Mengalah

2.7K 165 46
                                    

Bahagiamu lebih berharga daripada luka dalam kalbuku.

~Khumaira~

Sudah dua hari semenjak kejadian di taman rumah sakit, Hana dan Irsyad tak banyak berbicara. Irsyad lebih banyak diam, tak seperti biasanya. Makanan yang Hana masak pun tak lah ia sentuh. Irsyad juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit sekaligus menemani Nayla yang sedang masa pemulihan.

Hana sendiri semakin bingung dengan kelakuan suaminya yang seperti sudah tak menganggap Hana ada. Rumah yang biasanya hangat dengan canda tawa mereka, kini menjadi dingin bak kutub utara. Setiap kali Hana ingin mengajak Irsyad berbicara, berbagai macam penolakan lah yang ia terima dengan segala alasan.

"Mas, siang ini Hana mau keluar ya" ujar Hana di sela sela sedang memperhatikan Irsyad yang tengah merapikan pakaian kerjanya

"Dengan Arsyid? Terserah kamu, itu bukan urusan saya. Dengan siapa pun kamu keluar saya tidak akan melarang"

Hana mengernyitkan dahinya. Perkataan Irsyad sungguh menyakiti hati Hana. Belakangan ini Irsyad malah bersikap seolah tak peduli pada Hana.

"Hana itu cuma mau bertemu sama--"

"Saya akan pulang malam. Kamu tak perlu menunggu saya pulang, kamu juga tak perlu menyiapkan makan malam untuk saya. Satu lagi, saya tidak akan melarang kamu untuk pergi dengan siapa pun. Karna saya tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan ..."

"Assalamu'alaikum"

Irsyad kini berlalu begitu saja meninggalkan Hana seorang diri di dalam kamar. Menyisakan perkataan yang lagi-lagi membuat Hana menitikan air mata. Semarah itukah Irsyad pada Hana hingga ia tak pernah mau mendengarkan penjelasan Hana?

Hana kini memperhatikan Irsyad yang mulai memasuki mobil dari balkon kamarnya. Ia kini mulai berlalu meninggalkan Hana sendiri di rumah. Meninggalkan Hana dengan kata-kata yang tajam hingga membuatnya hatinya dirundung  pilu.
Bahkan, Hana mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Ibarat kata, sakit tapi tidak berdarah.

Ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas nakas ia ambil dengan segera, dan mulai menghubungi sahabatnya yang telah sampai di Jakarta. Siapa lagi jika bukan Aisyah.

Jarinya dengan lihai menari di atas keyboard ponselnya mengetikkan nama Aisyah. Ia kini menghubungi Aisyah. Tak butuh waktu lama wanita di sebrang sana kini telah terhubung dengan Hana.

"Assalamu'alaikum, Syah"

"Wa'alaikumsalam, Han. Ada apa? Tumben telepon"

Hana berjalan menuju sofa kamarnya lalu kini duduk dengan santai. Meredakan segala pilu, dan menyingkirkan rasa sakit dalam hati demi buah hatinya.

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu"

"Apa?"

"Mungkin ini cukup panjang. Bisa gak kita ketemuan?"

"Boleh, di tempat biasa ya"

"Oke"

Teleponnya kini mereka akhiri dengan salam. Irsyad salah besar, bukan Arsyid yang ingin Hana temui, namun Aisyah, sahabatnya. Rupanya Irsyad terlalu cemburu pada Hana.

Jam baru menunjukkan pukul 08.00, sedangkan kajian dimulai ba'da dzuhur, otomatis masih ada banyak waktu untuknya. Ia belum sempat merapikan rumah. Biasanya, Irsyad selalu membantu Hana setiap pagi, namun tidak dengan 2 pagi ini.

Sudah dua hari pula Irsyad tak membangunkan Hana untuk melaksanakan tahajjud, tak ingin disalimi oleh Hana, dan tak pula mengecup kening Hana dikala pergi dan pulang kerja. Bahkan, Irsyad pun acuh dikala Hana mual-mual. Tidak. Sebenarnya Irsyad khawatir, namun sebut saja ia gengsi untuk sekedar bertanya 'kenapa' pada Hana.

KhumairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang