Kevin tidak fokus mengendalikan pesawat akibat suara tembakan yang saling menyahut dari luar. Walaupun pintu ia kunci, dia khawatir dan cemas. Apa yang terjadi di belakang sana?
"Ssrkk.. ssrkk... Gagak Airlanes, kami dari pusat keamanan Inggris akan mengawal pesawat hingga mendarat. Dilarang keras merubah kecepatan pesawat dan posisi pesawat sebelum kami perintahkan."
Kevin menoleh ke kanan dan kirinya, dia mendadak gugup dan kekhawatirannya semakin menjadi-jadi.
Dua pesawat tempur mengawasinya, dapat ia lihat pilot kedua pesawat tersebut menatapnya penuh peringatan.
Jujur, dia bimbang, dia bingung harus apa.
Dia harus menuruti perintah kedua pihak keamanan negara tersebut atau mengikuti rencana Juyeon? Pilihan mana yang harus ia pilih?
BUGH!
Juyeon terdorong ke belakang, menghantam tumpukan koper sambil meringis. Dia terbelalak kemudian, lalu segera menghindar ketika Hyunjoon menembakkan pelurunya.
"Lebih baik lo duduk diam atau lo akan mati dengan cepat!" Ancam Hyunjoon marah, tidak menurunkan pistolnya sedikitpun.
Para penumpang tak bisa berkata-kata atau bahkan bertindak, mereka semua ketakutan. Begitu juga dengan Younghoon, dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan lengannya yang tertembak.
Iya, Hyunjoon menembak lengan Younghoon ketika pramugara tersebut hendak membantu Juyeon.
"Haha! Lo mau bertindak sejauh apapun gak bakal ngaruh, Kak Juyeon. Kalian semua bakal mati disini, kita semua bakal mati!"
Nafas Juyeon tak beraturan, tangannya masih menggenggam pistol dengan posisi waspada. Dalam hati ia mengumpat, pelurunya tersisa dua, ini gawat!
"Lo mau uang, kan?" Tanya Younghoon seraya berjalan tertatih-tatih sambil memegang lengannya yang terluka. "Gue bisa kasih berapapun yang lo mau, tapi tolong matiin bomnya."
"Haha, lo pikir gue bener-bener butuh duit?" Tawa Hyunjoon keras. "Itu cuma pancingan doang, lo seharusnya dengerin dong kata Detektif Haknyeon tadi. Psikopat bakal tetep bunuh orang walaupun ada uang."
"Dendam cuma bikin lo lupa segalanya, dendam bikin lo buta. Lo begini gak ada gunanya, lo mati gak ada gunanya karena lo menentang takdir yang Tuhan buat."
"Gak usah ceramahin gue!"
DOR!
"YOUNGHOON!"
Juyeon berseru, matanya membulat melihat Younghoon jatuh akibat tembakan di kaki kanannya. Badannya oleng, dengan sigap Younghoon berpegangan pada kursi.
Tapi Hyunjoon tertawa, puas dan senang disaat yang bersamaan dengan datangnya seseorang.
"Ric, lama banget sih. Gue kan was-was karena tombol bomnya ada di lo."
Juyeon kaget. Eric termasuk pelakunya?!
"Gue habis urus pramugara yang satunya, paling bentar lagi mati," balas Eric santai seraya menghampiri Hyunjoon dengan pistol di tangannya.
"Ric..."
Eric menoleh pada Juyeon. "Eh, hai Kak Juyeon? Tadinya gue mau langsung bunuh lo, loh. Tapi gak jadi karena kita mau kalian semua mati."
Menyadari ada grasak-grusuk dari arah kanan, dengan cepat ia menodongkan pistolnya, membuat Jacob diam mematung dengan tangan hendak menggapai tombol bomnya.
"Lebih baik duduk dengan tenang, kan gak lucu kalo dokter satu-satunya mati."
Eric terkekeh dan terdengar menyeramkan. Setelah itu dia berseru keras kepada semua penumpang yang ada.
"Duduk diam dan jangan ada yang berani bergerak!"
"Jadi gimana, Kak Juyeon?" Hyunjoon menyeringai. "Lo gak mau duduk juga?"
Juyeon menggertakan giginya, matanya menatap lurus Eric, tatapan sendu dan penuh arti.
"Ric, gue tau lo takut mati."
Senyuman Eric perlahan menghilang.
"Gue tau lo lagi pikirin gimana keadaan keluarga lo, gue tau lo takut keluarga lo kehilangan lo. Tolong serahin tombolnya," lanjut Juyeon dengan anggukan kecil, mencoba meyakinkan Eric.
"Eric, jangan serahin tombolnya," ujar Hyunjoon dengan sorot mata tajamnya.
"Ric, serahin tombolnya sekarang. Gue tau lo diancam Hyunjoon, lo gak perlu takut."
"Gue bersumpah bakal bunuh lo kalau lo serahin tombolnya."
Eric menatap dua orang tersebut bergantian. Dia dilanda kebingungan dan kebimbangan. Apakah ia harus menyerahkan tombol bomnya?
"Ric."
Ya, Eric sudah membuat keputusan. Perlahan, ia melangkah maju, lebih tepatnya menghampiri Juyeon, hendak menyerahkan tombol bomnya.
"Maaf Ric, gue gak main-main sama ucapan gue."
DOR!
DOR!
DOR!
Suasana berubah heboh, banyak yang menjerit kaget akibat suara tembakan yang bertubi-tubi tersebut ditembakan kepada Eric sehingga membuatnya tewas seketika.
Hyunjoon mendesis pelan, lalu mengambil alih tombol bom tersebut dan berdiri menghadap Juyeon.
"Karena lo Eric mati, lo bunuh orang lagi, haha!"
Menyesal, merasa bersalah, tak menyangka, ketiganya bercampur aduk menjadi satu. Juyeon kembali melakukan hal yang salah.
"Jadi gimana? Masih mau ngelawan?"
Juyeon tak mendengarkan ucapan Hyunjoon, pandangannya fokus ke arah Younghoon yang tengah mengisyaratkannya untuk melihat jam tangan.
Dia pun menurut, seketika ia sadar. Waktu tersisa delapan menit lagi sebelum pesawat mendarat dan dua menit lagi sebelum bom meledak. Itu tandanya...
"Kalo dipikir-pikir, kayaknya gak ada gunanya lagi lo ngelawan."
Hyunjoon terus mengoceh, tak menyadari kalau Juyeon diam-diam melilitkan seatbealt di tangannya lalu menggenggamnya.
Pandangannya kembali mengarah pada Younghoon, dan Younghoon pun mengangguk, kemudian memasang seatbealtnya.
"Jadi, ada pesan terakhir?"
Juyeon mendongakkan kepalanya. "Tiga... dua... satu."
DOR!
WUSSHHH!
"AAAA!"
Para penumpang berteriak panik, pesawat menukik tajam ke bawah dengan kecepatan penuh.
Juyeon hampir saja terbanting ke langit-langit pesawat jika ia tidak memegang seatbealt kuat-kuat.
"Sialan lo... Lee Juyeon!"
Ow, rupanya tembakan Juyeon tadi belum mampu menghentikan Hyunjoon. Sambil berpegangan pada seatbealt, dia menodongkan pistolnya, lalu menarik pelatuknya.
"Maaf."
DOR!
BRAK!
Pesawat berguncang hebat, membuat Juyeon refleks melepas pegangannya hingga membuatnya terpental menghatam langit-langit pesawat.
Pandangannya pun memburam, suara di sekitarnya berubah menjadi dengingan keras.
Ah, apakah ini akhirnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reveal | The Boyz ✓
Mystery / Thriller❝Ayo mengungkap siapa pelaku yang sebenarnya.❞