Capítulo 2

573 69 18
                                    

Kim Lian selalu memikirkan tentang banyak hal yang selama ini sudah pernah terjadi di dalam hidupnya. Tentu saja itu ia lakukan ketika rasa kesepian mulai datang dan menyelimuti dirinya, singgah—lalu kemudian menetap sebagai salah satu teman terbaik yang hanya bisa ia miliki di dunia ini.

Sebenarnya dia itu bukan tipe seseorang yang anti sosial, bukan juga tipe seseorang yang suka menyendiri. Tetapi sejak awal, jalan hidupnya itu memang sudah mengalir seperti ini. Dia sendirian, tidak mempunyai teman yang bisa diajak untuk berbicara ataupun melihat dunia dengan cara pandang yang berbeda, tidak pula juga ada keluarga yang bisa membuatnya merasa hangat.

Terkadang jika sedang beruntung, Lian akan merasa sangat bersyukur ketika suara-suara itu kembali hadir di tengah malam lalu mencekik dirinya dengan perasaan takut yang teramat luar biasa. Kemudian jika pagi hari mendatang dan ada satu saja seseorang yang mendapati dirinya dalam keadaan yang sudah tidak bernyawa, sungguh di detik itu juga dirinya mungkin sudah terbang bebas menuju Surga yang katanya itu ada.

Sayangnya, hal itu tidak benar-benar pernah terjadi di dalam hidupnya. Karena realitanya, dia akan terbangun dalam keadaan yang sudah baik-baik saja dan tidak mendengar lagi suara-suara yang sempat hadir. Sialan sekali, bukan?

“Lian, kau tidak ingin kembali lagi tinggal di sini?”

Kim Lian kembali mendengar suara ayahnya. Tidak mudah bagi dirinya untuk memutuskan mengunjungi rumah yang menurutnya bisa dikatakan bukanlah sebuah rumah, melainkan hanya tempat asing yang kebetulan—dulu sekali—sempat pernah ia tinggali selama hanya beberapa tahun.

“Dan lagi, kenapa selama lima tahun ini kau tidak pernah memberitahu kami jika kau sudah kembali dari Spanyol? Kau diam-diam tinggal sendirian dan aku tahu-tahu sudah melihatmu di berbagai media tentang perusahaan yang sudah kau bangun.”

Lian terdiam tetapi, bukan berarti tandanya ia tidak bisa menjawab. Ingatannya kembali berputar tentang bagaimana hidup yang selama ini telah ia jalani. Dengan sikapnya yang kelewat tenang sekaligus bibirnya yang tiba-tiba saja membentuk sebuah garis senyum, ia pun menjawab. “Aku tidak tinggal sendirian, Ayah. Selama ini ada Jaehyeon yang selalu bersamaku.”

Karena sebenarnya sudah tidak ada lagi hal terpenting yang harus dibicarakan, Lian kemudian memilih beranjak dari tempat duduknya. “Kau masih terlihat sangat sehat, Ayah. Aku senang melihatnya. Ini sudah malam, sepertinya aku harus pulang.”

“Kau yakin tidak ingin kembali lagi tinggal di sini?” pria paruh baya itu bertanya sekali lagi pada putrinya.

“Tidak perlu repot-repot menawari, Ayah. Rumahku sudah cukup nyaman untuk diriku sendiri. Mungkin jika tidak sibuk, aku akan meluangkan waktu untuk berkunjung ke sini.”

“Itu terdengar cukup bagus, Lian. Aku akan sangat senang jika kau benar-benar mau melakukannya.”

Wanita yang berada di samping Ayah Lian itu berdiri setelah sedari tadi dia hanya duduk diam dan memperhatikan bagaimana interaksi yang diberikan sang suami untuk putrinya.

Dia memberikan senyuman termanis pada Lian. Membuat Lian pun membalas senyuman itu dengan tak kalah manisnya, penuh arti dan—tentu saja Lian bisa merasakan semuanya.

“Kau mau pulang, ‘kan? Ayo, aku akan mengantarmu ke depan.”

Tanpa persetujuan dari Lian, wanita itu langsung mengantarkan putrinya untuk berjalan menuju ke arah pintu depan usai berpamitan pada sang ayah. Lian yang saat itu bisa merasakan bagaimana gandengan erat dari tangan wanita yang merupakan ibunya itu pun mendadak langsung melepaskan tangannya begitu saja.

“Aku bisa berjalan sendiri, Bu.”

Bu?

Wanita itu terkikik geli di dalam hati. Tangannya terulur untuk menyelipkan helaian rambut putrinya ke arah belakang telinga, lantas berujar dengan suara yang masih terdengar cukup lembut—namun juga sedikit menusuk. “Jangan memanggilku seperti itu, Sayang. Kau tahu bukan bahwa selama ini aku sangat tidak menyukainya? Ibu Gayoon—panggil aku dengan sebutan seperti itu, hm?”

Acatalepsy | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang