Entah apa yang salah dengan keluarga ini, setiap pekan selalu saja ada keributan yang kian terasa. Entah itu cacian dari mulut sang kepala keluarga atau isakan dari mulut puan pujangga--Yang satu dimabuk emosi yang satu dimabuk cinta.
Aku masih ingat betul, bagaimana orang tuaku kerasukan setan dan melakukan hal yang paling konyol-- melemparkan belati bak pesulap dalam TV. Entah aku harus mengasihani atau menikmati.
Belati dirumahku bagaikan pesawat mainan yang dijual dipinggir jalan, sekali lempar hasrat terobati.Aku terlahir dari lingkup patriarkis, mirisnya keluarga ku ikut dalam proses. Hingga ayahku selalu berteriak satu oktaf lebih tinggi membuat ibu dan separuh perempuan dikeluargaku tunduk dalam arus tradisi.
Tubuhku sudah mulai digerayangi tradisi, rasanya ingin menangis sejadi-jadinya hingga tak henti. Namun apa daya bapaku sudah dimabuk tradisi jika sudah begitu belati kan segan-segan bertengker didada sebelah kiri.
Ibuku terkoyak habis pada kata demi kata yang tersuguh manis. Bahkan terlalu manis hingga terukir tragis.
Sedangkan, bapaku terlalu banyak minum cuka hingga duka terlampau pada durjana. Ia terlena pada pemimpim keluarga hingga banyak petuah kuno yang tertata.
Salah satunya:
" Gak usah sekolah terlalu tinggi-tinggi, Yang penting lulus langsung cari kerja. Kamu ini perempuan! Jangan terlalu mikirin cita-cita nanti juga jadi ibu rumah tangga. Pintar saja dalam urusan kasur, sumur, dan dapur"Terlalu banyak petuah kuno yang terdoktrin hingga membuat kunci kehidupan atau bahkan terlalu banyak yang dibodohi Sampai sulit untuk diperangi.
--Triwidianp
Bandung, 16 juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Abu-abu
PoezjaMenulis bagi saya adalah sebuah pondasi, mereka tercipta tanpa ada sedikit pun dusta ataupun tak perlu takut untuk menyinggung perasaan orang, mereka nyata bagi saya. Mereka tumbuh menjadi bait dan larik yang mempu meredam luka, walau hanya sementar...