Dia yang selalu ada

46 5 2
                                    

Jenuh. Itu yang Clara rasakan saat ini. Berdiam diri di Rumah tanpa kehadiran siapapun membuat dirinya merasa sangat kesepian dan bosan. Apalagi,ada trauma yang mendalam di Rumah ini. Rasanya benar benar tak betah jika harus sendirian.

Cklek!

Terdengar suara pintu terbuka. Ia menduga bahwa itu Arhan. Tetapi ia tiba tiba saja teringat bahwa ini belum saatnya jam pulang. Toh,Arhan sekarang juga tak memperdulikannya.

Clara keluar dari kamarmya dan menuruni anak tangga untuk memastikan siapa yang masuk kedalam rumahnya.

"Mama?! Katanya pulang nya masih lama!" Clara sedikit terkejut dengan kehadiran Eva. Sebab kemarin sebelum berangkat ke London,Eva sendiri yang bilang bahwa dirinya akan pulang lebih lama.

"Mama sengaja pulang cepat,mama kasihan kalau kamu sendirian di Rumah." Jelasnya. Eva lalu duduk di sofa Ruang tamu nya dan mengajak Clara untuk duduk di sebelahnya.

"Biasanya Clara juga sendirian di Rumah kok!" Clara menganggap bahwa Eva hanya beralasan saja.

"Ya tapi kan biasanya ada yang nge - chat! Terus bilang bakal nemenin di Rumah!" Eva sedikit menyindir anaknya agar anaknya salah tingkah. Namun,kini Clara sedikit berbeda tak seperti biasanya ketika membahas hal ini. Mukanya tiba tiba murung.

"Sekarang nggak! Dia bukan milik Clara lagi!" Mata Clara berkaca kaca setelah mengucapkan kalimat itu. Seolah masih tak percaya bahwa Arhan bisa berubah dengan cepat.

"Kan masih ada Jefri!" Alih Eva mencoba tak mengobrolkan Arhan lama lama. "Iya kan? Nggak cuma Arhan kan temennya Clara? Ada Juno juga!"

Clara menghapus air matanya yang perlahan mulai menetes. Dadanya terasa sesak. Mengapa ia tiba tiba memikirkan hal hal tentang Arhan yang membuat dirinya menangis? Padahal ada banyak hal yang yanh sudah Arhan lakukan hanya untuk membuat dirinya merasa bahagia.

"Clara? Kamu kenapa? Tidur siang dulu sana,kamu kayanya kecapean!" Pinta Eva pada Clara agar membuat Clara sedikit lebih tenang. Kemudian Clara mengagguk mengiyakan.

***

Dua hari setelah itu,Clara sudah diboleh kan untuk memasuki area Sekolah. Anehnya,ia tak bisa merasakan kesenangan karena suasana di Sekolahnya sudah berbeda bahkan Clara sempat enggan untuk bersekolah kembali.

"Selamat pagi mbak Clara!" Sapa salah satu satpam. Clara pun membalasnya dengan sangat ramah dan teduh.

Ia menghela nafas panjang panjang mencoba untuk tetap tenang dan tak gegabah jika nantinya ia akan bertemu Bianca. Sebetulnya dirinya masih menyimpan sedikit dendam. Tak adil saja jika yang salah tak diberikan hukuman.

Baru saja ia menyusuri lorong,ia bertemu dengan Bianca dan teman temannya. Tadinya ia ingin berputar balik tetapi tiba tiba saja ada seseorang yang mengandeng tangannya.

"Ngapain takut?" Tanya seseorang itu dengan nada dingin. Siapa lagi kalau bukan Jefri. Lelaki yang kini selalu hadir di saat yang tepat.

Bianva hanya menatap Clata dengan tatapan tajam. Sebenarnya Clara tak takut sama sekali dengan Bianca. Jika tak karena nantinya ia akan mendapat peringatan di keluarkan dari Sekolah pasti ia sudah bersikap brutal.

"M-makasi. Gue nggak takut kok cuman gue nggak mau aja." Jelas Clara namun tak berani menatap Jefri. "Lo nggak ke Kelas?" Tanya Clara pada Jefri agar tak lama lama merasa canggung.

"Ngapain si canggung canggung segala?" Tanya Jefri begitu lembutnya sembari mengobrak abrik rambut panjang Clara. "Lo masih nggak enak?"

"B-bukan gitu,gue deg- deg an!" Jelas Clara sedikit kelepasan. Meski sudah mulai tumbuh perasan untuk Jefri akan tetapi Clara masih saja belum membuka seluruh hatinya untuk Jefri. Masih ada Arhan disana,sekarang dan selamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu adalah angankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang