Jimin memiliki minggu di pagi yang sedikit berbeda dari biasanya. Tidak terbangun di rumah miliknya sendiri, melainkan pagi ini dirinya terbangun di hunian cukup mewah milik sang atasan setelah semalaman penuh dirinya menghabiskan jam-jam yang seharusnya dipergunakan untuk tidur, malah dimanfaatkan untuk bercerita tentang banyak hal yang entahlah, apakah itu bisa dikatakan penting atau tidak.
Karena menurut Jimin, hal terpenting bagi dirinya adalah bagaimana Lian yang kemarin tiba-tiba saja memeluk dirinya dari belakang kemudian ucapkan kata-kata yang seketika memicu kinerja detak jantungnya.
Jangan dikira karena dirinya yang selama ini lebih dominan membuat detak jantung Lian nyaris mencuat gila, bukan berarti dia tidak bisa merasakan hal yang sama. Jimin itu pria normal, jika diibaratkan dengan remaja-remaja sekolah menengah yang baru saja jatuh cinta, maka izinkan Jimin menyombongkan diri sebab dirinya berada di atas dua tingkat jauh lebih tinggi dari mereka semua.
"Apa yang kau lakukan? Kau tidak pulang?"
Itu adalah suara Lian.
Seharusnya tanpa bertanya pun, gadis berusia dua puluh lima tahun itu tahu bahwa yang dilakukan Jimin saat ini tak lain dan tak bukan adalah memasak. Keberadaannya di dapur sekaligus apron berwarna hitam yang telah menggantung cantik di badannya adalah saksi dari kesibukan pria itu saat ini.
"Mana bisa aku langsung pulang begitu saja jika atasan sekaligus kekasihku yang cantik ini tidak bisa memasak," ujarnya tanpa sedikitpun berniat menoleh.
Lian yang merasa diejek secara halus pun langsung mendekatkan diri ke arah pria itu sambil memasang raut wajah tidak setuju. Terlihat bibirnya yang sedikit menekuk ke bawah, bukannya terlihat jelek, dia malah terlihat lucu. Jika saja Jimin melihatnya dan pria itu tidak terlalu fokus dengan segala tetek-bengeknya, mungkin dia akan bergumam; ah, menggemaskan sekali—sebuah kalimat andalan memang.
"Aku masih bisa memasak, kok. Telur mata sapi kemarin adalah buktinya."
Suara kekehan langsung saja terdengar dan itu berasal dari Jimin. "Telur mata sapi yang gosong tidak bisa dijadikan bukti bahwa kau bisa memasak, Li."
Sial! Seharusnya Lian tidak perlu menyebutkan kata telur mata sapi yang ternyata itu dapat mengingatkan Jimin tentang kejadian kemarin malam. Pria berusia dua puluh enam tahun itu tidak tahu jika kekasih cantiknya sama sekali tidak bisa memasak. Jadi kemarin adalah sebuah kesalahan terbesar karena dirinya telah menyuruh si empu untuk membuat telur mata sapi sementara dia sendiri harus memasak nasi goreng, makanan ala-ala Indonesia.
"Berhentilah tertawa!" Lian geram sendiri karena sedari tadi rungunya terus-terusan menerima tawa suara Jimin yang cukup menyebalkan. Padahal niat hati sebenarnya ia tadi ingin membela diri di depan pria itu bahwa ia bisa memasak. Tetapi lihatlah sekarang, ini sama saja seperti ia sedang mengakui kebodohannya di depan pria itu. Ah kau benar-benar mempermalukan dirimu sendiri, Kim Lian!
"Kenapa kau melarangku? Tertawa bisa membuat kita awet muda asal kau tahu." Jimin menoleh seraya melepas apron yang melekat di tubuhnya lantas menaruhnya di tempat semula ia mengambilnya.
Semua pergerakannya hanya bisa ditonton oleh Lian yang masih berdiri tanpa membuka ocehannya kembali. Sedikit merasa heran kenapa Jimin bisa memasak begitu cepat dengan hasil makanan yang tersaji sangat banyak di atas meja makan.
"Katakan yang sejujurnya padaku, Jim. Kau sebenarnya membeli semua makanan ini kemudian memasaknya kembali hanya untuk terlihat keren di depanku, 'kan?"
Posisi Jimin yang berada sedikit jauh dari Lian membuat pria itu melangkahkan dirinya untuk mendekat. "Apa maksudmu?"
"Mana mungkin kau memasak semua makanan ini dengan waktu yang cukup singkat. Katakan saja padaku, kau hanya sengaja terlihat keren di depanku, 'kan? Mengaku saja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Acatalepsy | PJM
FanfictionJimin dan Lian memiliki pandangan jalan hidup, serta kisah masing-masing yang sangat jauh berbeda dan saling bertolak belakang. Jimin tidak pernah mengira jika dirinya yang selama ini telah dipertemukan dengan Lian adalah sebuah berkat sekaligus mis...