PART 14. File 03 & 04

3 2 0
                                    

❝Merindukan orang yang sama, tidak masalah ‘bukan? —Adhyastha Haris❞ 


MALAM ini semua kenangan di masa lalu seakan terlempar lagi ke masa depan. Potongan-potongan memori kembali terputar jelas di otak Haris. Seperti beberapa haris yang lalu, Haris kembali membuka file yang berisi video seorang perempuan yang sampai sekarang masih ia cinta.

Jemari-nya mengklik mousse, untuk memplay video dengan judul ‘File 03 & 04’, seperti beberapa hari yang lalu.

“Haris,” panggil Fara.

“Iya, Ra?” jawab Haris.

Kali ini gadis itu—Fara nampak lebih pucat dari biasanya. Haris masih ingat betul, saat gadis itu selesai kemoterapi. Fara ingin membuat video—katanya seperti itu, namun pada saat itu Haris tidak mengetahui yang dengan jelas video apa yang akan Fara buat.

“Makasih udah mau nemenin aku selama ini.” Fara berkata dengan nada lemahnya. “Kenapa sih kamu masih mau bertahan sama aku yang penyakitan ini?”

Hati Haris seakan terisi ketika Fara mengatakan seperti itu, ia benar-benar tulus mencintai dan menyayangi Fara. Haris juga berjanji pada dirinya akan menjaga Fara semampunya. “Gue gak punya alasan yang jelas, tapi gue selalu ingin lindungi lo, selalu ingin bahagiain lo, selalu ingin di sisi lo setiap saat. Gue cinta dan sayang sama lo. Lo amat sangat berharga buat gue...”

“Gue harap lo dengar ucapan gue,” gumam Haris.

Di dalam video Fara seperti tahu apa yang akan Haris katakan, gadis itu merasa sangat beruntung karena Haris datang sebagai seorang yang mencintai Fara dengan tulus. Kata-kata Haris, selalu membuat Fara termenung. Semua perkataan Haris selalu di buktikan, bukan sekedar janji-janji biasa atau bahkan omongan yang hanya di bibir saja.

“Kadang aku merasa, aku sama sekali gak pantas buat kamu.”

Haris menghela napas singkat, Fara adalah cewek yang kadang merasa dirinya terlalu banyak kekurangan sampai tidak dirinya merasa tidak layak berbanding dengan Haris.

“Udah gue bilang, kita harus saling melengkapi. Itu kunci suatu hubungan ‘kan?”

Katakanlah Haris gila, berbicara dengan laptop yang entah mendengar atau tidak si empunya. Fara nampak menunduk—pipi gadis itu bertambah tirus, apalagi sekarang rambutnya yang dulunya se-punggung harus di pangkas se-bahu. Namun, kecantikannya tak pernah pudar, apalagi senyum manisnya—candu bagi Haris.

Lelaki itu kembali mengingat potongan kisah di masa lalu yang tiba-tiba saja terputar kembali.

Setelah mengikuti beberapa kali kemoterapi, tubuh Fara semakin kurus. Sekarang gadis itu sedang duduk di kursi meja rias, sementara Haris sibuk mengeringkan rambut basah Fara menggunakan hair dryer. Tangan Fara memoleskan bedak tabur, setelah itu memolesi bibirnya dengam liptint agar tidak pucat.

“Perasaan kamu setelah kemoterapi apa?” Haris sangat berhati-hati dalam bertanya.

“Em, sedikit membaik. Tapi, aku senang kamu mau menemani aku. Besok-besok temani aku lagi, supaya aku semangat kemoterapinya,” jelasnya di susul senyum lebar.

Haris dapat melihat senyum itu melalui cermin. “Pasti, aku akan temani kamu. Sampai kamu sembuh,” kata Haris. “Kamu harus terus semangat ya, aku selalu ada di sisi kamu.”

Fara mengangguk paham.

“Pelan-pelan nyisirnya,” ringis Fara.

Betapa terkejutnya Haris, ketika ia mengangkat sisir. Helaian rambut Fara rontok dan tersangkut di sisir. Bukan satu atau dua helai, namun ini ada banyak.

“Kok berhenti, Ris?”

Saat Fara akan menoleh, dengan gerakan cepat mengantongi rambut Fara, agar gadis itu tak melihatnya. “Tadi kalung kamu nyangkut.”

“Ris,” panggil Fara. “Aku cari tau di Google, kalau kemoterapi itu pasti bakal bikin aku kurus, seperti punya penyakit anemia gitu. Dan satu lagi, pasti ini bakal bikin kamu gak suka aku lagi, rambut aku bakal rontok. Pasti aku bisa gundul. Apa kamu masih suka sama aku, Ris?”

Jantung Haris sangat sesak, hatinya seperti di cubit oleh perkataan Fara. Apalagi matanya yang perih, seperti ingin menangis. “Kamu tetap cantik dalam kondisi apapun, Ra. Kamu akan selalu singgah di hati aku. Aku suka kamj yang apa adanya, Ra.”

Fara berdiri tiba-tiba, lalu memeluk Haris sangat erat. “Aku bersyukur tuhan, mengirimkan kamu sebagai pelindung buat aku,” isak Fara. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan.

“Aku lebih bersyukur. Karena tuhan mengirimkan wanita kuat seperti kamu.” Haris tak kalah erat memeluk tubuh Fara.

Video berdurasi lima belas menit sudah habis, Haris melepaskan kecamatannya. Mengusap air mata di ujung. Memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pusing.

“Haris bangun!”

Samar-samar Haris mendengar seseorang memanggil namanya, tak lupa menggoyangkan bahunya. Haris melenguh, ternyata ia tertidur di meja belajar.

“Haris, ih!”

Merasa terusik, Haris pun mengangkat kepalanya. Melihat Fely yang berdiri menjulang, netra Haris menyesuaikan pandangannya karena lampu yang menyorot tepat di atas Fely.

“Temani gue yuk,” pinta Fely.

Haris rasa kepalanya pusing, apa yang di bicarakan Fely pun tak ia dengarkan. Sibuk memijit pangkal hidungnya, ia pikir setelah tertidur rasa pusingnya akan hilang, namun tidak malahan bertambah pusing.

“Halo, halo.” Fely melambaikan tangannya di depan wajah Haris.

“Ah, sorry. Ini jam berapa ya?” tanya Haris yang belum kembali semua nyawanya.

“Yaelah! Lu tidur berapa lama sih! Ini tuh masih jam delapan, woy.”

Oh, ternyata masih jam delapan. Haris bangkit dari duduknya, berniat untuk membasuh mukanya agar lebih fresh. Namun, baru saja akan melangkah tubuh Haris ambruk. Dan berakhir jatuh kepelukan Fely.

Hampir saja gadis itu terjungkal ke belang, sungguh Fely sangat panik. “Hei bangun, Ris!” panggil Fely menepuk bahu Haris.

“I..iya, Fel.”

Fely bernapas lega karena Haris masih sadar.

“Badan gue lemes banget, Fel,” ujar Haris lirih. Helaan napas hangat menyapu sekitar leher Fely.

Gadis itu memampah Haris menuju kasur, agar lelaki itu mengistirahatkan tubuhnya. “Gue bantuin lo jalan ke kasur.” Fely berujar sangat lembut dari biasanya, seperti ibu memerintahkan anaknya yang sedang sakit.
“Bentar.” Haris mencari posisi nyaman, memeluk pinggang Fely dengan erat. Meletakkan kepalanya yang terasa berat di bahu Fely. “Dingin, Fel.”

Untung saja Haris sedang sakit, kalau tidak mungkin Fely sudah menendang Haris sampai ke antartika. Perlahan, tapi pasti. Fely membalas pelukanya, mengusap punggung Haris dengan ritme pelan. Itu yang di rasakan Haris.

Pelukanya bertahan sampai sepuluh menit lamanya, lalu Haris berkata, “Makasih, Fel. Kapan-kapan gue pinjem bahu lo lagi, ya.”

“Iya, Ris.”

Entah perasaan seperti apa yang sedang Haris rasakan, ia sendiri tidak tau apa yang ia alami. Hanya saja dirinya menemukan kenyamanan tersendiri, Haris rasa bahu Fely sangat nyaman untuk meletakkan kepalanya. Apalagi pelukan Fely ... seperti candu.

Ya, itu yg di rasakan Haris. Kl Fely, entahlah..

Sampe mikir berhari-hari buat bikin satu chap.. hebat :)

Kamis 9 Juli 2020

AdiosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang