Capítulo 3

506 68 23
                                    

Rupanya berdiri selama hampir satu setengah jam tidak membuat kedua kaki Jimin terasa kebas sama sekali. Irisnya masih bertahan memandangi pigura yang terletak berada di samping guci yang di dalamnya terdapat abu kedua orang tuanya. Sudah belasan tahun lamanya kedua orang tuanya itu pergi meninggalkan dirinya, tetapi Jimin masih bisa mengingat dengan jelas kejadian yang telah berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ah, sialan sekali. Kenapa rasanya masih begitu menyakitkan?

Tidak mudah bagi Jimin untuk bisa menerima semuanya. Rasanya sulit dan ia seperti tidak bisa bangkit walaupun kenyataannya saat ini, ia bisa. Hanya saja perasaan menyakitkan itu, kenapa susah sekali untuk hilang? Terlebih lagi ketika dirinya mengetahui bagaimana si pelaku yang selama ini masih bisa bernapas dengan cukup baik tanpa menanggung beban dosa, pun hukumannya. Hidup ini tidak adil dan Jimin benci fakta itu.

Ingin sekali berteriak dan menyalahkan pada sang pemilik langit, kenapa harus kedua orang tuanya? Kenapa tidak dirinya saja? Kenapa ia harus tetap hidup dan menanggung beban sendirian? Kenapa si pelaku yang menyebabkan kecelakaan pada kedua orang tuanya itu tidak pernah tertangkap dan mendapatkan hukumannya? Katanya hukum keadilan itu ada, tetapi—kenapa hingga sampai detik ini si pelaku masih bisa menghirup udara tanpa rasa bersalah? Kenapa dan kenapa?

Apakah karena mereka adalah orang yang berpengaruh sementara kedua orang tuanya tidak, sehingga para polisi yang seharusnya memiliki tugas dan kewajiban untuk menangkap si pelaku jadi diam dan tutup mata tanpa melakukan apapun kemudian menikmati uang hasil suap yang telah diberikan oleh si pelaku? Cih! Menjijikkan sekali!

Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Kenapa yang kuat selalu berkuasa sementara yang lemah semakin merana?

Tunggu dulu—merana, ya? Jimin tertawa sumbang. Ternyata dirinya selama ini merana. Merana karena ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Oh ayolah! Itu menyakitkan dan begitu menyedihkan, bukan begitu? Ia bahkan masih terlihat seperti dirinya yang masih berusia delapan tahun, begitu lemah. Sangat.

Tetapi, barangkali Jimin itu kehilangan kewarasannya, sebab sampai sejauh ini dia masih mempertahankan suara tawanya yang terdengar sumbang pun kedua netranya yang entah sudah sejak kapan terlihat kosong seperti tak bercahaya sama sekali. Dan dia berhenti tertawa kemudian menyeringai seperti seorang iblis tanpa ampun. Tunggu dulu, memangnya iblis punya ampun?

Ah, ini menarik sekali. Itu adalah tentang pikirannya saat ini. Jika hukum tidak bisa menegakkan keadilan untuk kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuanya saat itu, bukankah seharusnya dia bisa menegakkan keadilan itu sendiri? Tentu saja itu dengan caranya sendiri. Hidup itu harus adil dan Jimin akan menunjukkannya pada semua orang.

“Tenang saja, Ayah. Aku memang sudah kehilangan dirimu dan Ibu. Tetapi, aku tidak akan pernah kehilangan Tuhanku, sebab dia sudah memberiku rencana terbaik yang harus dilakukan untuk membalas semuanya.”

Oh, bagus sekali. Dia mulai datang dengan menjadikan nama Tuhan sebagai pelindungnya.

***

Kim Seokjin menyadari bahwa ternyata dirinya ini masihlah seorang kakak yang cukup baik untuk adiknya, Kim Lian. Ia mengakui itu ketika kemarin lusa mendengar bagaimana sang ayah yang mengatakan bahwa Lian benar-benar berkunjung ke rumah. Ah, andai saja jika saat itu dirinya tidak pergi ke luar kota, rasanya pasti sangat menyenangkan jika dia bisa menyambut kedatangan adik semata wayangnya itu.

Hanya saja, bukan itu yang sedang ia pikirkan saat ini. Kedatangan dirinya ke kantor sang adik minggu lalu dan mendapati bagaimana cara bicara juga sikapnya yang berbeda, tentu itu membuat tanda tanya besar melintas di atas kepalanya dengan cara yang tidak wajar. Seokjin sampai pusing sendiri memikirkan semuanya. Ada apa sebenarnya?

Acatalepsy | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang