinya akan mendapat pengawasan penuh dari guru yang mengajar. Akan sangat menyulitkan kalau mau tidur atau bermain ponsel ketika pelajaran berlangsung.

"Eh, Ra? Baru datang? Kirain nggak masuk." Tanya Asyifa yang merupakan chairmate-ku.

Emang sih, kali ini aku telatnya kebangetan. Biasanya sekitar 5 menit setelah bel. Kali ini aku telat sekitar 15 sampai 20 menit. Hebat bukan? Hampir setengah jam dari bel masuk. Untung saja tidak ada guru yang jaga gerbang. Kalau satpam sih masih bisa diatasi, tapi kalau guru udah nggak berani.

"Iya...." jawabku dengan nafas yang belum teratur karena habis lari-larian.

"Kamu habis lari?"

"Iya. Aku kira udah ada guru."

"Tapi nggak dihukum kan?"

"Enggak."

"Kok bisa telat lagi sih?"

"Udah hobi kayaknya."

Aku tuh telat bukan karena bangun kesiangan atau apalah. Cuma yah karena kelewat santai padahal dari subuh udah bangun jadinya sampai sekolah telat. Tapi gini-gini aku belum pernah dihukum gara-gara telat. Paling cuma disuruh hafalan surat pendek atau apalah kalau guru yang ngajar religius. Kalau enggak yah, cuma ditanya alasan terlambat aja. Tapi nggak mungkin kan aku jawab karena hidupku terlalu santuy? Jadilah aku cari alibi lain. Bohong dikit daripada nilai turun.

"Pak Lukman nggak dateng?" Tanya ku pada Asyifa.

"Enggak. Free class kita."

Seharusnya saat ini sedang berlangsung pelajaran agama. Hukumannya nggak kira-kira kalau tadi Pak Lukman selaku guru agama hadir. Paling ringan baca surat pendek minimal 20 surat. Belum lagi ditambah sindiran sadis yang menjadi sambutan begitu melewati pintu kelas.

Sebenarnya guruku ini orangnya humoris kalau di luar kelas. Kadang juga ikutan nyaut waktu anak OSIS lagi ngumpul santai habis ada acara gitu. Tapi kalau di dalam kelas nggak tau aja suasananya mencekam. Tegang banget. Sekalipun dikasih humor ala bapak-bapak meskipun guruku itu belum tua-tua banget, yang ada malah garing. Pokoknya kalau di kelas itu lihat ekspresinya aja udah tegang, belum lagi kalau udah disindir, oh lebih tepatnya dihujat.

Enggak, bukan gurunya yang aneh. Muridnya aja yang banyak tingkah. Aku juga sadar kok, aku sendiri juga suka cari masalah. Nggak jarang aku izin ke toilet nggak balik sampai jam pelajaran habis malah tiduran di ruang OSIS.

Tanpa aku sadari, tiba-tiba bola plastik yang sedari tadi dimainkan anak cowok di belakang mendarat di kepalaku. Entah gimana nendangnya bisa sekencang itu padahal tempat mereka main bisa dibilang sempit.

Aku berdiri dari tempat ku duduk. Menatap teman-temanku satu per satu. Beberapa dari mereka seolah tengah berusaha menebak apa yang akan ku lakukan. Yang tidak terlibat berusaha untuk tidak ikut campur dan seolah menulikan telinganya.

"KALIAN PUNYA OTAK NGGAK SIH?! KALAU EMANG MAU MAIN FUTSAL KELUAR SANA! TURUN KE LAPANGAN! SEHARI AJA NGGAK BIKIN RUSUH NGGAK BISA?! MAKIN GEDE BUKANNYA MAKIN DEWASA KELAKUANNYA MALAH MAKIN RUSAK!"

"Jangan marah-marah dong, Ra, nanti cantiknya luntur!" Rangga dengan gaya tengilnya masih saja menunjukkan jiwa playboy-nya.

"NGGAK USAH BANYAK NGOMONG KALAU NGGAK MAU NGERASAIN SARAPAN SEPATU!"

"Yaudah, maaf, Ra! Tolong balikin bolanya dong!" Sahut Putra yang disusul nada memerintah di akhir.

Mendengar ucapan Putra, aku pun menggeledah isi tasku. Begitu aku mendapati sesuatu yang ku cari, segera aku mengeluarkannya dari dalam tas. Sebuah cutter warna kuning yang sebenarnya aku siapkan untuk memotong kertas, namun selalu beralih fungsi karena aku juga selalu membawa gunting kecil.

Aku pun mengambil bola yang kini tergeletak di lantai. Dan bisa ditebak apa yang aku lakukan terhadap benda bulat itu. Merusaknya dengan menggoreskan cutter milikku.

"Eh? Ra! Jangan dirusak dong!"

Entah siapa yang berteriak meminta ku berhenti. Aku tidak peduli. Aku dan teman-teman cewekku sudah berkali-kali memperingatkan mereka untuk menghentikan kebiasaan mereka di jam kosong seperti ini. Dan sekarang, ketika diperingatkan dengan kata-kata tetap tidak bisa, saatnya bertindak.

Setelah bola plastik di tanganku tak lagi berbentuk, aku melemparkan bola itu tepat ke arah Putra. Tindakanku mengundang berbagai respon yang berbeda. Ada yang mendukung tindakanku, ada pula yang mengeluh tidak terima. Tapi protes mereka seketika lenyap ketika aku menatap mereka datar tanpa mengucap sepatah kata pun.

Perjalanan Cewek STMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang