Bab 20

1.4K 61 3
                                    

Asahy membuka mata. Mengerjap dan berdesis pelan ketika merasakan rasa berdenyut di keningnya. Gadis itu menyentuh keningnya yang sudah tertutup perban.

Ia melihat sekeliling. Hari sudah senja. Tidak ada siapa pun di ruangan itu. Dirinya lantas teringat Aira. Ia buru-buru turun dari ranjang rumah sakit yang ia tempati dan berlari keluar. Sesampainya di luar kamar rawatnya, ia berpapasan dengan Devni.

"Eh, eh, eh. Kamu mau ke mana?" tanya Devni.

"Kak, di mana kamar rawat Aira? Aku mau ngeliat dia," tanya Asahy to the point.

"Mending kamu nggak usah ke sana, deh," ucap Devni dengan tatapan sedih.

Asahy mengernyit tidak mengerti. "Kenapa? Apa dia yang ngelarang aku? Atau, apa Arkhai yang ngelarang?" cecarnya. "Tapi, aku pengen tau keadaannya," lanjutnya.

"Biar Kakak kasih tau aja. Jadi, kamu nggak perlu ke sana."

"Apa?"

"Aira belum siuman. Lukanya nggak terlalu parah sampe bisa bikin koma atau sekarat, kok." Devni tersenyum canggung. Seperti sedang menutupi sesuatu.

"Cuma itu aja?" Devni mengangguk. "Gimana sama matanya? Tadi Dokter bilang bagian mata Aira lukanya cukup serius."

"Itu ...." Devni tampak ragu ingin mengatakannya pada Asahy.

"Kenapa, Kak? Gimana keadaan mata Aira?" cecar gadis itu tidak sabar. Tiba-tiba ia merasa takut. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada mata Aira.

"Kornea mata Aira dua-duanya rusak karena kena serpihan pecahan kaca mobil yang nabrak dia," jawab Devni dengan raut wajah sedih.

"A-apa?" Asahy kehilangan kata-kata.

Mendengar itu, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya mengalir dengan sendirinya. Tangannya menggapai dinding rumah sakit untuk menopang tubuhnya yang mendadak seperti kehilangan tenaga. Gadis itu lantas mendongak menatap Devni. "Kak, anterin aku ke sana," ucapnya dengan tatapan penuh harap.

"Oke," tanpa memprotes, Devni langsung menyetujui permintaan Asahy. Devni menuntun Asahy ke kamar rawat Aira.

Sesampainya di depan kamar rawat yang menurut perkataan Devni adalah kamar rawat Aira, Asahy langsung membuka pintu yang ada di hadapannya. Perhatian orang-orang yang ada di dalam kamar rawat Aira langsung tertuju padanya. Terutama Arkhai yang menatap gadis itu dengan pandangan tidak sukanya. Ia langsung bangkit dan menghampiri Asahy. Menariknya menjauh dari pintu.

"Ngapain lo ke sini? Masih belum puas lo? Lo liat sekarang akibat perbuatan lo! Aira nggak bakalan bisa ngeliat lagi! Itu semua gara-gara lo! Buat apa lo masih di sini? Mending lo pergi dan jangan tunjukin muka lo lagi di depan muka gue!" Arkhai mencercanya habis-habisan. Meluapkan amarahnya pada Asahy.

"Arkhai, aku tau Aira kayak gini karena dia mau nyelametin aku. Tapi, aku nggak minta itu! Bukan mauku dia jadi kayak gini." Tanpa Asahy minta air matanya mengalir. Ia sungguh sangat sedih dan sakit dengan semua perkataan Arkhai yang menyudutkannya.

Lebih baik aku yang ngalamin itu semua. Untuk apa aku selamat kalau akhirnya malah ngorbanin orang lain? lirih Asahy di dalam hati.

"Ada apa ini ribut-ribut?" suami dari Vanya, Bagas, menginterupsi perdebatan Asahy dan Arkhai. "Sahy, kamu mau ngeliat Aira, 'kan? Ayo, masuk. Jangan berkelahi di sini!" Asahy merasa berterima kasih pada Bagas yang mengizinkannya melihat Aira.

Asahy masuk ke dalam ruang rawat Aira dan langsung duduk di kursi samping ranjang Aira yang tadi di duduki oleh Vanya. Orang-orang yang tadi berada di dalam kamar rawat Aira ini, mereka semua pergi keluar. Seperti memberikan Asahy kesempatan untuk berdua dengan Aira. Digenggamnya tangan Aira yang bebas dari selang infus. Menangis dalam diam. "Maaf .... Maaf kalau gara-gara gue lo jadi kayak gini .... Gue bener-bener minta maaf ...."

Asa Asahy (Sudah Terbit Cetak & E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang