Bab 14

551 28 2
                                    

"Ya udah. Sekarang kamu istirahat biar cepet sembuh. Nggak lucu 'kan, kalau pengantinnya nanti keliatan pucet gara-gara sakit?" Rani menggoda Asahy. Asahy hanya tersenyum menanggapinya. "Kami pamit pulang dulu," lanjutnya, berpamitan.

Asahy mengangguk. "Iya, Tante. Makasih, ya? Hati-hati di jalan," balasnya sambil menyalimi kedua sahabat Riri itu.

Rani, dan Dewi keluar dari kamar rawat Asahy. Riri mengantarkan mereka sampai depan.

"Tante, apa kabarnya? Sehat, 'kan? Om sehat juga, 'kan?" tanya Asahy, berbasa-basi pada Khaira, ibunya Arkhai. "Oh, iya. Ziya nggak ikut, Tan? Aku kangen banget sama dia," lanjutnya, bertanya tentang adik perempuan Arkhai yang bernama Nur Inara Naziya. Umurnya masih 5 tahun. Tetapi, Ziya, begitu nama panggilannya, adalah anak yang cerdas, cantik, imut, dan menggemaskan.

Dulu setiap Asahy ke rumah Arkhai, gadis itu akan mencari keberadaan anak itu terlebih dulu. Sampai-sampai Arkhai pernah melarang Asahy untuk datang ke rumahnya kalau gadis itu hanya ingin mengganggu adiknya itu. Ya, itu karena Asahy yang sering mencubiti pipi Ziya sampai anak itu merajuk dan kadang menangis. Itu karena Asahy yang memang dasarnya menyukai anak-anak, semakin gemas ketika melihat pipi Ziya yang putih dan tembam serta mirip seperti bakpao itu. Bagi Asahy, itu terlihat seperti memanggilnya untuk mencubitnya.

"Tante sama Om sehat-sehat. Ziya masih sekolah. Kalau kamu kangen, nanti kamu bisa ketemu sama dia kalau kamu udah sembuh dan udah pulang," jawab Khaira lembut. "Tapi, Ziyanya mau nggak ya, ketemu sama kamu? Kamu 'kan selalu jahil sama dia," lanjutnya, menggoda Asahy.

"Nggak mungkin Ziya nggak mau ketemu sama kakaknya yang cantik, baik hati, dan imut-imut ini, Tan! Pasti dia kangen juga sama aku," jawab Asahy sambil terkekeh.

Khaira ikut terkekeh. "Narsis kamu!" seru Khaira. Asahy semakin terkekeh mendengarnya.

Mereka memang cukup akrab. Bahkan bisa dikatakan sangat akrab. Terkadang Asahy juga suka menceritakan rahasianya pada Khaira. Padahal pada Riri, ia tergolong sulit menceritakan rahasianya.

"Mi, adek mau pulang," kata Asahy ketika Riri sudah kembali masuk ke kamar rawatnya.

Kening Riri berkerut. "Mau pulang?" ulangnya. Asahy mengangguk. "Tapi, kamu masih belum sembuh, Sayang. Tunggu kamu bener-bener sehat dulu, ya? Mami takut luka di dada kamu infeksi lagi," lanjutnya, membujuk.

"Adek udah nggak apa-apa, Mi! Adek kangen sama rumah, kangen sama kamar Adek. Paling kangen sama Ziya," ujar Asahy beralasan. "Lagian, Adek ada janji sama orang," tambahnya.

"Janji? Janji sama siapa?" tanya Riri. "Kalau Ziya 'kan nanti bisa dibawa ke sini sama Tante Khaira. Nggak mesti kamu yang pulang," protesnya kemudian.

"Adek ada janji sama temen, Mi," jawab Asahy, masih meninggalkan rasa penasaran pada Riri. Terbukti dengan kerutan di kening Riri yang tidak kunjung menghilang sedari tadi.

"Apa nggak bisa, janji kamu itu dibatalin aja? Minimal sampe kamu bener-bener sembuh," Riri kembali membujuk.

"Nggak bisa, Mi! Ini masalah penting. Adek nggak bisa ngebatalinnya gitu aja," tolak Asahy lagi.

"Emang janji apaan, sih? Sampe kamu ngotot gini minta pulangnya?" tanya Riri heran.

"Rahasia!" jawab Asahy, sok misterius.

"Ya udah, kamu nggak boleh pulang kalau gitu! Kamu harus tetep di sini sampe kamu bener-bener sembuh. Titik!" Riri memberi keputusannya.

"Yaah ..., kok gitu? Mami jahat, ah!" Asahy berbaring dan memiringkan tubuhnya membelakangi Riri. "Oke, kalau Mami nggak ngizinin Adek pulang, nggak apa-apa. Tapi, nanti kalau Adek kabur, jangan salahin Adek, ya?" ucap Asahy dengan kalimat yang bernada mengancam.

"Jangan macem-macem kamu, Dek! Emang kamu mau kabur ke mana?" Sepertinya Riri mulai terbakar emosi menghadapi anak bungsunya itu.

"Ke mana aja! Yang penting nggak di rumah sakit terus," jawab Asahy cuek. "Mami 'kan tau, Adek nggak suka rumah sakit!"

Helaan napas lelah Riri terdengar. "Ya udah. Mami bilang sama Dokter Alan dulu."

Asahy tidak membalas ucapan Riri. Gadis itu dapat mendengar langkah kaki yang berjalan menjauh, yang ia prediksikan adalah langkah Riri. Selanjutnya hanya ada keheningan. Khaira yang duduk di sisi ranjang Asahy tidak mengeluarkan suara. Apalagi Arkhai. Sepertinya laki-laki itu tidak mempunyai keinginan untuk mengajak Asahy bicara.

Tidak lama kemudian, langkah kaki yang masuk ke dalam kamar rawat Asahy terdengar. "Mami udah tanya ke Dokter Alan, dan kamu dibolehin pulang." Itu suara Riri.

Asahy langsung membalikkan tubuh dengan mata yang berbinar menatap Riri. "Beneran, Mi?" Riri mengangguk menjawab pertanyaannya.

Asahy bangkit dan duduk dengan cepat. "Aww!" ia mengaduh dan memegang dadanya yang berdenyut. Mungkin karena pergerakannya yang terburu-buru.

"Kenapa, Dek?"

"Kenapa, Sa?"

Riri dan Khaira bertanya bersamaan dengan wajah yang terlihat khawatir. Asahy menggeleng dan tersenyum. Tidak ingin jika izin pulangnya dibatalkan. "Nggak apa-apa. Cuma kontak dikit gara-gara tadi geraknya buru-buru."

"Kenapa kamu seceroboh itu?" Asahy menoleh mendengar suara itu dan mendapati Dokter Alan yang tengah berdiri menatapnya dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana.

Asahy memutar bola matanya. "Ya, namanya juga seneng bisa pulang ke rumah. Aku jadi tenang karena nggak harus ngeliat muka Dokter lagi," jawabnya kemudian menjulurkan lidahnya.

"Yakin kamu? Saya yakin, sebentar lagi kamu pasti akan datang lagi ke rumah sakit ini," kata Dokter Alan sambil tersenyum mengejek.

"Nggak akan! Aku nggak akan mau dirawat di rumah sakit ini lagi!" bantah Asahy tegas.

"Loh? Kenapa? Ini 'kan rumah sakit calon mertua kamu?" tanya Dokter Alan yang Asahy sadari benar dari nada bicaranya, Dokter itu tengah mengejek dan menyindirnya.

"Karena di sini ada Dokter yang nyebelin!" ucap Asahy dengan kembali menjulurkan lidahnya.

"Oh, gitu, ya? Kalau gitu, kamu nggak jadi dibolehin pulang!" ucap Dokter Alan yang membuat Asahy terbelalak.

"Ih, apaan, deh? Dokter itu nggak boleh plin-plan, tau! Masa izin pulang yang udah dikasih, dibatalin lagi?" protesnya tidak suka.

"Ya itu terserah saya. Kamu pasien saya, jadi yang berhak memutuskan kamu boleh pulang atau nggaknya, itu saya," kata Dokter Alan, menyombongkan diri.

"Terserah! Mau dibolehin pulang atau nggak, aku tetep mau pulang! Kalau nggak dibolehin pulang, aku tinggal kabur aja, sih. Repot amat!" balas Asahy cuek.

"Kamu nggak akan saya biarkan kabur lagi. Saya akan ngawasin kamu," ujar Dokter Alan.

"Emang Dokter mau jagain aku 24 jam? Nggak mungkin, 'kan? Emang kerjaan Dokter cuma mantau aku terus? Nggak ada kerjaan lain? Kalau kayak gitu, itu namanya Dokter makan gaji buta, dong," cecar Asahy.

"Sahy! Kamu ngomongnya kok nggak sopan gitu sama Dokter Alan?" tanya Riri, menginterupsi perdebatan kecil antara Asahy dan Dokter Alan.

"Nggak apa-apa, Mbak. Mereka udah biasa kayak gitu setiap ketemu. Selalu ada aja yang didebatin," Khaira yang menjawab pertanyaan Riri sambil tersenyum lembut.

Asahy pernah mendengar dari Arkhai yang mengatakan, jika Arkan, -ayahnya Arkhai-, telah cinta mati pada Khaira yang usia keduanya terpaut jauh. Itu karena Khaira adalah wanita yang sangat lembut dan baik hati. Keibuannya sangat terpancar jelas dari sikap dan sifatnya.

Asahy turun dari ranjang dan mengambil tas berisi pakaian yang baru Riri bawa tadi pagi. Mencari pakaiannya yang mungkin juga Riri bawakan untuknya. Dan gadis itu tersenyum senang karena Riri memang membawakannya sebuah dress selutut berwarna biru. Asahy langsung mengambilnya dan membawanya ke toilet. Kemudian mengganti seragam rumah sakit yang ia kenakan dengan dress yang Riri bawa.






***********






Sekian dulu. Jangan lupa vote dan komennya. Jumpa lagi di part selanjutnya 👋

Riau,
Publish awal,
10-7-2020
Publish ulang,
14-2-2022

Salam Cinta,
Nursindahliana 💝

Asa Asahy (Sudah Terbit Cetak & E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang