Disebuah rumah kosong. Ada satu gadis yang disandera di dalam salah satu ruangan. Ia masih memakai seragam sekolah putih abu-abu. Mulutnya ditutup oleh lakban. Matanya ditutup dengan sapu tangan. Tangannya diikat diarahkan kebelakang kursi yang ia duduki. Ia selalu berusaha menggerakkan kursinya untuk melepas tali yang mengikat ditangannya. Namun, tidak ada hasil apapun. Hanya kakinya yang terlepas dari ikatan. Jika matanya ditutup, bagaimana bisa ia mencari sesuatu untuk melepaskan tangannya. Tidak mungkin ia hanya mengandalkan kakinya saja.
Tidak ada yang tidak mungkin, ia terus saja berusaha menendang-nendangkan kakinya kedepan ke segala arah. Sampai tidak sengaja kakinya menendang vas bunga sehingga membuat dua lelaki yang menjaga dipintu depan kaget dengan suara yang dilakukan oleh Ara.
Pyaarrrr....
Kedua lelaki yang tertidur di depan kaget dan langsung berdiri memposisikan tubuhnya tegap.
"Eh, lo denger suara tadi gak?" Ucap salah satu lelaki itu.
"Iya gue denger bro. Dari dalem kayaknya suaranya."
"Yaudah ayo buruan kita lihat, entar kita dimarahin bos lagi kalo tuh cewek ilang."
Ceklek..
Mereka berjalan masuk kedalam. Dilihatnya gadis yang mereka jaga tertidur lelap dikursi yang ia duduki. Lalu keduanya membalikkan badannya kembali menjaga diluar dan mengunci pintunya kembali.
Ara yang merasakan kedua lelaki itu pergi. Kembali melakukan aksinya mengoyakkan kepalanya agar ikatan yang menutupi matanya segera terlepas. Beberapa kali ia berusaha, dan akhirnya dirinya berhasil melepaskan ikatan dimatanya. Matanya melebar ketika dirinya tau jika ia berada dikamar yang tidak ia kenali.
Ini tempat apaan bagus bangett. Kamar? Batinnya yang tidak bisa membohongi apa yang sudah ia lihat saat ini.
Gaya tempat ini benar-benar megah dan mewah. Banyak sekali hiasan dinding berupa seperti emas dan perak di balkon kamar.
Ah! Lupakan. Gue kan mau kabur. Mau sebagus apapun itu, kalo orangnya ada niat jahat ke gue kan bahaya. Batinnya kembali.
Ia melihat vas bunga yang pecah disampingnya. Langsung saja ia berusaha mengambil dan memutus tali yang mengikat kedua tangannya.
Satu
Dua
Tiga
Tangannya kembali bebas. Ia langsung melepas pelan lakban yang berada di bibirnya.
"Aww!!" Rintihnya kesakitan.
Ia melihat-lihat semua kearah ruangan untuk mencari celah dirinya kabur dari tempat ini. Namun, ketika ia ingin melangkahkan kakinya menuju kearah jendela. Pintu kamar tersebut ada yang membuka.
Betapa terkejutnya Ara ketika orang yang membuka pintu adalah teman masa kecilnya. Yang sudah ia anggap seperti layaknya kakak kandungnya sendiri.
"Mas Dava??" Ucap Ara kegirangan. Ia percaya jika Dava akan menyelamatkannya.
"Ara, apa kabar?" Balas Dava lalu menghampiri gadis yang pernah mengisi hatinya.
"Baik, Mas Dava ngapain ada disini? Mas Dava mau bawa aku pergi dari sini kan? Mas Dava aku takut..." Gerutu Ara. Jujur saja sampai saat ini Ara masih menyimpan rasa dengan Dava. Begitupun sebaliknya Dava.
"Ara. Maaf..." Lirih Dava.
"Maksud. Mas Dava?" Ara mengernyitkan dahinya untuk apa Dava meminta maaf kepada dirinya. Malahan Ara sangat senang Dava datang untuk menolongnya.
"Sebenarnya, gue yang udah culik Lo."
Ara terdiam kaku. Dan kaget. Mendengar pengakuan dari Dava orang yang ia harapkan dari dulu. Selangkah demi selangkah Ara memundurkan kakinya merasa tidak percaya kepada omongan Dava.
"Mas Dava bohong kan? Ma-Mas Dava lagi becanda kan?"
"Berhenti ngarep sama gue Ra. Gue bukan Dava yang dulu Lo kenal. Gue Dava baru. Gue ngelakuin ini karena gue ada urusan sama bokap Lo. Dia udah hampir bikin perusahaan yang gue bangun bangkrut Ra. Dan gue tegasin sekali lagi. Gue udah gak suka sama Lo." jelas Dava seakan tau apa yang diinginkan oleh Ara.
Setetes air mata milik Ara keluar. Siapa sebenarnya lelaki yang berada dihadapannya sekarang? Masihkah Dava sang palawan? Dava yang dulu selalu menjaganya? Tapi, sekarang mengapa menjadi seperti ini.
"Gak-gak. Mas Dava pasti bo-"
"Gue serius. Berhenti ngarep sama gue, janji gue dulu lupain aja. Gak penting." Singkat Dava.
"Gimana bisa gak penting. Semua yang berhubungan sama kamu tuh penting. Mana bisa aku ngelupain semua yang udah kita jalani dari dulu. Aku gak bakalan bisa berhenti buat suka sama kamu. Kita selalu sama-sama dari kecil, Mas Dava juga udah janji sama aku bakalan nikahin aku. Hiks... Hiks.. Mas Dava mau ngelanggar janji itu? Mas-"
"CUKUP RA CUKUP. GUE BILANG SEKALI LAGI. GUE BUKAN MAS DAVA LO LAGI. GUE UDAH GAK SUKA LO. JANJI ITU HANYA BERLAKU BUAT DAVA DULU. BUKAN DAVA SEKARANG. LO BISA NGERTI GAK SIH!" Teriak Dava kepada Ara.
Ara semakin kecewa. Kenapa semua jadi seperti ini. Tubuhnya sekarang benar-benar lemas tidak bisa menerima semua ini. Air mata sudah menjadi membasahi pipinya. Ia masih saja memundurkan badannya. Tidak terima dengan kenyataan saat ini.
Dava melihat Ara iba. Gadis yang ia sukai hingga sekarang benar-benar terlihat dari raut wajahnya merasakan kesakitan batin yang mendalam. Apa yang sudah ia perbuat dengan gadisnya?
Ara frustasi ia langsung membalikkan badannya ketika ia menemukan jendela yang tidak terkunci. Ara membuka jendela tersebut dan pikirannya sudah benar-benar gelap. Kakinya dilangkahkan satu keluar jendela. Dava yang melihatnya langsung berteriak, " ARAAA!!!"
"Hiks... Aku gak nyangka sama Mas Dava... Hiks... Kenapa Mas Dava tega ngelakuin ini semua sama aku... Cuma karena urusan perusahaan yang sama dengan uang...hiks...."
"Ara Lo mau ngapain. Jangan buat masalah ini makin rumit...."
"Aku yang buat masalah ini makin rumit??? Disini aku korban Mas... Hiks.."
"Ara tolong... Lo jangan bertingkah gilaa.. ini buka seperti Ara yang gue kenal."
"Haha. Lalu apa bedanya dengan anda sekarang yang juga tidak seperti yang saya kenal dulu?"
"ARAAA PLEASEE....."
"Selangkah anda mendekat. Saya akan lompat."
Dava mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang.
____
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
MY GUANTANAMO
Teen Fiction"Rata-rata manusia di bumi egois Ra. Gue salah satunya. Gue pengen menang sendiri buat dapetin hati Lo." - Aslan Guantanamo "Kalo Lo sayang sama gue. Gue harap Lo bisa nerima dia buat jadi pengganti gue. Gue rela kok lo harus sama dia." - Ara Mevi...