Part #14

1.9K 285 60
                                    

Teriakan-teriakan menggema mengudara. Seakan mereka tak peduli sekalipun ada yang mendengar gemuruh dalam rumah tangga Uzumaki itu. Mereka tertelan ego masing-masing. Si tuan Uzumaki yang ingin pergi dan si nyonya Uzumaki yang bertahan.

Ego... Tak pernah bisa dikalahkan oleh manusia.

"Biarkan aku pergi bersama Hinata, Sakura-chan." Lagi -entah untuk keberapa kalinya. Lelaki itu mengiba meminta perpisahan.

"Aku tak mau. Kita bisa memperbaiki semuanya, Naruto. Kita bisa melewati ini semua." Dan Sakura tak kuasa membendung tangisannya yang kian menyeruak.

Kedua orang dewasa itu terpelanting dalam pemikirannya masing-masing. Tenggelam dalam keinginan menggebu masing-masing diri. Dan Sakura tak bisa hanya menutup telinga dan mata.

"Aku tau kau mencintai Hinata. Aku tau kau membutuhkannya. Aku tau Hinata terlalu berharga untukmu." Wanita tegar yang biasanya menampilkan senyuman itu, kini menangis tersedu-sedu. Terduduk diatas lantai dingin dengan pria jangkung itu yang berdiri menjulang dihadapannya.

Sakura menutup wajahnya. Kulit putih berseri nya memucat dengan wajah memerah dan mata membengkak.

"Bisakah kau memberiku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta lagi padaku? Hanya satu kesempatan." Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Mencoba tidak meloloskan isakan tangis.

Sebenarnya Naruto tak bisa membiarkan Sakura menangis dibawah kaki nya seperti ini. Tapi, apapun itu. Sekalipun menyakiti Sakura bisa membuat mereka hidup bahagia, akan ia lakukan.

Lelaki berpikir menggunakan logika.

Sedangkan perempuan memilih menggunakan hati. Tak peduli logika semenuntut apa.

Dan Naruto adalah lelaki. Ia mementingkan logika nya. Bagaimana caranya agar dua orang yang amat penting untuknya ini bisa bahagia. Dan pilihannya adalah meninggalkan Sakura, membiarkan wanita ini bersama sahabat bersurai emo nya.

Karena ia tak ingin Hinata lolos dari pandangannya.

"Kita mungkin bisa melalui semuanya. Tapi aku yang tak bisa. Aku tak ingin dirimu tapi aku tau jika kau bisa menemukan seseorang yang lain. Kita sudah retak. Dan itu bukanlah hal yang bagus untuk terus dilanjutkan."

Sakura berdiri. Mencoba membentengi diri dari ucapan Naruto yang menusuk hati nya. Mencabik-cabik kepercayaannya pada si Uzumaki. Iris emerald nya tersorot pada birunya mata Naruto.

"Aku sudah menjadi seperti yang kau minta-" tapi tangisannya kembali membeludak.

"Hiks... Aku sudah menjadi apa yang kau mau. Aku sudah diam dirumah mencoba menjadi istri yang baik untukmu. Aku sudah menaati mu, aku menjaga privasi mu, aku sudah belajar hiks menjadi istri yang baik untukmu, Naruto. Hiks kurang apa aku untukmu? Apa perlu aku memanjangkan rambut seperti Hinata? Hiks atau menggunakan lensa sewarna bola mata Hinata? Katakan Naruto. Katakan." Ia mencengkram kemeja suaminya.

Tapi itu semua tak membuat si Tuan Uzumaki luluh. Ia masih membisu mencoba merangkai kalimat apa yang bisa ia utarakan agar tak membuat Sakura semenyedihkan sekarang.

"Apa kurangnya aku... Hingga kau tega seperti ini?" Wajahnya menunduk. Tak bisa berlama-lama menatap mata sang suami.

Inikah yang dirasakan orang-orang yang memperjuangkan rumah tangganya sendirian? Inikah akhirnya?

Bayang-bayang tentang kehidupan menyenangkan bersama Naruto... Bayi... Pelukan, ciuman, dan semua hal yang manis hilang begitu saja karena keegoisan satu pihak.

"Apa yang perlu aku perbaiki? Aku akan mencoba menjadi yang terbaik untukmu." Lagi -ia masih mencoba sekuat tenaga untuk tak membiarkan suaminya pergi. Melebeli dirinya sebagai seorang janda muda.

Reserve WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang