Jimin dan Lian memiliki pandangan jalan hidup, serta kisah masing-masing yang sangat jauh berbeda dan saling bertolak belakang. Jimin tidak pernah mengira jika dirinya yang selama ini telah dipertemukan dengan Lian adalah sebuah berkat sekaligus mis...
Hembusan angin sore menemani gadis itu. Membuat beberapa helai rambutnya terkibas ke udara ketika angin itu benar-benar menerpa dirinya. Desiran suara ombak yang berada di bawah sana juga ikut serta menemani ketika dirinya sudah menghabiskan waktu selama satu setengah jam hanya untuk terduduk sendirian di atas tebing pantai. Jauh dari hiruk pikuk dunia yang membosankan, setidaknya dengan mendengar suara desiran ombak itu membuatnya merasa jauh lebih tenang. Bahkan dengan senang hati, tanpa rasa takut sedikitpun, ia sedikit menundukkan kepalanya hanya untuk sekedar mengintip ke arah bawah sana, melihat bagaimana ombak cantik itu menerjang dan menabrak ke arah dinding tebing.
Jika pantai biasanya identik dengan matahari tenggelam, atau orang-orang yang sudah terbiasa menyebutnya dengan nama Senja, maka untuk saat ini sepertinya hal itu tidak berlaku untuk pantai yang sedang dinikmati oleh gadis cantik berusia dua puluh tahun itu. Tidak ada senja yang terlihat, sebab langit hanya menunjukkan kemurungannya saat ini. Tidak ada kecerahan sama sekali, dan Lian baru menyadari bahwa itu mirip sekali dengan kehidupan sehari-hari yang selama ini telah ia jalani.
Lian bingung, ia sungguh tidak mengerti. Padahal ia telah mempunyai semuanya. Namun kenapa akhir-akhir ini dua pertanyaan besar melintas dan singgah di dalam benaknya. Kehidupan seperti apa yang telah ia jalani selama ini, dan untuk siapa?
Lian sungguh tidak mengetahuinya dengan benar. Bukannya ia sama sekali tidak bersyukur atas apa yang sudah diberikan, namun Lian benar-benar tidak mengerti dengan tujuan hidupnya sendiri. Selama ini ia sudah menjalani semua hari-harinya dengan cukup baik, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun ketika ia menyadari satu hal bahwa tidak ada satu seorang pun yang menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-harinya, apakah dia baik-baik saja saat berada di negeri orang, sungguh itu semua membuat Lian merasakan kosong dari dalam dirinya.
Kehidupan yang selama ini telah ia jalani ternyata hampa.
Lian tidak menemukan satu seorang pun dari dalam keluarganya yang bisa memeluk dirinya dengan begitu hangat ketika rasa kesepian itu hadir menemani dirinya selama bertahun-tahun. Berkali-kali ia selalu melontarkan pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri, apakah ada yang salah dengan dirinya selama ini? Namun Lian sama sekali tidak bisa menemukan jawabannya. Untuk sesaat Lian mengulas senyum bodoh, mirip sekali dengan orang pesakitan. Menertawai dirinya sendiri sekaligus hidupnya yang tampak begitu menyedihkan. Lian mempunyai semuanya, tetapi untuk kasih sayang serta kehangatan dari dalam keluarga, rasanya itu mustahil untuk ia dapatkan.
Menertawakan dirinya sendiri di tempat yang sepi seperti ini adalah satu-satunya cara terbaik untuk melepaskan semuanya. Tidak ada satu orang pun yang akan melihatnya, jikalau pun ada, orang itu pasti akan menganggapnya tidak waras.
Lian mendongak. Menatap langit abu-abu yang saat ini terlihat seperti sedang menertawakan dirinya, kau tidak jauh berbeda dengan diriku.Benar-benar begitu menyedihkan. Untuk apa Lian dilahirkan jika kehidupan yang ia jalani selama ini sama sekali tak ada artinya? Untuk apa dan untuk siapa Lian hidup?
Sekali lagi Lian tertawa sendiri. Terdengar begitu sumbang. Namun untuk beberapa saat kemudian tawanya hilang dan tergantikan dengan kedua irisnya yang terlihat memerah dan berkaca-kaca, mempertahankan senyum bodoh yang bahkan nampak begitu aneh saat dilihat.
“Bagaimana jika kau mati saja di sana? Lagipula tidak ada orang yang peduli jika kau masih hidup. Jika kau mati, kau akan bisa merasakan ketenangan yang luar biasa. Kau tidak akan memikirkan apapun, kau akan tertidur dengan damai.”
Suara itu kembali terngiang-ngiang di dalam benaknya bersamaan dengan suara desiran ombak yang semakin terdengar sangat dekat meskipun itu berada sangat jauh di bawah sana. Ombak itu seperti menarik dirinya agar segera terjun bebas dari atas ketinggian tebing. Kedua iris Lian memperhatikan ombak itu, berdiri di ujung tebing dengan kedua kaki yang telanjang, selangkah saja ia mengangkat kakinya, maka saat itu juga dirinya akan terjatuh di bawah sana.
“Ya, benar. Dengan mati aku akan bisa merasakan ketenangan yang luar biasa.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.