Setelah keluar dari kamar rawat Aira, Asahy memilih kembali ke kamar rawatnya.
"Kak, tadi yang ngobatin aku, siapa nama dokternya?" dalam perjalanan ke kamar rawatnya, Asahy menanyakan itu pada Devni.
"Kenapa?" Devni justru balas bertanya pada Asahy dengan heran.
"Ada, deh! Bilang aja, siapa dokternya?" desak gadis itu.
"Ish! Sok misterius banget, sih?" cibir Devni. Asahy memutar bola matanya menanggapi Devni. "Namanya Dokter Kartika," lanjutnya dengan setengah cemberut.
"Oke, Kakak duluan aja ke kamarku. Aku ada urusan sebentar." Asahy bergegas meninggalkan Devni yang saat ini tengah berteriak menyerukan namanya.
Asahy pergi ke petugas resepsionis. Menanyakan ruangan Dokter Kartika dan langsung mencari ruangan Dokter itu sesuai yang diberitahukan oleh si petugas resepsionis.
Asahy mengetuk pintu yang terpampang papan nama Dokter Kartika. Dari dalam terdengar seseorang yang menyuruhnya masuk. Dibukanya pintu di hadapannya dan masuk ke dalam ruangan Dokter Kartika. Dokter Kartika langsung mempersilakannya duduk.
"Kamu bukannya pasien yang katanya hampir jadi korban kecelakaan tadi, ya? Ada apa datang ke ruangan saya? Seharusnya kamu istirahat," cecar Dokter Kartika to the point.
"Iya, saya pasien yang tadi Dokter obati. Saya ke sini karena ada yang mau saya omongin sama Dokter," jawab Asahy.
Dokter Kartika mengernyit. "Hal penting apa yang mau kamu bicarakan sampai-sampai kamu mengabaikan kesehatan kamu hanya untuk datang ke sini? Padahal kondisi kesehatan kamu itu penting untuk kesembuhan kamu. Kamu tidak sadar? Kondisi kamu itu memprihatinkan sekali. Kenapa kamu bisa sekurus ini? Padahal remaja-remaja yang sering saya lihat, walaupun kurus, tidak sampai sekurus kamu ini," ucapnya sambil menatap Asahy dengan tatapan heran.
"Itu nggak penting, Dok. Saya ke sini karena ada yang mau saya tanya. Sewaktu Dokter ngobatin saya tadi, apa ada yang aneh sama keadaan saya selain kurus?" tanya Asahy, tidak ingin berlama-lama. Takut Riri mencari dan menyusulnya. Meskipun sebenarnya Riri sudah uring-uringan karena Asahy pergi dari kamar rawatnya dan Devni kembali ke kamar rawat Asahy sendirian.
"Hmm ..., ah! Ada!" seru Dokter Kartika setelah berpikir selama beberapa saat.
"Apa itu?" Asahy mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Darah yang keluar dari kening kamu itu sulit sekali berhenti. Padahal pada pasien kecelakaan lain, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi. Sudah begitu, kulit kamu juga pucat sekali. Biasanya kalau pun seseorang terluka, orang itu tidak akan sepucat kamu," terang Dokter Kartika dengan wajah bingungnya.
"Apa Dokter udah ngomongin ini ke keluarga saya?" tanya Asahy, harap-harap cemas.
"Tidak," jawab Dokter Kartika singkat.
"Syukurlah." Asahy menghembuskan napas lega. "Saya minta, Dokter jangan bilang apa-apa sama keluarga saya. Anggap aja Dokter nggak pernah lihat apa pun sewaktu ngobatin saya tadi," pintanya.
"Kenapa begitu? Apa ada yang kamu sembunyikan dari keluarga kamu?" Dokter Kartika kembali mencecarnya.
"Ya, ada yang saya sembunyiin dari keluarga saya. Dan saya nggak mau mereka curiga," Asahy mengakui tebakan Dokter Kartika. Tetapi masih menyembunyikan yang sebenarnya.
"Apa yang kamu sembunyikan dari mereka?" tanya Dokter Kartika tampak penasaran.
"Saya rasa Dokter nggak perlu tau," jawab Asahy. Yang membuat Dokter Kartika menghela napas. "Oh, iya. Saya mau pulang sekarang juga. Saya ngerasa kalau saya udah baik-baik aja."
"Tapi, kamu masih belum pulih. Kamu harus menginap di sini. Minimal sampai besok," kata Dokter Kartika, menolak permintaan Asahy.
"Justru kalau saya disuruh nginap di sini, itu yang bikin saya tambah sakit, Dok. Yang bisa nyembuhin saya dari rasa sakit saya cuma satu. Yaitu kematian saya. Setelah saya mati, semua rasa sakit yang saya derita pasti bakalan hilang untuk selamanya," ujar Asahy yang membuat Dokter Kartika menatapnya aneh dan curiga.
"Apa maksudnya itu? Apa kecelakaan yang hampir menimpa kamu itu, apa karena kamu sengaja ingin bunuh diri?" Dokter Kartika menduga-duga.
Asahy menggeleng, menyangkal dugaan Doker Kartika. "Nggak. Tadi itu bener-bener kecelakaan, Dok. Ada orang yang ngedorong saya ke tengah jalan sewaktu saya berdiri di trotoar. Tapi, temen saya yang malah jadi korban dan sekarang ngalamin kebutaan karena nolongin saya. Padahal, saya udah pasrah kalau emang saya bakalan mati di sana atau pun sekarang ada di posisi temen saya. Karena bagi saya, mati sekarang atau nanti, itu nggak ada bedanya. Sekali pun saya yang ngalamin kebutaan itu, itu nggak berpengaruh sama kehidupan saya. Karena hidup saya udah berakhir sebulan yang lalu. Saya masih bernapas sampai hari ini aja, itu cuma sebuah siksaan buat saya. Sekarang saya cuma nunggu saatnya aja," katanya panjang lebar.
"Maksudnya?" Dokter Kartika mengerutkan keningnya.
"Gitulah. Dokter nggak perlu tau secara rinci. Saya ke sini cuma mau minta dua hal itu. Saya mau pulang sekarang juga, dan saya juga minta supaya Dokter jangan cerita apa pun ke siapa pun tentang yang Dokter lihat dan Dokter dengar dari saya hari ini. Saya mau ini jadi rahasia. Dan saya minta Dokter jaga rahasia ini," Asahy kembali meminta pada Dokter Kartika. "Kalau gitu, saya permisi!"
Asahy bangkit dari duduknya dan memutar tubuhnya. Berjalan menuju pintu, membukanya, dan keluar ruangan Dokter Kartika. Meninggalkan Dokter Kartika dengan banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. Asahy bersandar sesaat di pintu sambil menghembuskan napas lega. Tidak dapat dipungkiri, saat berada di hadapan Dokter Kartika tadi dan berbicara dengannya, jantung Asahy berdegup dengan kencang antara takut dan gugup. Beruntung ia masih dapat menguasai keadaannya.
Setelah lebih tenang, Asahy kembali ke kamar rawatnya. Sesampainya di kamar rawatnya, Riri sudah menunggunya dengan cemas. Tampaknya, Riri baru saja hendak menyusul Asahy. Untung saja Asahy cepat-cepat kembali dari ruangan Dokter Kartika sebelum Riri menyusul. Kalau saja Asahy sedikit lebih lama berbicara dengan Dokter Kartika, mungkin Riri bisa mendengar apa yang Asahy bicarakan dengan Dokter Kartika.
Asahy langsung mengambil pakaiannya dan berganti pakaian. "Kamu mau ke mana? Kenapa ganti pakaian?" tanya Riri bingung saat melihat anak bungsunya itu keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolah dan juga jaket berlumuran darah yang tadi dikenakannya.
"Adek mau pulang," jawab Asahy dengan santai.
"Loh, loh, loh? Apa-apaan kamu? Kenapa pulang? Kamu belum sembuh. Masih harus dirawat di sini!" cegah Riri.
"Mi, adek nggak apa-apa. Adek nggak butuh dirawat. Adek cuma butuh istirahat aja, 'kan? Biar adek istirahat di rumah," Asahy mencoba meyakinkan Riri.
"Udahlah, Mi. Turutin aja maunya. Mami 'kan tau sendiri, gimana kelakuannya kalau kemauannya nggak diturutin? Nanti dia kabur-kaburan kayak waktu itu lagi," Devni ikut membujuk Riri.
"Tapi ...." Riri terlihat masih ragu.
"Mi, percaya sama Adek. Adek nggak apa-apa. Jadi, ayo pulang," Asahy kembali meyakinkan Riri sambil menggenggam tangannya. Setelah itu, Asahy lebih dulu melangkah. Riri dan Devni sepertinya tidak punya pilihan lain selain mengikutinya.
Riri mengantarkan Asahy ke apartemen. Langsung menyuruh ART untuk membuatkannya bubur dengan bantuannya. Sedangkan Asahy memilih masuk ke kamarnya. Sementara Devni, gadis itu pulang ke rumah dengan taksi. Riri menemani Asahy sampai malam.
Sebenarnya Riri ingin menemani Asahy sampai Arkhai pulang. Tetapi, gadis itu mencegahnya. Karena Asahy sangat yakin, Arkhai tidak akan pulang. Arkhai pasti akan menginap di rumah sakit menemani Aira.
Dan benar saja. Selama beberapa hari Arkhai tidak pernah tidur di apartemen lagi. Ia selalu menginap di rumah sakit. Pulang ketika pagi hari saja hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah itu pergi lagi. Arkhai terus seperti itu sampai Aira diperbolehkan pulang oleh dokter.
************
Sekian....
Riau,
Publish awal,
4-8-2020
Publish ulang,
21-2-2022Salam Cinta,
Nursindahliana 💝
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Asahy (Sudah Terbit Cetak & E-book)
Ficção AdolescenteSemua orang yang mengenalku, akan menganggap aku sebagai gadis yang jahat dan egois. Semua itu karena aku telah merebut kekasih dari sahabatku sendiri untuk kebahagiaanku. Tapi, apakah aku salah bila aku bersikap egois dengan menginginkan kebahagian...