"Oke, sekarang gue ngerti. Intinya, kalian cuma mikirin perasaan kalian berdua aja. Kalian sama sekali nggak mikirin tentang perasaan gue yang udah kalian khianatin." Asahy tersenyum sinis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lagian, buat apa kalian mesti pusing-pusing mikirin perasaan gue, 'kan? Emangnya gue siapa? Gue ini 'kan cuma sebatas temen kalian aja. Kalau gitu, gue ucapin selamet buat kalian berdua, ya. Yah, walaupun ini telat banget, sih." Gadis itu kemudian tertawa hambar. Merasa miris sekali menyadari keadaannya saat ini.
"Lo salah paham, Sa! Sama sekali nggak kayak gitu!" Arkhai kembali membantah.
"Udahlah! Gue duluan. Gue nggak mau jadi nyamuk pengganggu buat kalian. Selamet nikmatin waktu pacaran kalian!" ucap Asahy sambil berlalu meninggalkan kedua sahabatnya.
Asahy memutuskan untuk pergi dari sana secepatnya. Kepalanya sudah bertambah pusing. Asahy yakin, sebentar lagi cairan kental berwarna merah yang berbau amis akan keluar dari hidungnya. Karena itu ia harus segera ke toilet.
"Sa, tunggu dulu, Sa!" Aira memanggil. Namun, ia abaikan. Asahy hanya mempercepat langkahnya.
Aira terduduk lemas di samping Arkhai. "Gimana ini, Arkhai? Sahy keliatannya marah banget sama kita," ucapnya dengan mata yang telah berkaca-kaca.
"Jangan nangis. Untuk sekarang lebih baik kita biarin Sahy tenang dulu. Nanti kalau dia udah tenang, kita coba jelasin lagi ke dia pelan-pelan," ucap Arkhai sambil mengelus rambut kekasihnya, mencoba menenangkan.
Aira mendongak, menatap Arkhai sesaat dan kemudian mengangguk.
Sementara itu, Asahy berjalan tergesa-gesa menuju toilet. Belum lagi langkahnya sampai ke toilet, cairan hangat berbau amis dengan warna merah itu sudah terasa mengalir perlahan di hidungnya. Kontan saja Asahy menutup hidung dan mulutnya menggunakan telapak tangan dan semakin mempercepat langkahnya. Bahkan ia sudah berlari sekarang.
Asahy masuk ke toilet dan langsung menuju wastafel. Membasuh hidungnya yang masih terus mengeluarkan darah. Ia merogoh saku rok seragam sekolahnya. Mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Panggilan tersambung. Dan pada nada dering ke tiga, panggilan teleponnya dijawab.
"Iya, halo, Sa?"
"Kak, Kakak lagi di mana? Sibuk nggak?" tanya Asahy ketika dari seberang sana terdengar sapaan seorang pria.
"Nggak, Sa. Kebetulan hari ini Kakak lagi free. Kenapa?" jawab seseorang yang ditelepon Asahy.
"Aku lagi nggak enak badan. Kakak bisa jemput aku ke sekolah?" pinta Asahy.
"Oh, oke. Kakak berangkat sekarang," jawab pria itu, terdengar menyanggupi.
"Iya. Aku tunggu di depan sekolah, ya? Makasih, Kak." Asahy menutup panggilan teleponnya. Bergegas keluar toilet setelah membasuh hidungnya untuk yang terakhir kali. Walaupun darah masih belum berhenti mengalir dari hidungnya, ia hanya menutupinya dengan tissue yang selalu gadis itu bawa di saku baju seragamnya.
Bell tanda jam istirahat berakhir baru saja berbunyi. Asahy terus saja melangkah menuju gerbang sekolah. Ia terlalu malas untuk masuk ke kelas. Rasanya ia masih enggan melihat kedua sahabatnya yang sudah tega mengkhianatinya itu.
Asahy meminta kepada Pak Satpam untuk membukakannya pintu gerbang yang terkunci. Asahy memberikan alasan kalau ia sedang tidak enak badan dan ingin pergi berobat. Pak Satpam langsung percaya begitu ia melihat tissue yang Asahy tekankan pada lubang hidungnya yang berwarna merah karena darah. Satpam sekolah itu membukakan kunci pintu gerbang untuk Asahy. Asahy keluar setelah mengucapkan kata 'terima kasih' pada sang Satpam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Asahy (Sudah Terbit Cetak & E-book)
Teen FictionSemua orang yang mengenalku, akan menganggap aku sebagai gadis yang jahat dan egois. Semua itu karena aku telah merebut kekasih dari sahabatku sendiri untuk kebahagiaanku. Tapi, apakah aku salah bila aku bersikap egois dengan menginginkan kebahagian...