"kamu penurut ya, saya suka"
"Hah? Maksud bapak?
"Eng-engga ini cappucinonya enak, saya suka"
Tentang cinta, yang mampu mengubah, bahkan mengalahkan segalanya. Seperti sang Ilahi Rabbi, yang mampu dengan mudahnya membolak-balikan hati manusia.
Bera...
FOLLOW BEFORE READING vote and comment after reading, please ❤
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kanaya
Aya, ke kantor rohis dulu ya :) 13.03
Ada apa? 13.04
Ada kendala 13.04
Oke, Otw
13.04
Setelah membaca pesan dari Kanaya, dengan segera Ayanna berjalan menuju ruang rohis dengan langkahnya yang sedikit dipercepat.
Sejenak mengatur napasnya setibanya di depan ruang rohis, lalu dibukanya pintu bercat putih itu.
"Kacau Ay!"
"Kacau mbak!"
Baru saja membuka pintu, dirinya sudah dikagetkan oleh segerombol manusia yang sudah berdiri rapi di sana. Mungkin memang sedang menunggu dirinya.
Ayanna memejamkan matanya sejenak. Diambilnya napas dalam-dalam lalu dihembuskannya secara perlahan. Entah mengapa dirinya selalu dibuat terkejut saat memasuki ruangan ini.
"Assalamualaikum" Aya memutar bola matanya jengah, lalu berjalan menuju kursi yang memang telah disediakan untuknya.
"Waalaikumsalam" jawab mereka serempak sembari menyengir kuda.
"Lain kali tunggu orang salam dulu" ucap Aya memeringati.
"Hehe iya maaf mbak. Masalahnya ini urgent mbak" ucap Fitri.
"Ada apa?"
"Ini mbak, pak Dika baru aja bilang gak bisa" ucap Fitri sembari memperlihatkan chat yang baru saja dikirim.
Benar saja, pak Dika menyatakan tidak bisa menjadi pelatih panahan karena ada suatu urusan yang mengharuskan beliau untuk pindah keluar kota.
Padahal tim rohis sudah mempercayakan penuh kepada pak Dika dalam program kerja mereka, tetapi rencana Allah tidak memihak kepada mereka untuk saat ini.
Aya mendengar itu langsung memijit pelipisnya yang terasa sangat letih. Mengapa rencana yang sudah disusun sempurna jauh-jauh hari berakhir kacau seperti ini? Mencari pelatih bukanlah hal yang mudah.
"Lalu bagaimana?" tanyanya lalu meneguk air kemasan yang berikan oleh Raisa.
"Aku dapat info dari fakultas mbak, katanya ada dosen baru yang bisa"
"Siapa?" tanyanya antusias.
"Pak Arvi, mbak"
1
2
Uhuk ... uhuk!
Dengan segera Raisa membawa kotak tisu dan menyerahkannya pada Aya. Pernyataan yang dilontarkan Fitri tadi berhasil membuat Aya tercekat. Ah, mengapa bisa seperti ini?
"Kenapa mbak?" tanya Fitri gelagapan.
"Mmm... Gapapa kok" jawabnya dengan seulas senyum, membuat semuanya menghela napas lega. Please lah, mengapa tubuhnya jadi gemetar begini.
"Jadi bagaimana nih ibu ketua yang terhormat?" tanya Naya beralih duduk di samping Aya.
Dihembuskannya napas panjang. Jujur saja dirinya belum bisa move on dari kejadian tadi. Dirinya benar-benar sangat bingung.
"Iya aja Ay. Dari pada gak ada kan..."
"Iya mbak, dari pada kita harus muter lagi cari ganti"
"Yes aja mbak... Dicoba aja dulu, siapa tau pak Arvi bisa"
Lontaran demi lontaran temannya membuat Aya kembali berpikir ulang. Itu semua juga ada benarnya. Tapi kan... ah pening sekali.
"Yaudah... Fitri langsung buat proposalnya ya, biar besok bisa mbak kasihkan kepada beliau" ucapnya sebelum izin keluar dari ruangan itu dengan alibi ingin melanjutkan mengerjakan tugasnya.
Dibukanya laptop berwarna tosca miliknya. Lebih baik ia keluar dari ruangan yang cukup membuatnya sesak entah mengapa, padahal ruang rohis sudah dilengkapi air conditioner yang cukup membuat bibir kering.
Memikirkan kejadian di ruang dosen tadi membuatnya kembali menggelengkan kepalanya. Lalu Bagaimana jika besok ia kembali ke ruangan yang menyeramkan itu untuk mengantarkan proposal? Dirinya benar-benar tidak bisa membayangkan.
Beralih mengerjakan kembali makalahnya yang sempat terutunda, Jari-jemarinya dengan lihay mengetikan huruf demi huruf diatas keyboard, sembari menyeruput teh cup di tangan kanannya.
"Eh si ibu di sini" Raisa mendudukkan dirinya di bangku taman sebelah Aya.
"Lagi ngapain sih?" dengan santainya Raisa menyambar teh milik Aya tanpa permisi lalu diteguknya hingga sisa setengah.
"Makalah" jawab Aya sekenanya.
"Makalah mana?" tampak Raisa menautkan dahinya.
"Gapapa" Aya memilih untuk menyudahi pembicaraan keduanya, toh Raisa juga tidak akan mengerti.
"By the way nih Ay, kenapa kamu agak nggak srek gitu sama pak Arvi?"
"Perasaanmu aja kali"
"Ya habisnya tadi kamu tuh rada-rada gimana gitu ya, ada apa sih?" tanya Raisa menyelidik.
"Gak ada apa-apa"
"Tuh kan kamu... Pasti ada something nih" lagi dan lagi Raisa masih belum puas akan jawaban dari sahabatnya.
"Jangan su'udzon"
"Tapi nih Ay... pakdos baru kita itu ganteng juga ya, masih muda, masih--"
"Nggak mahram!" sela Aya.
"Lah kok sensi amat. Jangan-jangan..."
"Stop ih jangan di terusin. Ini nanti tugasku gak selesai-selesai" potong Aya segera. Dirinya ke sini memang untuk mencari ketenangan, eh ternyata sama saja.
"Eh iya kan kamu masih hutang penjelasan sama aku loh" Raisa nampak berpikir sesuatu.
"Apa?"
"Soal pak Arvi! Ah iya kenapa pak Arvi bisa tau namamu?"
-
-
-
-
-
Jangan lupa follow, vote, dan komen sebanyak-banyaknya agar aku semangat updatenya!
Yuk ajak teman kalian dengan share ke instagram, dan jangan lupa tag aku ya, InsyaAllah aku reepost :)