"Astaga, Sahy! Kamu dari mana aja? Kamu bikin Mami khawatir setengah mati!" Riri langsung memberondong Asahy begitu melihatnya masuk ke dalam kamar rawatnya. "Dan kenapa muka kamu jadi tambah pucet gini? Kamu kenapa?" sambungnya khawatir.
"Tolong Ibu tenang dulu. Asahy saat ini hanya kelelahan. Setelah istirahat, dia akan merasa lebih baik," ucap Dokter Alan sambil terus membantu Asahy berjalan menuju ranjang.
Dokter Alan membantu gadis itu naik ke ranjang perawatan, dan langsung memeriksanya setelah Asahy berbaring. "Kamu istirahat aja. Jangan pergi ke mana-mana lagi. Awas aja kalau begitu lagi," peringatnya sambil menyelimuti sampai sebatas dada. "Saya ke ruangan saya dulu. Kalau ada apa-apa, langsung kasih tau saya," pesannya pada Riri.
Dokter Alan keluar dari kamar rawat Asahy setelah Riri mengiyakan pesannya. Riri menghampiri Asahy, merapikan selimutnya, dan kemudian duduk pada sebuah kursi yang memang tersedia di samping ranjangnya. "Kamu jangan bikin Mami khawatir kayak tadi lagi, Sayang. Mami takut banget terjadi apa-apa sama kamu," pinta Riri dengan tatapan teduhnya.
"Maaf, Mi," ucap Asahy, merasa bersalah.
Riri mengelus puncak kepala anak bungsunya itu sambil tersenyum hangat. "Nggak apa-apa. Lain kali jangan diulangi lagi, ya?"
Asahy tersenyum sedih dan mengangguk kaku. Maafin Adek, Mi. Adek nggak bisa pegang janji Adek yang nggak akan bikin Mami khawatir lagi. Kedepannya Adek pasti bakalan sering bikin Mami sama yang lainnya khawatir lagi. Tanpa terasa air matanya mengalir.
"Loh? Kamu kenapa nangis? Apa ada yang sakit? Bagian mana yang sakit? Kasih tau Mami." Riri terlihat cemas dan panik. "Oh, tunggu sebentar. Biar Mami panggil Dokter Alan dulu," tambahnya.
Riri sudah berniat bangkit dari duduknya. Namun Asahy cepat-cepat menggenggam tangan ibunya itu. Membuat pergerakan Riri terhenti. Asahy tersenyum pada Riri untuk menghilangkan kepanikannya. "Adek nggak apa-apa, Mi. Adek cuma sedih karena udah bikin Mami sama yang lainnya cemas. Maafin Adek." Ia terisak pilu.
Riri memeluk Asahy erat. "Udah, nggak apa-apa," ucap Riri sambil mengelus kepala anaknya itu. "Udah, jangan nangis lagi. Sekarang kamu istirahat. Mami mau beli makanan dulu." Riri melepaskan pelukannya.
"Oh, iya. Pasti Mami laper, 'kan? Dari tadi pasti belum makan karena panik nyariin aku," ucap Asahy, kembali merasa bersalah.
"Nggak usah ngerasa bersalah kayak gitu. Semua Ibu pasti panik kalau ngalamin hal yang kayak tadi. Udah, ya. Mami pergi dulu. Ntar biar Mami minta Arkhai untuk nemenin kamu di sini." Riri mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Baru saja Asahy ingin mencegah ibunya itu agar tidak menyuruh Arkhai menemaninya, namun ibunya itu telah hilang di balik pintu.
Asahy menghela napas pelan. Biarlah.. Gue cuma perlu tidur atau pura-pura tidur aja kalo Arkhai masuk ntar, pikir Asahy.
Baru saja Asahy berpikir seperti itu, pintu kamar rawatnya dibuka seseorang. Asahy langsung menutup matanya dan berpura-pura tidur.
Langkah kaki terdengar mendekat ke ranjang Asahy. Setelah itu bunyi berderit akibat pergesekan antara kursi dan lantai terdengar.
Sunyi.
Tidak ada suara apa pun lagi yang terdengar. Hanya suara napas saja yang mengisi ruang perawatan yang cukup luas itu. Asahy masih mempertahankan posisinya yang berpura-pura tidur. Hingga sebuah suara yang keluar dari mulut orang yang sekarang sedang duduk di kursi yang tadi Riri duduki membuat jantungnya tersentak.
"Gue tau lo nggak tidur," ucapnya. Asahy memilih diam saja. Tidak ingin melayani pembicaraannya. "Gue mau ngebatalin persetujuan gue untuk nikah sama lo. Sekarang, lo udah nggak bisa ngancem gue. Karena racun ular yang lo pegang semalem, udah gue buang," ia kembali berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Asahy (Sudah Terbit Cetak & E-book)
Teen FictionSemua orang yang mengenalku, akan menganggap aku sebagai gadis yang jahat dan egois. Semua itu karena aku telah merebut kekasih dari sahabatku sendiri untuk kebahagiaanku. Tapi, apakah aku salah bila aku bersikap egois dengan menginginkan kebahagian...